Melihat Betapa Mengerikannya Siksa Neraka dalam Relief Candi Jago

Melihat Betapa Mengerikannya Siksa Neraka dalam Relief Candi Jago
info gambar utama

Candi Jago berlokasi di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Dikarenakan letaknya berada di Desa Tumpang, masyarakat juga sering menyebutnya Candi Tumpang.

Melansir dari Perpustakaan Nasional yang dimuat Kompas candi ini juga tercatat dalam Kitab Negarakertagama dan Pararaton. Dari dua kitab klasik ini, candi ini sebenarnya dinamakan Jajaghu.

Masih menurut Kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1280 M. Candi ini dibangun sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke 4 yakni Sri Jaya Wisnuwardhana.

Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat dari pahatan padma (teratai) yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari.

Selain motif yang unik, candi ini juga menggambarkan secara rinci mengenai neraka, atau tepatnya siksa neraka. Pada relief cerita Kunjarakarna yang dipahatkan di Candi Jago menggambarkan yaksa bernama Kunjarakarna.

Candi Panataran Masa Akhir Majapahit, Bertahan Tanpa Bantuan Penguasa

“Karena perbuatannya dan permohonan ampunan pada Wairocana atas segala dosa-dosanya, Kunjarakarna diberikan kesempatan oleh-Nya untuk mengobservasi neraka,” tulis Mela Arnani dalam Relief Candi Jago Ungkap Gambaran Siksa Neraka, Ini Kata Arkeolog.

Kunjarakarna berkesempatan untuk dapat menyaksikan neraka dengan mata kepalanya sendiri, tentang bagaimana para pendosa disiksa di neraka sesuai jenis dan bentuk perbuatan dosanya saat hidup di dunia.

Hal ini tidak hanya menyadarkan Kunjarakarna mengenai perlunya berperilaku baik (Subharkarma), melainkan siapapun yang melihat relief Candi Jago dapat membayangkan betapa beratnya siksa neraka dan berkehidupan secara baik dan benar.

Digambarkan secara kejam

Arkeolog Universitas Malang, Dwi Cahyono berpendapat pemahat cerita dalam relief Candi Jago tampak sengaja menggambarkan kondisi neraka dengan sangat mengerikan dan berat. Agar yang melihat berusaha menghindari hal tersebut ketika mati.

Pada kunjungannya ke Candi Jago, dirinya mencermati sejumlah panil relief yang menggambarkan kawah (wajan besar) yang berbentuk lembu (goh) dalam posisi mendekam yang menjadi tempat menebus para pendosa.

Berdasarkan bentuknya, jelas Dwi, kawah perebus orang-orang yang berdosa itu diberi sebutan Candragohmukha yang dalam pewayangan Jawa dinamai Condrodimuko yang menjadi tempat para pendosa direbut dari arah bawah.

Sementara itu dari arah atas bisa kejatuhan daun atau bunga dari sebuah pohon yang berwujud aneka senjata seperti pedang, tombak mata satu ataupun mata tiga (trisula), cakra, dan lainnya.

Dilema Kunjungan Candi Borobudur, Antara Konservasi dan Kebutuhan Edukasi

“Penyiksaan yang demikian sebagaimana tergambar dalam pepatah Jawa, yakni kepalu ketutu,” paparnya.

Dwi menguraikan lebih lanjut bahwa para pendosa juga harus melewati jembatan khusus untuk mengukur tingkat dosa dari seseorang. Jembatan ini disebut wot ogal-agil atau titi gonggang.

Jembatan ini menghubungkan area-area yang dipisahkan oleh jurang terjal dan dalam, yang dari dalamnya menyembul kobaran api sangat besar. Bagi Dwi hal ini mengingatkannya pada jembatan sirotol mustaqim dalam Agama Islam.

“Nah, ngeri sungguh. Apabila pada “wot sirotol mustaqim” tingkat kesulitannya untuk menitinya adalah ketajamannya (1/7) tebal rambut, pada wot ogal agil tingkat kesulitannya adalah ketidakstabilannya (ogal-agil),” terang Dwi.

Menjadi media ajar

Bagi Dwi, pada titi gonggang kesulitannya terletak pada dasar pijakannya yang tidak rapat, ada celah-celah tak teratur yang bisa menyebabkan orang terperosok. Pendeknya, jelas Dwi, sangatlah pelik untuk melintasi jembatan tersebut.

Sesuai dengan konsepsi karmapala atau buah dari perbuatan, siksaan di neraka sesuai dengan perilaku dosa manusia di dunia. Apabila tingkah lakunya di dunia seperti binatang, maka wujud anatominya di neraka menjadi manusia berkepala binatang.

“Sedangkan para penyerobot tanah milik orang atau pihak lain akan disiksa dengan menyunggi lempengan tanah, perusak rumah orang lain disiksa dengan menyunggi rumah,” jelas Dwi.

Adapun orang yang otaknya kotor, akan ditancapi paku besar tepat di ubun-ubunnya. Ada pula yang disiksa dengan kepala dipatuk burung besar, diinjak-injak makhluk berbentuk demon lembu bermuka singa, dan lainnya.

Menaikkan Tarif Demi Merawat Candi Borobudur, Perlukah?

Relief cerita Kunjarakarna di Candi Jago menjadi transformasi visual dari susastra tekstual yang berjudul Kunjarakarnadharmmakatana. Diharapkannya manusia yang menyaksikan dapat menjadikan relief ini sebagai media ajar untuk melakukan kebaikan hidup.

“Bertobat dan memohon ampun kepada ilahi adalah tindakan kunci untuk dapat terhindar dari siksa neraka yang berkepanjangan,” pungkas Dwi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini