Lapangan Banteng, Saksi Bisu Persembahan Pemuda Indonesia

Lapangan Banteng, Saksi Bisu Persembahan Pemuda Indonesia
info gambar utama

Indonesia adalah negara dengan jiwa patriotisme yang tinggi. Semangat masyarakat Indonesia yang menggebu-gebu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah bukti nyata kuatnya darah juang negeri ini.

“Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.

Siapa yang sudah tidak asing lagi mendengar kalimat di atas?

Kutipan kalimat penuh semangat yang dikeluarkan oleh Ir. Soekarno memiliki makna yaitu generasi muda harus berani menghadapi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri kita.

Bicara tentang semangat pemuda, tahukah kamu pada tanggal 28 Oktober diperingati sebagai lahirnya Sumpah Pemuda?

Sumpah yang diikrarkan oleh pemuda-pemuda Indonesia di kala itu terus terngiang-ngiang di dalam jiwa Indonesia ini. Berawal dari diselenggarakannya Kongres Pemuda I nyatanya jiwa semangat pemuda dan pemudi Indonesia masih terus berjalan sampai hari ini.

Kongres Pemuda I dilaksanakan di lapangan luas terbuka yang disebut dengan Lapangan Banteng.

Berikut adalah nformasi mengenai Lapangan Banteng yang bersejarah.

Sejarah Lapangan Banteng

Diawali dari gagasan diadakannya Kongres Pemuda I di Jakarta. Dengan tujuan untuk membangunkan semangat muda dan mudi yang tergabung dalam organisasi pemuda Indonesia.

Kongres tersebut dilaksanakan di Lapangan Banteng, tempat ini dikenal dengan Waterlooplein atau Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB). Tentunya, lapangan ini memiliki sejuta sejarah dengan kenangan yang berapi-api.

Pada zaman kolonial Belanda di tahun 1632, Lapangan Banteng dinamakan Paviljoensveld atau Lapangan Paviljoen kemudian berubah nama menjadi Waterlooplein atau Lapangan Waterloo namun pada saat itu lapangan ini lebih dikenal dengan Lapangan Singa yang didasari adanya patung singa yang terdapat di tugu peringatan kemenangan perang di Waterloo.

Lapangan tersebut awalnya merupakan kubangan yang menjadi tempat tinggal banteng, sehingga lapangan tersebut lebih banyak dikenal masyarakat dengan sebutan Lapangan Banteng.

Lapangan Banteng dari Masa ke Masa

Lapangan yang dulunya merupakan hanya kubangan banteng dengan cerita sejarah didalamnya mampu menarik perhatian masyarakat.

Sejak 1981, pengelolaan Lapangan Banteng dipegang penuh oleh pemerintah DKI Jakarta sebagai taman umum. Sampai pada tahun 2017, pemerintah DKI Jakarta melakukan revitalisasi besar-besaran di Lapangan Banteng.

Taman Lapangan Banteng dibangun ulang dengan menggunakan konsep tiga zona, yaitu zona Monumen Pembebasan Irian Barat, zona olahraga dan zona taman.

Di kawasan Monumen Pembebasan Irian Barat dibangun amphiteater lengkap dengan kolam pantul dan tidak lupa kursi yang disediakan disusun ke atas dengan ruang lapan di bagian tengah. Pada bagian depan atau tepatnya di samping patung, dibuat 10 panel untuk mengenang peristiwa kemerdekaan yaitu pidato Bung Karno dan tokoh penting lainnya. Di kawasan taman ditanami pepohonan rindang yang membuat taman menjadi asri.

Bagian ikonik dari Lapangan Banteng adalah Monumen Pembebasan Irian Barat. Edhi Soenarso merupakan seniman dibalik karya patung dengan tinggi 9 meter. Patung karya Edhi tersebut sudah berdiri sejak 17 Agustus 1963. Patung tersebut seolah-olah menggambarkan mimik yang berteriak, dengan kedua tangan yang direntangkan dan telapak tangan yang dibuka lebar. Pada pergelangan kaki dan tangan patung tersebut dipasang sebuah borgol yang sudah terlepas dengan rantai yang dibiarkan menguntai begitu saja.

Lapangan Benteng dibuka untuk umum setiap hari mulai dari pukul 07.00 - 17.00 WIB. Kamu juga dapat menikmati acara air mancur di Lapangan Banteng yang dibuka di hari Jumat, Sabtu dan Minggu pada pukul 18.30-19.30 WIB.

Itulah beberapa informasi dan sejarah mengenai Lapangan Banteng. Apakah kamu tertarik untuk mengunjungi Lapangan Banteng?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Phyar Saiputra lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Phyar Saiputra.

Terima kasih telah membaca sampai di sini