Sejuta Manfaat Tengkawang, Tanaman Kehidupan bagi Masyarakat Kalimantan

Sejuta Manfaat Tengkawang, Tanaman Kehidupan bagi Masyarakat Kalimantan
info gambar utama

Ketika musim berbuah pada penghujung Februari hingga Maret, gubuk-gubuk akan bermunculan di bawah rindang pohon tengkawang. Masyarakat Kapuas, Kalimantan Barat memungut buah tengkawang yang bersayap dan jatuh, lalu memasukkannya ke keranjang.

Buah tengkawang yang kaya gizi itu acap menjadi santapan babi hutan dan satwa liar lain. Masyarakat merendam buah di sungai selama 30-40 hari. Tujuan perendam agar dinding buah itu lunak sehingga mudah mengupasnya.

Di bagian dalam buah anggota famili Dipterocarpaceae itu terdapat inti yang menjadi bahan mentega atau lemak. Ada pula yang melunakkan buah dengan cara memendam dalam tanah hingga berhari-hari.

Beginilah cara masyarakat memperoleh minyak tengkawang pada 1915, sebagaimana dikisahkan Karel Heyne, ahli Botani asal Belanda. Pada De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie yang dimuat Trubus.

Museum Kayu Sampit, Wisata Edukasi Alat Perkayuan di Masa Lampau

“Selain untuk keperluan sehari-hari, minyak tengkawang juga cespleng mengatasi sariawan,” paparnya.

Pada abad ke-20, biji dan minyak tengkawang itu mengisi pasar Eropa. Di pasar mancanegara tengkawang disebut borneo tallaow nut atau illipe nut. Ada pula yang menyebutnya borneo talc.

Heyne dalam buku tersebut menulis volume ekspor ketika itu bisa mencapai ribuan ton per tahun. Heyne yang sejak berusia 20-an tahun tinggal di Jawa itu mencatat, volume ekspor tengkawang dari Pontianak pada 1923 mencapai 9.518 ton.

“Sentra lain yang kaya tengkawang adalah Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Volume ekspor pada tahun itu 1.000 ton,” paparnya.

Tanaman kehidupan

Aceng Mukaram dalam Tradisi Panen Lemak Borneo menyebut hingga hari ini tradisi mengolah buah tengkawang masih terawat di Desa Nanga Yen, Kecamatan Hulu Gurung, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Berbagai jenis pohon tengkawang tumbuh di hutan adat seluas 5 hektare di desa itu. Warga setempat, Ayub mengisahkan, masyarakat menanam pohon itu saat dia berusia 3 tahun. Warga juga boleh mengambil buahnya kala panen raya.

Bagi Ayub, tengkawang adalah sumber kehidupan. Pohon anggota famili meranti-merantian itu tumbuh di tepi sungai dan kokoh menahan abrasi saat musim banjir. Setiap pohon bisa berbuah hingga 200 kg per musim.

Mereka menjualnya kepada pengepul di Nanga Yen. Pengepul lantas menjual ke Pontianak. Itu sebabnya Ayub dan warga Nanga Yen bertekad melestarikan tengkawang. Apalagi tanaman ini diwariskan secara turun temurun.

“Tengkawang diwariskan dari zaman nenek moyang. Kesadaran merawat, menjaga serta melestarikannya menjadi ikatan batin warga Nanga Yen,” ucap Ayub.

Dijelaskan oleh Ayub, setiap warga Nanga Yen memiliki 200 batang pohon tengkawang. Mereka menanam tengkawang di hutan. Bibitnya berasal dari buah yang hanyut di sungai. Karena buang tengkawang tidak tenggelam ketika hanyut terbawa air sungai.

Gosong Senggora, Wisata Bahari Berbasis Konservasi di Kalimantan Tengah

Sementara itu dengan perawatan minim, pohon Shorea sp mulai berbuah pada umur 10 tahun. Mereka juga mengolah buah berkadar lemak hingga 70 persen sampai 80 persen itu menjadi mentega nabati, minyak makan, atau kue.

Ditulis oleh Aceng, warga Nanga Yen mengolah buah itu menjadi produk yang lebih bernilai. Mereka menggunakan mesin sederhana, mengolah 2-3 ton buah menjadi berbagai olahan seperti minyak makan atau mentega nabati.

Misalnya warga Pengkadan, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, Taufiskon menyatakan bahwa buah harus dipendam beberapa bulan dalam tanah. Sebelum pemendaman, warga memotong kepala dan sayap buah.

Menurutnya pemendaman sampai buah berbau busuk memiliki tujuan melunakkan kulit buah yang keras. Selanjutnya mereka mengolah buah engkabang tanpa kulit itu menjadi salai, seperti membuat salai pisang.

“Dulu, pembeli mencari salai buah entakang, sekarang kupas pun mereka mau membeli,” kata Taufikson.

Merawat tengkawang

Disampaikan oleh Taufikson, masyarakat biasanya akan memanen buah tengkawang dengan memungut lalu mengumpulkan buah yang jatuh. Ketika panen raya, warga sudah siap membawa perlengkapan untuk pergi ke hutan.

“Kami pagi baru boleh mengambil. Nanti ada suara gong 3 kali, barulah orang berkumpul. Mukulnya di pohonnya kalau sudah siap. Satu kampung, orang tua, anak-anak muda. Ratusan orang,” ujarnya.

Baginya kebersamaan ketika panen itu pun menjalin silaturahmi. Sedangkan perolehan buah setiap orang tidak sama. Ada yang mendapatkannya banyak, ada juga yang sedikit, tetapi rata-rata semua mendapat buah.

Mengetahui buah tengkawang yang laku dijual, masyarakat jelas Taufikson, sepakat tidak menebang. Artinya, bila berbuah tidak mesti ditebang, namun dibiarkan begitu saja. Apalagi banyak manfaat yang diberikan tanaman ini.

Masyarakat jelasnya, biasanya menggunakan tengkawang sebagai minyak atau mentega. Pengolahan lain adalah untuk bahan obat. Suhardin seorang warga Desa Tanjung Intan menyebut tengkawang menjadi obat alternatif jika ada anggota keluarga yang sedang sakit.

Suku Punan, Suku Dayak Pedalaman Penjaga Hutan Rimba

Cara pemakaiannya, lanjutnya, biasa dioleskan, misalnya bibir pecah-pecah, panas dalam. Bisa juga diminum. Ada juga yang ditumbuk setelah dipendam, lalu dimasak. Setelah dimasak tadi dipisahkan, masukkan ke bambu lalu dijemur.

“Kalau sudah jadi minyak itu untuk obat,” tuturnya.

Buah tengkawang juga bisa menjadi pewarna pakaian yang indah, Silverster Berasap, yang kala itu menjabat Kepala Desa Mensiau, Kecamatan Batang Lupar berencana membuat kerajinan pakaian menggunakan pewarna alami.

Berbagai pemanfaatan buah yang ternyata bernilai komersial itu mengubah pola pikir warga yang semula memandang pohon sekadar sumber kayu untuk dijual. Kini banyak warga menanam tengkawang di pekarangan.

Kaum perempuan menjadi yang paling banyak mengolah buah tengkawang. Karena ada yang dijual untuk dijadikan obat-obatan, kosmetik, atau keperluan lain. Warga juga mulai membuat brownies atau kue-kue lain, walau dalam skala kecil.

Hairul Fahmi, warga Nanga Yen hanya mengkhawatirkan keberadaan tengkawang ketika hutan dikonversi menjadi lahan sawit. Apalagi sejak kawasan hutan mereka masuk dalam Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Padahal di hutan itu terdapat ribuan pohon tengkawang milik warga setempat dan hutan kelola. Mereka juga menolak penanaman sawit karena tanaman yang ada sebelumnya, termasuk tengkawang, harus ditebang semua.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini