6 Fakta dan Mitos tentang Kapal Pinisi yang Sering Disalahpahami

6 Fakta dan Mitos tentang Kapal Pinisi yang Sering Disalahpahami
info gambar utama

Siapa yang tak kenal Kapal Pinisi?. Kapal layar legendaris asal Bulukumba ini dikenal karena kelihaiannya mengarungi keganasan samudera.

Luar biasanya lagi, UNESCO telah menetapkan seni pembuatan kapal Pinisi sebagai Karya Agung Warisan Manusia yang Lisan dan Tak Benda pada 2017 lalu.

Namun dibalik keagungan tersebut, ternyata tak jarang ditemui kesalahpahaman tentang kapal Pinisi yang masih bercokol di tengah-tengah memori kolektif kita.

Apa sajakah itu?. Simak ulasan bergizi berikut ini.

Kapal Pinisi Baru Muncul Pada Abad 20, Bukan Ratusan Tahun Lalu

Mitos vs Fakta

Setidaknya ada 3 mitos yang selama ini dipercaya tentang asal-usul kapal Pinisi;

Pertama, kisah Sawerigading yang konon telah menggunakan perahu Pinisi untuk berlayar dari Luwuk menuju Daratan Cina demi menjemput jodohnya. Kisah ini diyakini terekam dalam Epik La Galigo

Namun faktanya adalah berbagai penelitian telah mengungkapkan bahwa semua anggapan tersebut di atas sama sekali tak benar. Misal penelitian dari Leibner yang diseminarkan pada 2016 lalu mengatakan bahwa nama perahu yang ada pada naskah La Galigo adalah waka, padewakkang atau wakka welenrengnge.

Bahkan tak ada satupun kata Pinisi ditemukan dalam sureq La Galigo, dan daratan Cina yang dimaksud adalah Ale Cina, sebuah daerah di pesisir Selatan Sulawasi bukan Cina sesungguhnya.

Kedua, cerita tentang pelaut Bontobahari zaman dulu yang berhasil berlayar ke kota Venesia, Italia. Kota itu kemudian menginspirasi mereka untuk menamai kapalnya menjadi Pinisi.

Faktanya, Kapal Pinisi tak pernah tercatat dalam berbagai rekaman dan arsip Kompeni Hindia Timur Belanda yang mendahului pemerintahan Kolonial bahkan belum pernah ada perahu Sulawesi yang bersandar di pelabuhan Venesia, Italia.

Ketiga, kisah seorang raja Tallo, I Manyingarang Dg Makkilo, yang menamai perahunya pada abad 17 dengan nama “Pinisi”.

Faktanya adalah bahwa kata “Pinisi” ternyata baru muncul dan populer di awal abad ke-20. Sejak itulah berbagai percobaan tuk menerangkan asal-usul kata ‘pinisi’ mulai diutarakan (Leibner, 2016).

Pinisi adalah Nama Jenis Layar, Bukan Nama Kapal

Pinisi adalah nama jenis layar, bukan nama kapal sebagaimana yang selama ini menjadi anggapan banyak orang. Ia adalah salah satu jenis layar, yang dalam kamus pelayaran disebut “Schooner Ketch” atau “Schooner”, dan dalam bahasa Indonesia diserap menjadi sekunar.

Adapun nama kapal yang umumnya menggunakan jenis layar “Pinisi” adalah kapal jenis “Palari”, yakni kapal yang terdiri dari dua tiang dan dua kemudi.

Jenis kapal lainnya adalah “Lambo”, yakni versi modern dari kapal Palari yang telah dilengkapi mesin motor/diesel, terutama produksi kapal pasca 1975.

Tak ada catatan pasti kapan layar jenis sekunar ini beralih nama menjadi kapal Pinisi.

Namun memang dalam terminologi Bugis terdapat istilah panisi yang berarti "sisip”, atau mappanisi (menyisipkan), yang mengacu pada proses mendempul kayu untuk pembuatan perahu (lopi). Lalu kata panisi ini berubah menjadi pinisi.

Pinisi Sebenarnya Bukan Berasal dari Bulukumba

Kapal layar Pinisi adalah kapal tradisional yang diyakini berasal dari Bulukumba, lebih tepatnya dari Tanah Beru, Kec Bonto Bahari.

Bahkan ketika kita memasukkan entri /pinisi/ dalam KBBI, penjelasannya nyaris serupa yang mengidentikkan kapal Pinisi adalah kapal tradisional khas orang Sulawesi.

Benar jika yang ditanyakan lokasi pembuatan perahu berjenis layar Pinisi, maka jawabannya hingga saat ini memang berpusat di desa Ara, Lemo-Lemo dan Tanah Beru, Bulukumba.

Bahkan para pelaut dari daerah ini memang dari dulu telah diakui sebagai pembuat perahu yang handal (Panritta Lopi), sebagaimana pengakuan itu telah diabadikan seratus tahun yang lalu dalam Koran Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1939.

Adapun asal layar Pinisi (Schooner Ketch) sebenarnya berasal dari Eropa yang mana para pelaut Bugis-Makassar, khususnya orang Bulukumba dulunya mengadopsi layar tersebut.

Yang membedakan adalah cara menggulung layarnya. Layar sekunar Eropa digulung ke atas, sedangkan layar Pinisi digulung memanjang ke arah depan.

Tradisi dan Sistem Pembuatan Kapal Pinisi yang Diakui Dunia

Para ahli pembuat kapal Pinisi (Panritta Lopi) memiliki pengetahuan pelayaran dan perkapalan yang tak perlu diragukan lagi.

Bahkan keahlian dan reputasi mereka dalam membuat kapal telah diakui secara Internasional. Setidaknya sistem pembuatan kapal yang rumit dan konsisten khususnya pada bagian lambung kapal menjadi ciri khas industri kapal Bontobahari (Fitria, 2021)

Menariknya adalah mereka mampu memadukan antara pengetahuan perkapalan modern dan sentuhan kearifan lokal (local genius) dalam proses memproduksi sebuah kapal.

Setidaknya ada 5 tradisi/upacara adat yang wajib dilakukan oleh seorang Panritta Lopi (pembuat kapal), yakni;

  • Upacara Penebangan Lunas (Annakbang kalabiseang)
  • Upacara Menyambung Lunas (Annatta’)
  • Upacara Appasili (Tolak Bala): Pembacaan Barazanji
  • Upacara Ammosi (Pemberian pusar)
  • Upacara Anyorong Lopi (Tahap lepas landas di laut lepas)

Selain sentuhan kearifan lokal, para Panritta juga mengandalkan tradisi lisan dalam merancang sebuah struktur kapal.

Dalam riset Antonia Soriente (2019) menjelaskan bahwa tradisi lisan memiliki peran yang cukup vital dalam proses pembuatan kapal Pinisi. Tradisi ini dapat menjelma menjadi suatu rancangan pembuatan (construction plan) sebuah kapal dalam ingatan seseorang.

Menariknya, kemampuan ini telah diteruskan secara turun temurun. Oleh sebab itu tidak sembarang orang dapat menjadi Panritta Lopi.

Pelayaran Monumental Kapal Pinisi ke Benua Amerika

Phinisi Nusantara adalah kapal berlayar Pinisi yang pernah menorehkan namanya di kancah Internasional pada event Vancouver Expo 86

Mengutip laman Oseanografi Lipi, mengatakan bahwa awalnya banyak tanggapan sinis dari berbagai kalangan. Bahkan media nasional menyebut pelayaran perahu Phinisi Nusantara ini bagaikan proyek melayarkan peti mati saja.

Tetapi akhirnya perahu Phinisi Nusantara dapat mewujudkan rencana itu dengan gemilang, menepis segala keraguan sebelumnya.

Pelayaran yang menyeberangi Samudra Pasifik ini dilepas dari Pelabuhan Muara Baru, Jakarta, tanggal 9 Juli 1986 oleh Laksamana Sudomo.

Kemudian Kapal ini dinahkodai oleh Kapten Gita Ardjakusuma, seorang mantan perwira TNI-AL.

Pelayaran ini menghabiskan waktu 69 hari dari Jakarta sampai ke Vancouver (Kanada), melalui Honolulu (Hawaii) dengan menempuh jarak total sekitar 11.000 mil.

Harga Kapal Pinisi yang Mencapai Miliyaran Rupiah

Harga sebuah kapal Pinisi tergantung pada ukuran dan desain yang diinginkan oleh pemesan. Adapun kisaran harganya mulai dari 3 milyar hingga yang paling mahal dapat mencapai puluhan miliar rupiah.

Misalnya mengutip laporan dari laman Warta Bulukumba yang mewartakan kapal yang dibuat oleh Syamsidar, seorang Panritta (ahli pembuat kapal) dari Bulukumba bahwa kini Ia sedang mengerjakan pesanan seharga 15 miliar rupiah. Dalam proyek tersebut, Ia mempekerjakan orang-orang asli Bontobahari yang hanya berjumlah 7 orang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Achmad Faizal lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Achmad Faizal.

Terima kasih telah membaca sampai di sini