Cerita di Balik Ragam Lomba 17 Agustus yang Bertahan hingga Kini

Cerita di Balik Ragam Lomba 17 Agustus yang Bertahan hingga Kini
info gambar utama

Indonesia akan mencapai usia kemerdekaan ke-77 di tahun ini. Selain pelaksanaan upacara yang umum dilakukan sebagai bentuk penghormatan secara formal, ajang lomba 17 Agustus juga menjadi salah satu cara masyarakat merayakan kemerdekaan RI.

Tak pernah terlewat setiap tahunnya, berbagai kalangan selalu senang untuk berpartisipasi merayakan kemerdekaan dengan berlomba, mulai dari orang dewasa hingga lomba 17 Agustus anak. Jenis lombanya pun beragam, mulai dari panjat pinang, balap karung, makan kerupuk, bakiak, memasukkan pensil ke dalam botol, dan masih banyak lagi.

Meski kerap menghadirkan kesenangan untuk memeriahkan kemerdekaan, ragam lomba 17 Agustus yang masih dilakukan hingga saat ini nyatanya tak muncul secara tiba-tiba. Ada ragam cerita yang melatarbelakangi munculnya ide masing-masing lomba di setiap perayaan kemerdekaan Indonesia.

Apa saja cerita di balik ragam lomba 17 Agustus yang dimaksud? Berikut beberapa penjelasannya.

Semangat Kemerdekaan HUT RI yang Terasa di Berbagai Negara

Makan kerupuk

Di masa kini kerupuk merupakan salah satu jenis pelengkap makanan yang digemari hampir semua orang. Kenyataannya, wujud makanan satu ini sendiri sudah ada sejak lama. Bahkan nama kerupuk disinyalir sudah disebutkan dalam naskah Jawa Kuno sebelum abad ke-10 masehi.

Sementara itu mengutip Indonesiabaik.id, kerupuk di Indonesia sebagai makanan sudah populer sejak tahun 1930-1940. Bahkan nyatanya peran kerupuk bukan hanya sebatas menjadi makanan pelengkap, melainkan lauk atau makanan utama.

Hal tersebut lantaran pada masa-masa itu, krisis makanan tengah terjadi, apalagi ditambah kondisi Indonesia yang masih belum merdeka dan saat itu masih berada di bawah kendali Belanda.

Harga kebutuhan pangan saat itu disebut melonjak tinggi dan tidak bisa dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Akhirnya, kerupuk jadi salah satu penyambung untuk bertahan hidup karena harganya yang terjangkau.

Ditambah lagi, pada masa peperangan dulu kerupuk biasa dikonsumsi oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang berada di strata sosial dan ekonomi bawah. Kerupuk identik sebagai makanan rakyat kecil di masa perang untuk bisa bertahan hidup.

Hingga akhirnya, kerupuk menjadi salah satu jenis lomba 17 Agustus untuk memperingati perjuangan masyarakat Indonesia terdahulu, sekaligus menumbuhkan rasa menghargai terhadap apapun jenis pangan yang ada.

8 Jenis Kerupuk Tradisional Indonesia untuk Pelengkap Makanan dan Camilan

Lomba 17 Agustus Balap karung

Lomba satu ini juga jadi salah satu yang tak kalah populer dan tak pernah terlewat diadakan setiap perayaan 17 Agustus. Biasanya para peserta lomba akan memakai karung goni di kaki mereka, kemudian berusaha berlari atau melompat secepat mungkin untuk jadi yang pertama mencapai garis finis.

Masih berhubungan dengan masa sebelum Indonesia merdeka meski tak selama sejarah kerupuk, filosofi lomba balap karung berasal dari kondisi Indonesia saat berada di bawah kendali/penjajahan Jepang, pada kisaran tahun 1942-1945.

Saat itu, Jepang disebut sengaja menghambat distribusi pakaian bagi masyarakat pribumi, sehingga masyarakat terpaksa harus memakai karung goni sebagai pakaian. Karung yang digunakan pun merupakan karung bekas membungkus beras dan gula, serta sangat tidak nyaman dipakai karena kerap dipenuhi kutu.

Bebera sumber menyebut, jika lomba balap yang identik dengan menginjak karung dan melompat-lompat menjadi simbol rasa kekesalan masyarakat akan masa-masa tersebut. Namun di balik itu, juga ada filosofi yang terkandung. Maknanya, lomba balap karung menjadi gambaran untuk merefleksikan kebebasan rakyat Indonesia yang terpasung oleh penjajah untuk mencapai kemerdekaan.

Aplikasi permainan Balap Karung yang Indonesia banget

Panjat pinang

Jenis lomba satu ini bisa dibilang jadi salah satu yang paling menguras tenaga, pesertanya pun secara umum terdiri dari kalangan laki-laki dewasa. Sesuai dengan tingkat kesulitannya, ragam hadiah yang dijanjikan dalam lomba ini biasanya memang lebih bernilai, mulai dari peralatan elektronik hingga barang berharga lainnya.

Sesuai namanya, lomba ini membutuhkan pohon pinang sebagai sarana utama yang sudah dihaluskan permukaan batangnya, kemudian ditanam kuat dalam tanah. Tidak dibuat sederhana, permukaan pinang yang sudah sukar untuk dipanjat kembali dilumuri pelumas entah oli atau lumpur, untuk membuat para peserta semakin kesulitan untuk memanjat dan mendapatkan hadiah.

Bicara soal sejarahnya, disebutkan bahwa kegiatan satu ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Mengutip detikEdu, kegiatan ini dulunya rutin dilakukan setiap tanggal 31 Agustus untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda.

Oleh pihak Belanda sendiri, panjat pinang dikenal dengan nama de Klimmast yang artinya memanjat tiang. Di samping itu, sejak tahun 1930-an panjat pinang banyak digelar dalam momen perayaan besar seperti pernikahan, kenaikan jabatan di masa lampau, hingga ulang tahun.

Tiang atau pinang yang disertakan biasanya memiliki panjang atau ketinggian di kisaran 5-9 meter. Dulunya, hadiah yang digantungkan bukan barang elektronik seperti sekarang, melainkan bahan pokok seperti beras, tepung, roti, keju, gula, dan pakaian.

Barang-barang di atas merupakan hal yang mewah dan penting bagi masyarakat pribumi. Karena itu, panjat pinang di masa dulu hanya diikuti oleh masyarakat pribumi sebagai ajang hiburan untuk para Meneer-Meneer Belanda.

Meski sebenarnya, di masa itu pihak yang menyelenggarakan panjat pinang juga banyak dilakukan oleh kaum keluarga pribumi yang kaya raya.

Meski dulunya menjadi bahan hiburan dan tertawaan pihak Belanda, namun kini panjat pinang terus ada dan dilakukan secara rutin sebagai sarana refleksi. Maksudnya, perlombaan panjat pinang menjadi gambaran masyarakat Indonesia saat berjuang di masa kemerdekaan, yang mencerminkan potret solidaritas, kerja keras, kerja sama, dan kekompakan, yang akhirnya menang meraih kemerdekaan.

Ini lho Alasan Panjat Pinang Dipilih sebagai Puncak Kemeriahan HUT RI

Kekompakan bakiak dan tarik tambang dalam lomba 17 Agustus

Diketahui secara umum jika tarik tambang sebenarnya bukan asli berasal dari Indonesia. Meski begitu, di masa kini wujudnya menjadi hal yang tak pernah terlewat dilaksanakan setiap perayaan 17 Agustus.

Kaitannya sendiri berhubungan dengan rakyat Indonesia yang dulunya dipaksa bekerja keras saat masa penjajahan Belanda. Di mana mereka dipaksa menjadi kuli untuk memindahkan batu, pasir, dan berbagai benda berat lainnya, dengan menggunakan tambang.

Pada akhirnya, muncul ide dari para pekerja untuk menjadikan tarik tambang sebagai ajang adu kuat antar-rakyat yang dijajah. Makna dari lomba ini sendiri menggambarkan kekompakan setiap regu dalam mempertahankan posisi sampai meraih kemenangan.

Upaya kekompakan dan kerja sama yang sama juga dijumpai dari perlombaan bakiak. Meski sebenarnya, bakiak sendiri merupakan permainan tradisional anak-anak Sumatra Barat yang dimainkan hingga tahun 1970-an.

Namun, ada yang menyebut jika bakiak terinspirasi dari Jepang yang sudah memakai telapak kayu untuk Geisha-Geisha--seniman atau penghibur tradisional Jepang.

Sementara itu jika bicara mengenai bagaimana awal mula ragam kegiatan di atas mulai dijadikan lomba setiap perayaan 17 Agustus. Disebutkan bahwa semuanya baru mulai dilaksanakan secara rutin pada tahun 1950-an.

Kenapa baru pada tahun 1950? Sebab pada tahun itu, kondisi politik dan keamanan negara sudah mulai kondusif. Sementara pada 1945 hingga 1950, masih banyak peperangan yang mengharuskan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaannya di berbagai wilayah. Hal itu yang membuat masyarakat tidak sempat merayakan kemerdekaan dengan beraneka macam perlombaan dan kemeriahan.

Adapun kegiatan-kegiatan awal yang dijadikan lomba 17 Agustus sebelum lebih bervariasi seperti sekarang adalah panjat pinang, makan kerupuk, dan tarik tambang.

Makna Sejarah yang Tersirat dalam Lomba-Lomba Tradisional saat Perayaan 17 Agustus

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini