Jakarta Accord: Perjanjian Perdamaian yang Hentikan Perseteruan Indonesia-Malaysia

Jakarta Accord: Perjanjian Perdamaian yang Hentikan Perseteruan Indonesia-Malaysia
info gambar utama

Ruang Pancasila di Gedung Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat merekam sebuah peristiwa bersejarah. Bersama jajarannya, Menlu Adam Malik menerima delegasi Menlu dari Malaysia yang dipimpin Tun Abdul Razak pada 11 Agustus 1966.

Senyum dan nafas lega menghiasi wajah beberapa tokoh penting Indonesia maupun Malaysia, baik Presiden Soeharto dan Deputi PM Malaysia Tuanku Abdul Razak. Musababnya pada pertemuan ini terjadi penandatangan Jakarta Accord.

Dimuat Kompas, Jakarta Accord muncul karena konflik antara Indonesia dengan Malaysia pada era Soekarno. Bung Karno tidak pernah setuju dengan adanya rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia tahun 1961.

Bagi Bung Karno, Negara Federasi Malaysia merupakan neokolonialisme Inggris. Dirinya khawatir kawasan Malaya nantinya akan menjadi pangkalan militer barat di Asia Tenggara. Selain itu dianggap dapat membantu stabilitas kawasan.

Soekarno dan Mimpi Bangun Institut Oceanografi Terbesar di Asia Tenggara

Meskipun Soekarno menentang keras hal tersebut, Negara Federasi Malaysia tetap memproklamasikan negara mereka pada 16 September 1963. Setelah itu, hubungan Indonesia-Malaysia semakin memanas.

Bung Karno marah besar saat itu, karena Malaysia melanggar kesepakatan terutama Manila Accord, di mana seharusnya Negara Federasi Malaysia baru dapat berdiri jika sudah sesuai dengan kehendak rakyat.

Akibatnya Indonesia membentuk Dwikora, memutus hubungan diplomatik, dan mengerahkan pasukannya ke perbatasan Kalimantan untuk menghadapi tentara Malaysia. Demonstrasi demi demonstrasi terus berlangsung di Indonesia dan Malaysia.

Pada 17 September 1963, di Kuala Lumpur, demonstran menyerbu kantor Kedutaan Besar RI. Foto-foto Soekarno dirobek oleh massa dan menginjak-injak lambang negara Garuda Pancasila untuk memprotes Dwikora.

Soekarno yang gusar pun melakukan kampanye Ganyang Malaysia. Sejak saat itu pertempuran terus terjadi dan sangat panas. Bahkan Indonesia juga sempat keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 20 Januari 1965.

Upaya perdamaian

Sebenarnya sebelum Jakarta Accord, upaya mengakhiri konflik yang dikenal sebagai konfrontasi itu terus diupayakan berbagai pihak. Presiden Soekarno sendiri sebagaimana dikatakan LB Moerdani dalam biografinya Tragedi Seorang Loyalis.

“Langkah mengakhiri konfrontasi sudah dimulai bahkan sejak konfrontasi itu muncul,” tulis Mindra F dalam Normalisasi RI-Malaysia Tak Ada Yang Menang, Apalagi Kalah yang dimuat dalam Warisan (Daripada) Soeharto diwartakan Historia.

Begitu pula dengan Menpangad Letjen Ahmad Yani yang mengutus deputinya Mayjen Siswondo Parman dan juga merekrut Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk menyelesaikan konfrontasi tersebut.

Yani dan Parman kemudian mempercayakan Soeharto untuk mengatasi masalah ini. Soeharto lalu menunjuk anggotanya, Letkol Ali Moertopo untuk bersama-sama merancang operasi dan misi rahasia mereka.

Ali sendiri menunjuk Mayor Moerdani untuk bertugas di lapangan. Tim mereka ini disebut Operasi Khusus (Opsus), cabang dari Operasi Khusus Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang menangani operasi sosial-politik.

Kisah Mesra Indonesia-Rusia: Berawal dari Ideologi hingga Bangun Stadion GBK

Pada akhirnya dengan bantuan para businessman Indonesia yang tinggal di luar negeri seperti Des Alwi atau Jerry Sumendap, tim berhasil mengadakan kontak dengan pihak Malaysia dan merencanakan pertemuan di Bangkok.

Pertemuan pertama ini dihadiri oleh Des Alwi, Moerdani, dan Kepala Intelijen Tun Ghazali Shafie. Pertemuan ini juga mengantarkan Des Alwi dan Moerdani bisa bertemu dengan PM Malaysia Tuanku Abdul Rahman.

Meski keraguan besar terhadap komitmen Indonesia masih menghantui Tuanku Abdul Rahman, Indonesia akhirnya bisa meyakinkan dengan mengirim delegasi militer, di mana Moertopo ikut dalam rombongan pada 1966.

“Begitu keraguan Tuanku hilang, Indonesia dan Malaysia sepakat menormalisasi hubungan dalam Bangkok Agreement, 1 Juni 1966,” tulis M.F Mukthi dalam Jakarta Accord Bikin Indonesia Malaysia Tak Saling Ngotot.

Perdamaian serumpun

Selama tiga tahun konfrontasi, pada tahun 1966 Malaysia memang mulai melakukan normalisasi dengan Indonesia dari konflik yang berlangsung. Hal ini juga untuk meredam ketegangan antara kedua negara karena masalah domestik.

Diketahui di Indonesia pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa yang dikenal dengan G30S, hal itu pula menjadi keinginan Indonesia untuk tidak melanjutkan peperangan. Karena itu melalui Konferensi Bangkok diharapkan bisa memulihkan hubungan ini.

Dikutip dari Akurat, kala itu, perjanjian Bangkok berisi tiga hal pokok. Poin pertama berisi pernyataan bahwa rakyat Sabah dan Serawak diberikan kebebasan untuk menentukan nasib dan kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.

Poin kedua adalah kedua pemerintah akan menyetujui pemulihan hubungan diplomatik. Sementara poin terakhir adalah baik Indonesia dan Malaysia harus bersedia untuk menghentikan segala bentuk permusuhan.

Kenangan dari Ende: Menyelami Strategi Bung Karno Mendidik Rakyat

Pada Konferensi Bangkok dicapai kesepakatan untuk menyelesaikan konflik kedua negara dalam rangka menjaga keseimbangan dan memulihkan hubungan kedua negara dalam hal diplomatik, politik, pendidikan, sosial, budaya, dan ekonomi.

Status dan kehormatan masing-masing negara di kawasan yaitu Asia Tenggara. Kekerasan dalam konflik berakhir pada bulan Juni, dan perjanjian damai ditandatangani pada 11 Agustus 1966 dan secara resmi ditandatangani dua hari kemudian.

Setelah konfrontasi dengan Malaysia, kondisi ekonomi di daerah perbatasan mulai kembali normal, namun penyelundupan masih terjadi walaupun lebih sedikit daripada selama konfrontasi.

Hubungan tersebut meningkat dengan ditekannya Security Agreement pada 1967 yang diikuti dengan pembaruan pada 1972 dan pembentukan GBC Malindo sebagai forum perbincangan operasi dan latihan di perbatasan.

Sidang GBC Malindo pertama berlangsung pada 25 Juli 1972. Hingga tahun 2022, telah genap 50 tahun GBC Malindo ini sudah mencatatkan pencapaian di antaranya melakukan 42 sidang.

Lalu ada konsep “Whole of government” yang diaplikasikan dalam memelihara keselamatan perbatasan darat, laut, dan udara Indonesia Malaysia. Ini melibatkan pasukan bersenjata baik dari kedua belah pihak.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini