Makna Topeng Bebegig Sukamantri dalam Perlindungan Mata Air Tawang Gantungan

Makna Topeng Bebegig Sukamantri dalam Perlindungan Mata Air Tawang Gantungan
info gambar utama

Festival Topeng Nusantara merupakan salah satu cara untuk mengangkat kembali kejayaan seni topeng. Salah satunya kembalinya seni tradisi bebegig yang hingga kini masih lestari dirawat oleh masyarakat.

Seni tradisi Bebegig Sukamantri lahir dari kekhawatiran mata air di perbukitan Tawang Gantungan, berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, diganggu orang tidak bertanggung jawab yang berpotensi merusak.

Dilansir dari laman Budaya Kemendikbud yang diwartakan merdeka, tradisi Bebegig di kawasan Sukamantri tersebut diadakan untuk mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam menjaga serta melestarikan potensi budaya dan alam.

Memang jauh sebelum kerusakan alam dan lingkungan merebak dan merobek kehidupan modern, leluhur Desa Sukamantri sudah menjaga hutan lewat terminologi bebegig. Seni tradisi ini merupakan kesenian yang lahir secara turun-temurun di Sukamantri.

Menengok Tradisi Unik Seputar Pernikahan dari Suku Ogan

Desa ini terletak sekitar 40 kilometer utara Kota Ciamis yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Suasana desa yang sebagian besar penduduknya bertani itu sejuk karena dikelilingi perbukitan dengan ketinggian 700-790 meter di atas permukaan laut (mdpl)

Sejarah seni tradisi ini berkaitan erat dengan wilayah sebelah utara Sukamantri yang disebut Tawang Gantungan, yakni bukit hutan larangan yang dianggap keramat. Bukit dengan ketinggian 950 mdpl ini dipercaya masyarakat sebagai hutan yang angker.

Dipercaya siapa yang berani masuk dan mengganggu tanaman dan pohon di hutan seluas 3,5 hektare ini akan mendapatkan kualat dan hidupnya tidak akan selamat bahkan kelak akan mendapatkan marabahaya.

“Di bawah bukit ada sungai yang bersumber dari mata air di sekitar perbukitan dan mengalirkan air jernih,” tulis Dedi Muhtadi dalam Bebegig, Kearifan Menjaga Sumber Air.

Merawat air

Prabu Sampulur leluhur Sukamantri pernah khawatir dengan sumber air di desa tersebut yang diganggu orang-orang tidak bertanggung jawab. Karena itu penguasa wilayah itu ratusan tahun lalu membuat bebegig, berupa topeng dengan karakter menyeramkan.

Rambutnya terbuat dari ijuk kawung (aren) yang terurai panjang ke bawah, dilengkapi mahkota dari bunga tanaman hutan bubuay dan daun waregu (sejenis palem hutan) yang tersusun rapi di atas topeng.

Topeng-topeng kulit kayu itu dipasang di pohon-pohon besar yang ada di sekitar Tawang Gantungan. Konon, karena kesaktian Sang Prabu, orang yang berniat jahat melihat topeng itu bagaikan makhluk tinggi besar menyeramkan yang siap menerkam.

“Orang yang bermaksud masuk hutan jadi ketakutan,” paparnya.

Tradisi Bertarung dalam Sarung asal Sulawesi Selatan

Disebutkan oleh Dedi, pada atribut pada topeng itu diambil dari tanaman liar yang tumbuh subur di daerah Tawang Gantungan. Atribut ini, jelasnya, mengandung filosofis kehidupan yang sangat dalam.

Prabu Sampulur selalu menyertakan daun waregu pancawarna dan kembang bubuay. Daun waregu pancawarna bukan hanya setiap helai daunnya warna-warni, melainkan merupakan simbol kebaikan atau kebahagian.

“Bunga yang keluar dari pohon sejenis rotan dan disebut bubuay itu disusun rapi berurutan. Itu sebagai simbol runtut raut dalam kehidupan dan sauyunan (kebersamaan),” ucapnya.

Disebutkan oleh Dedi, Eyang Prabu dalam kehidupan sehari-hari memerintahkan keturunannya agar silih asah (saling mengembangkan), silih asih (saling mengasihi), dan silih asuh (saling membina).

Perayaan panen

Dedi mengisahkan pada suatu saat Prabu Sampulur didatangi Sanca Manik dan Sanca Ronggeng sehingga penjaga hutan sumber air itu menjadi 17 orang. Kehidupan rakyat di tempat itu hanya bertani ala kadarnya dan berburu hewan yang bisa dimakan.

Ketika mereka mendapat hewan buruan, Sanca Ronggeng selalu menari-nari kegirangan. Tariannya diikuti yang lainnya sebagai ungkapan rasa gembira dan senang. Karena itulah Prabu Sampulur memberi topeng kepada Sanca Ronggeng.

“Sejak itu, setiap mendapat hasil buruan mereka selalu menari sambil memadukan jurus-jurus bela diri dan tarian,” katanya.

Tidak begitu lama menempati wilayah Tawang Gantungan, Sang Prabu menyerahkan kekuasaannya kepada salah satu kepercayaannya, yaitu Margadati. Dirinya secara kreatif menciptakan keserasian antara gerakan dan alat musik pengiring.

Tepuk Tepung Tawar, Upacara Adat Melayu untuk Mensyukuri Nikmat

Sejak itu Margadati memanggil orang-orang yang memakai topeng beserta atributnya dengan sebutan bebegig. Dirinya mengajak masyarakat untuk membuka lahan pertanian dan juga menganjurkan memelihara kerbau.

Karena terobosan tersebut, masyarakat di desa tersebut mulai mandiri, perlahan-lahan kehidupannya menjadi makmur. Lahan pertanian tertanami karena air terus mengalir dari hutan yang terjaga.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini