Beras Indonesia Jadi Rebutan China dan Arab Saudi, Mengapa Pemerintah Menolak?

Beras Indonesia Jadi Rebutan China dan Arab Saudi, Mengapa Pemerintah Menolak?
info gambar utama

Pemerintah Republik Indonesia berhasil memperoleh penghargaan dunia dari International Rice Research Institute (IRRI) karena keberhasilannya mencapai swasembada beras selama tiga tahun terakhir.

Senada dengan IRRI, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) juga mengakui bahwa sistem ketahanan pangan di Indonesia tangguh meski di tengah krisis pangan global. Hal inilah yang menarik beberapa negara meminta beras dari Indonesia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut ada permintaan beras dari China sebanyak 2,5 juta ton dan Arab Saudi sebanyak 110 ton. Melihat hal ini pihaknya mengatakan bahwa krisis pangan bisa menjadi peluang bagi pengusaha di Tanah Air.

Meski Konsumsi Kian Menurun, Nasi Masih Jadi Prioritas Sebagai Makanan Pokok

“Peluangnya apa? ada krisis pangan, ya berarti peluangnya di pangan. Jualan pangan paling cepat sekarang. Kemarin dari China minta beras 2.5 juta ton, Saudi minta 100 ribu ton beras,” ujar Jokowi yang dimuat Sariagri.

Kendati demikian, Presiden Jokowi meminta Indonesia tetap berhati-hati karena saat ini beberapa negara menghadapi situasi kesulitan pangan. Oleh karena itu, dia mengaku belum berani memenuhi permintaan dari Arab Saudi dan China.

“Saat ini kita belum berani, kita stop dulu. Tetapi begitu produksi melompat karena bapak ibu ke situ, bisa saja kita terjun ke situ dengan harga yang sangat ‘visible’ sangat baik,” ungkap Presiden.

Hanya bisa 100 ribu ton

Sebelum memutuskan ekspor, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk memastikan dahulu kecukupan stok dan kebutuhan beras nasional bahkan hingga dua tahun ke depan.

“IRRI tadi menyampaikan Indonesia sebaiknya melakukan ekspor, tetapi ekspor beras-beras berkualitas tinggi. Tapi perintah Presiden, pastikan dulu stok nasional dan kebutuhan nasional itu tersedia, baru berpikir untuk ekspor,” ujar Mentan usai mendampingi Presiden Jokowi.

Dirinya menjelaskan ekspor dimungkinkan jika kebutuhan beras nasional terpenuhi, terutama di tengah tantangan krisis pangan yang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Adapun perkirakan kebutuhan konsumsi beras nasional sebesar 30,03 juta ton.

Keunggulan Adan, Beras Organik dari Tapal Batas Kalimantan yang Populer di Negeri Tetangga

Sebelumnya juga ada utusan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asal China yang menyambangi Mentan di kantornya. Syahru bilang, kedatangan BUMN China ke kantornya karena menginginkan Indonesia mengekspor beras.

BUMN China tersebut meminta Pemerintah RI mengirimkan beras sebanyak 2,5 juta ton selama setahun. Tetapi berdasarkan arahannya, Indonesia hanya bisa mengekspor beras sekitar 100 ribu ton dalam setahun.

“Kemudian arahan pimpinan (Menteri Pertanian)

maksimal untuk mengamankan dalam negeri, nanti ekspor maksimal seratus-an ribu ton saja,” jelas Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Suwandi yang dimuat CNN Indonesia.

Peluang ekspor di tengah krisis

Mentan Syahrul menjelaskan bahwa permintaan yang datang ke Indonesia bukan hanya komoditas beras, tetapi juga yang lain, salah satunya dari Singapura yang mengajukan permintaan impor telur dan daging ayam.

Menurutnya banyak permintaan ekspor ini karena banyak negara yang menutup diri akibat krisis pangan. Oleh karena itu, langkah penutupan keran ekspor sejumlah negara tersebut bisa menjadi peluang bagi Indonesia melakukan ekspor pangan termasuk beras.

“Untuk sementara ini jangan sampai peluang yang ada nanti diambil negara lain,” katanya yang diwartakan Okezone.

Petuah Nenek Moyang, 5 Desa Ini Pantang Menjual Nasi

Syahrul menjelaskan saat ini sejumlah pelaku ekspor juga sudah mulai menawarkan produknya untuk diekspor. Seperti teman-teman penggilingan yang kelasnya bagus, sudah berlomba menawarkan diri untuk melakukan ekspor terutama yang dari Jawa.

Karena itu sekarang akan dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Salah satu yang kemudian digenjot dengan pola tanam indeks pertanian (IP) 400. Lahan-lahan yang disediakan dengan pola tanam yang maksimal empat kali dalam setahun.

Syahrul menegaskan program IP 400 didukung subsidi oleh pemerintah dan juga dana desa. Hasil panen satu hektare lahan rata-rata 5-6 ton gabah. Sehingga dalam satu tahun bisa mencapai 20-an ton gabah.

“Kelebihan atau surplus panen inilah yang kemudian diekspor ke luar negeri,” paparnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini