Artefak Celengan: Bukti Tradisi Menabung Masyarakat Indonesia Sejak Zaman Majapahit

Artefak Celengan: Bukti Tradisi Menabung Masyarakat Indonesia Sejak Zaman Majapahit
info gambar utama

Di Indonesia, budaya menabung sudah dikenal sejak lama. Hal itu ditandai dengan penemuan sebuah gerabah berbentuk celengan babi peninggalan zaman Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur.

Pembuatan celengan telah berkembang antara abad ke-13 dan 15. Celengan yang pernah ditemukan terdiri dari tiga bentuk: manusia berupa anak kecil, binatang (babi atau celeng, domba, kura-kura, dan gajah) yang terbanyak berupa guci.

Dimuat dari Intisari, selain istilah celengan yang berasal dari celeng (babi), terdapat juga tabungan yang berarti tabung atau berbentuk silinder. Istilah itu dipakai karena dengan menggunakan bambu yang tertutup di ujung-ujungnya.

Kisah Celengan dari Kerajaan Majapahit

Keduanya baik celengan atau tabungan sudah dilengkapi dengan lubang kecil guna memasukan koin atau uang. Celengan Indonesia pada abad ke 14 ini tidak banyak yang ditemukan utuh.

“Mengingat metode yang dipakai untuk mengambil uang setelah ditabung adalah dengan memecahkannya,” tulis Mufika Nur Fuaddah dalam Inilah Celengan Majapahit Tertua di Dunia, Bukti Abad 14 Telah Menggunakan Koin.

Celengan Majapahit yang terkenal dan ditempatkan di Museum Nasional Indonesia pun ditemukan hancur berkeping-keping dan direkonstruksi ulang. Tempat menyimpan uang juga ditemukan dengan berbagai bentuk seperti tabung, guci, dan kotak.

Istilah celengan?

Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Tradisi Menabung dalam Masyarakat Majapahit: Telaah Pendahuluan Terhadap Celengan di Trowulan menyebut belum diketahui secara persis berapa banyak jumlah celengan yang dibuat.

“Tetapi ada kesan bahwa bentuk babi menempati jumlah terbanyak, kemudian domba, kura-kura, kuda, dan gajah,” tulis Supratikno yang termuat dalam Monumen: Karya Persembahan untuk Prof Dr. R Soekmono yang dimuat Historia.

Dirinya juga menanggapi terkait istilah celengan yang sekarang digunakan masyarakat Indonesia untuk menamakan tempat menabung. Padahal bentuknya bisa saja manusia, guci, atau binatang lain selain babi.

Menurut Supratikno sebutan ini kemungkinan baru diperkenalkan oleh orang Jawa pada masa kemudian, karena bahasa Jawa Kuno hanya mengenal kata celeng (babi atau babi hutan) atau pacelengan (kandang babi).

Dilema Kunjungan Candi Borobudur, Antara Konservasi dan Kebutuhan Edukasi

Sedangkan dalam kamus Javaans-Nederlands Woordenboek karya Th Pigeaud yang memuat sejumlah kata yang berkaitan dengan aktivitas menabung, yaitu celengan berarti spaartpot (tempat menabung), dicelengi berarti Opgespaard (disimpan) dan dicelengke berarti men spaart voor iemand (menabungkan untuk orang lain).

Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata celengan ternyata berasal dari kata Jawa yang berarti tabung pekak untuk menyimpan uang, tabungan atau uang simpanan itu sendiri.

“Kita masih belum tahu apakah kata-kata tersebut ada hubungan dengan kata celeng yang berarti babi hutan,” tulis Supratikno.

Supratikno juga menjelaskan bila celengan ingin dikaitkan dengan binatang celeng, bisa dihubungkan dengan mitos babi ngepet atau celeng daden (babi jadi-jadian) yang berhubungan dengan upaya mencari kekayaan secara cepat di masyarakat Jawa.

Tradisi menabung

Di sisi lain, sejarawan Denys Lombard mengungkapkan kebiasaan menabung dalam celengan pada masyarakat Jawa ternyata terpengaruh oleh orang Tionghoa. Celeng jelasnya mengacu pada binatang pembawa rezeki dalam mitologi China.

Celeng, jelas mengacu pada binatang pembawa rezeki dalam mitologi China semenjak zaman Majapahit telah memberi bentuk bulat pada celengan Jawa yang terbuat dari tanah liat,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya.

Bagi masyarakat pengkonsumsi daging babi, kekayaan suatu keluarga antara lain diindikatori oleh seberapa banyak babi yang dipelihara. Bahkan denda sanksi adat acap dirupakan dalam sejumlah babi.

Potong babi dalam suatu pesta pun menjadi cermin kemewahan kuliner. Pada sisi lain, sebagai binatang menyusui, babi merupakan sejenis binatang yang terbilang kaya akan anak, mudah berkembang biak, sebagaimana tercermin dari jumlah puting susu babi betina.

Menaikkan Tarif Demi Merawat Candi Borobudur, Perlukah?

Tetapi Supratikno berbeda pendapat dengan Lombard. Baginya celengan-celengan Trowulan terutama menggambarkan guci-guci dan beberapa figur anak kecil, mengingatkan pada dewa Kuwera.

Tradisi Hindu-Budha di Nusantara mengenal konsep kemakmuran yang diwujudkan dalam bentuk arca dewa Kuwera atau Kubera yang telah dikenal di Jawa Tengah sejak abad ke 9 atau sebelumnya.

“Sebagai simbol kemakmuran, Kuwera mewakili penguasa kehidupan duniawi yang bergelimang dengan barang-barang berharga dan mewah,” paparnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini