Kisah Para Pemburu Gigi Hiu Megalodon yang Dihargai Ratusan Juta

Kisah Para Pemburu Gigi Hiu Megalodon yang Dihargai Ratusan Juta
info gambar utama

Selama pandemi, perburuan fosil binatang laut khususnya gigi hiu purba, baik megalodon atau sejenis hiu putih besar di kawasan Pajampangan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat makin masif.

Salah satu kawasan perburuan gigi megalodon atau huntu gelap dalam istilah warga setempat dengan mudah ditemui di area perbukitan Desa Gunung Sungging. Areal perburuan ini terpisah di sejumlah titik.

Dimuat dari Teras.id, menurut masyarakat, ciri tempat yang terdapat benda purbakala tersebut yakni banyak ditemukan bekas tambang tanah, banyak pecahan batu dan bekas galian di tebing-tebing perbukitan.

Fosil Kura-Kura Purba Berusia 1,2 Juta Tahun Ditemukan, Apa Penjelasannya?

Dari data setidaknya ada lima kampung di Desa Gunung Sungging yang dijadikan lokasi pencarian fosil gigi hiu purba ini oleh warga, yaitu di Kampung Cigulingan, Kampung Salenggang, Kampung Curuglubang, Kampung Cigintung, dan Kampung Cilutung.

Dimuat dari Detik, pada tahun 2021, banyak warga yang mendadak jadi jutawan karena menjual fosil hasil perburuan mereka. Kini, banyak fosil yang berpindah tangan untuk sekadar jadi koleksi warga di luar negeri.

“Kalau sekarang hanya tinggal kenangan, sekarang banyak yang punya mobil (dari) megalodon, motor dari megalodon, rumah mewah dari megalodon, begitu ya istilahnya untuk mereka yang sukses menjadikan fosil itu sebagai komoditi,” kata Mansyur, warga sekaligus pengelola Museum Megalodon, Desa Gunung Sungging, Kecamatan Surade.

Harga membengkak

Perbukitan Kampung Cigulingan menjadi tempat yang ramai dikunjungi para pemburu huntu gelap. Di sini sejumlah warga sudah berhasil menemukan satu, dua bahkan ada yang rangkaian gigi hiu purba dari ukuran sebesar kelingking hingga telapak tangan.

Ceun pemilik lahan galian huntu gelap di Kampung Cigulingan menyebut agar bisa menemukan fosil gigi hiu purba, warga memang harus menggali atau mencari bebatuan khas di bawah tanah yang disebut batu papan.

“Tidak semuanya perbukitan ada huntu gelap. Biasanya pemburu survei dulu, mencari tanda-tanda yaitu fosil kerang. Biasanya jika ditemukan banyak fosil kerang di bebatuannya, maka di sekitar lokasi itu ada fosil gigi hiu purbanya,” ucapnya.

Temuan Seperti Fosil Stegodon di Ngawi

Di lokasi milik Ceun ini banyak pemburu yang berhasil mendapatkan gigi hiu purba, sehingga makin banyak warga yang datang untuk berburu dan menggali. Diungkapnya bila dapat fosil gigi hiu yang mulus dan berukuran 14 centimeter bisa dijual dengan harga sekitar Rp7-8 juta.

Menurut Eli salah seorang pegiat wisata, perburuan masif tersebut dilakukan karena belum adanya regulasi. Ketika itu harga jual fosil tersebut membengkak seiring dengan ramainya persaingan para tengkulak adu tawar dengan warga.

“Sampai sekarang harganya antara Rp3 juta hingga Rp150 juta, harga itu tergantung dari jenis, ukuran dan mulusnya barang. Karena ada kelir (list) fosil yang bermacam warnanya,” ucap Eli.

Upaya perlindungan

Semakin banyak pemburu yang datang ke lokasi tersebut ternyata membuat tempat itu rusak. Saat ini bebatuan yang digali untuk mencari fosil gigi hiu pun berhamburan di punggung-punggung bukit.

“Warga di sini khawatir longsor karena memang banyak juga pohon yang ditebang di lokasi ini,” jelasnya.

Eli bersama Mansyur berbeda dengan masyarakat kebanyakan, mereka berdua lebih sadar dengan kondisi kerusakan masif di desanya akibat perburuan fosil. Proses penggalian oleh pemburu, jelas mereka, memang sering menggunakan mesin.

Mengulik Museum Purbakala Indonesia yang Disebut Sebagai Salah Satu yang Terlengkap di Asia

Padahal baginya bila kampung ini dikelola dengan baik, mungkin bisa mengabadikan dan menjadikannya taman fosil purba. Karena itu dirinya berharap pemerintah bisa datang untuk melakukan penelitian.

Pendekatan secara persuasif saat itu, baginya perlu dilakukan agar warga lebih sadar bahwa yang mereka buru dan dijadikan komoditas adalah benda langka. Sebuah warisan yang perlu dipertahankan demi generasi selanjutnya.

Perjuangan itu tidak sia-sia, seiring berdirinya sebuah museum kecil yang mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak. Perlahan perburuan mulai menghilang, karena warga mulai merasakan dampak dengan datangnya wisatawan.

“Kami secara perlahan membuat batasan, dan masyarakat akhirnya mengerti tujuan kami tidak ada lagi aktivitas jual beli fosil. Kami memberi contoh dari apa yang kami lakukan sendiri, kami mengoleksi tapi tidak menjual dan kami simpan di museum. Warga malu dengan sendirinya, karena dampak bisa dirasakan seperti jalanan bagus, banyak wisatawan datang,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini