Pencak Dor: Tradisi Bela Diri Pesantren yang Lahirkan Pendekar Silat

Pencak Dor: Tradisi Bela Diri Pesantren yang Lahirkan Pendekar Silat
info gambar utama

Pencak Dor merupakan ajang pertarungan bebas yang lahir dari lingkungan pondok pesantren. Bela diri ini bermula sebagai sarana latih tanding pencak silat antar santri di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Namun kemudian berubah menjadi arena pertandingan bergengsi bagi para pendekar dari berbagai klub atau perguruan bela diri di Jatim. Biasanya tak ada hadiah dalam pertarungan itu, yang menang biasanya mendapat sepiring gulai kambing usai pertandingan.

Dimuat dalam buku Tempo berjudul Pencak Dor: Tradisi Petarung Para Santri menceritakan tentang kediaman Badrul Huda Zainal Abidin di sekitar kompleks Pondok Pesantren Lirboyo yang terlihat ramai.

Sejumlah santri terlihat hilir mudik membawa potongan bambu dan tali ke lapangan pondok yang berjarak 500 meter dari rumah pria yang disapa Gus Bidin itu. Sosok ini biasanya duduk di ruang tamu mengawasi santrinya yang mondar-mandir.

Di lingkungan Pesantren Lirboyo, Gus Bidin cukup populer, sosoknya selalu dilekatkan dengan Pencak Dor. Gus Bidin pula yang memegang lisensi penyelenggaraan Pencak Dor dari aparat setempat.

Selain fokus dengan kegiatan pesantren, Gus Bidin juga menjabat sebagai Ketua Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia (GASMI), sebuah organisasi yang menaungi para pendekar silat pesantren.

Berusia Hampir 3 Abad, Berikut Deretan Pesantren Tertua di Indonesia

Biasanya pertandingan Pencak Dor diadakan untuk menutup kegiatan santri sebelum memasuki masa tenang di bulan Ramadhan. Sebelum Ramadhan, sebagian besar santri akan pulang ke rumah untuk menunaikan ibadah puasa bersama keluarga.

Berbagai persiapan akan dilakukan para santri di lapangan pondok. Salah satunya membangun arena pertandingan yang terbuat dari bambu. Arena itu dibangun cukup tinggi agar biasa disaksikan masyarakat banyak.

Sambil menuntaskan pembangunan arena itu, beberapa santri juga terlihat berlatih jurus-jurus pencak. Semua kegiatan santri itu dipimpin langsung oleh Gus Bidin yang terlihat masih energik di usianya yang sudah memasuki kepala empat.

Dirinya memang ahli waris tunggal dari jawara pencak di Pesantren Lirboyo, Kiai Haji Muhammad Abdullah Maksum Jauhari atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Maksum. Sosok ini juga adalah putra Kiai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Kanigoro, Kediri.

Kyai Jauhari juga dikenal sebagai pendekar dari Pesantren Lirboyo. Dalam sejarahnya, sebelum dikenal sebagai tempat mencari ilmu agama, Lirboyo sudah terkenal sebagai pondok para pesilat.

“Banyak santri yang belajar ke sini karena ingin berguru silat kepada Gus Maksum,” kata Gus Bidin.

Pesantren para pendekar

Gus Maksum ketika itu tidak memiliki keturunan. Salah satu kerabat yang mengabdi dan berguru kepadanya hanya Gus Bidin, keponakannya. Karena itu sepeninggal Gus Maksum, Gus Bidin ditunjuk sebagai penerusnya.

Gus Bidin kemudian masuk GASMI dan mengajarkan silat kepada para santri di Pesantren Lirboyo hingga sekarang. Gus Bidin juga menempati rumah peninggalan Gus Maksum yang kini menjadi pusat pergerakan GASMI.

Kendati GASMI baru resmi berdiri pada 11 Februari 1966, namun aktivitas perkumpulan para pesilat pesantren itu sesungguhnya sudah berlangsung sejak dahulu. Bahkan kemunculannya sudah dirintis oleh Kiai Abdul Karim ketika pendirian Pesantren Lirboyo pada 1910.

“Pendirian pesantren tersebut dilatarbelakangi situasi di Desa Lirboyo ketika itu yang dipenuhi pencuri, perampok, dan penjudi. Keberadaan mereka yang meresahkan masyarakat sehingga memantik berdirinya Pesantren Lirboyo yang bertujuan memperbaiki moral masyarakat sehingga keamanan di desa bisa terjaga,” tulis Tempo.

Ternyata pada awalnya tidak mudah, masyarakat menolak keberadaan pesantren. Para santri kerap menerima teror sehingga membuat mereka tidak betah. Kiai Abdul Karim lantas meminta bantuan kakak iparnya, Kyai Ya'qub untuk menjaga keselamatan santrinya.

Wajah Pondok Pesantren, Dinamika Lembaga Pendidikan Tertua di Indonesia

Sosok Kyai Ya’qub ini dikenal memiliki kesaktian. Selain menjaga santri, Kyai Ya’qub pun mengajarkan bela diri pencak silat kepada para santri di sela kegiatan mengajar mengaji di Pesantren Lirboyo. Dari sinilah lahir para pendekar silat pesantren.

Belakangan, materi pencak silat di Pesantren Lirboyo mendorong remaja-remaja desa ikut mempelajarinya. Salah satunya adalah Kiai Mahrus Aly yang mondok di Pesantren Lirboyo pada tahun 1936.

Kiai Mahrus Aly sebelumnya mempelajari pencak silat di Cirebon, Jawa Barat. Belakangan dia diberi amanat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Pesantren Lirboyo setelah menjadi menantu Kiai Abdul Karim.

Di bawah kepemimpinanya, para pendekar silat dari Lirboyo berperan penting pada masa kolonial Belanda. Beberapa kali Kiai Mahrus Aly mengirimkan rombongan santri untuk bergabung dengan pejuang kemerdekaan, salah satunya pertempuran 10 November.

Peristiwa ini merupakan awal berdirinya Komando Daerah Militer V Brawijaya yang menempatkan nama Kiai Mahrus Aly sebagai salah satu pendiri, meski bukan dari kalangan Tentara Nasional Indonesia.

“Kiai Mahrus Aly memiliki ilmu kanuragan tinggi dan berjasa ikut menumpas penjajah. Kedekatan beliau dengan TNI, terutama Kodam V Brawijaya, seperti saudara,” tutur Gus Reza Ahmad Zahid, pengasuh Pondok Pesantren Al Mahrusiyah Lirboyo.

Tersebarnya Pencak Dor

Pada masa kepemimpinan Kiai Mahrus Aly, Pesantren Lirboyo juga memiliki seorang pendekar yang menjadi jawara, yakni Gus Maksum, cucu Kiai Abdul Karim sekaligus keponakan Kiai Mahrus Aly.

Gus Maksum lah yang kemudian mendirikan GASMI pada tahun 1966 dan mengajarkan pencak silat kepada para santri. Ini pula yang membuat Pesantren Lirboyo makin terkenal sebagai pencetak santri pesilat.

Metode latihan yang diterapkan oleh Gus Maksum adalah dengan menggelar latih tanding sesama santri. Para santri diadu untuk mengukur tingkat kemampuan mereka menguasai jurus-jurus silat sekaligus sebagai latihan mental menghadapi lawan sesungguhnya.

“Latih tanding inilah yang kemudian dikenal dengan Pencak Dor sampai sekarang,” ujar Gus Bidin.

Tak hanya menggelar latih tanding sesama santri Pesantren Lirboyo, Gus Maksum juga membuka kesempatan kepada mereka yang berada di luar pondok untuk ikut berlatih dengan para santri.

Bantu Santri, Klikcoaching Kerjasama Dengan P2N-PBNU

Semua orang bebas mengikuti pertandingan untuk beradu jurus dengan santri Lirboyo. Agar memeriahkan suasana, sejumlah musik tradisional dihadirkan. Mereka membawa alat seperti saron, kendang, dan gong.

Ada juga pemusik yang melantunkan sholawat dengan iringan jidor. Alat ini berbentuk bedug kecil menyerupai gendang yang dipukul kanan-kiri dan menjadi salah satu alat musik yang mengiringi Sholawat Jidor.

“Asal-usul nama Pencak Dor berasal dari sini, yakni karena suara jidornya,” ucap Gus Bidin.

Pencak Dor belakangan diikuti sejumlah atlet bela diri profesional dan melibatkan banyak klub bela diri dari berbagai kota. Makin lama, ajang ini terkenal di kalangan para pendekar dan pertandingan di gelar di sejumlah daerah.

Meski melibatkan ribuan orang dan ratusan penonton petarung, ajang Pencak Dor tidak pernah dikotori dengan perkelahian. Bahkan ajang ini tak jarang menghasilkan keuntungan yang lumayan.

“Biasanya panitia akan menyisihkan sebagai sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah, seperti mushola dan masjid. Bahkan ada panitia yang khusus menyelenggarakan Pencak Dor untuk mencari dana buat anak yatim,” ucap Gus Bidin.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini