Peringati Sumpah Pemuda dan Apresiasi Karya, GoodSide Gelar Warta Inspirasi “Bisik Film”

Peringati Sumpah Pemuda dan Apresiasi Karya, GoodSide Gelar Warta Inspirasi “Bisik Film”
info gambar utama

Saat ini, dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia masih memiliki banyak tantangan, terutama film daerah. Hadirnya saingan perfilman dari berbagai negara, tentu harus menciptakan pondasi apik bagi film daerah.

Film-film daerah cenderung hampir dilupakan. Dengan begitu, Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda yang ke-94, GoodSide menggelar Warta Inspirasi “Bisik Film” (Bincang Asyik Seputar Film), pada Jumat, 28 Oktober 2022. Warta Inspirasi hadir untuk menginspirasi generasi muda Indonesia dalam hal industri kreatif melalui karya terbaik anak bangsa.

Adanya Warta Inspirasi diharapkan makin mengedukasi anak Indonesia untuk dapat berinovasi dalam film hingga buku. Acara Bisik Film ini berlangsung secara daring tersebut digelar dalam rangka mengapresiasi karya anak bangsa melalui bedah karya film daerah Aceh bertajuk Surat Kaleng 1949.

Hadir sebagai pembicara dalam gelar wicara ini, Gunawan Paggaru (Ketua Badan Perfilman Indonesia), Jamaluddin Phona (Founder Komunitas Aceh Documentary), Azhari (Penulis Naskah Surat Kaleng 1949), dan Muna (Aktor/Pemeran Surat Kaleng 1949). Sementara itu, Syahrifal Ainal, Event Coordinator GoodSide, bertugas sebagai moderator.

Mengawali acara, Wahyu Aji selaku Chief Executive Officer (CEO) Good News From Indonesia (GNFI), memberi kata sambutan. Aji mengatakan bahwa masyarakat digital Indonesia cenderung lebih menyukai konten video. Namun, hal tersebut justru mendatangkan plus dan minus.

“Kita lihat, film menjadi sebuah medium yang digemari oleh beragam usia, baik anak-anak, tua, muda, dan sebagainya. Kalau [dari] data GNFI, setiap hari, orang menonton video lebih dari seratus video, tetapi video-video pendek,” ujar Aji.

Adapun sisi baiknya adalah konten audio visual semakin banyak disajikan ke publik. Akan tetapi, masifnya penyebaran konten video tidak dibarengi dengan kualitas yang baik. Aji menyebut, tidak jarang konten video yang ditemui saat ini melalui proses produksi secara asal-asalan dan nihil substansi, demi menarik perhatian audiens.

Oleh karena itu, menurut Aji, diskusi mengenai film yang digarap secara serius penting untuk dilakukan. Ia berharap, Warta Inspirasi “Bisik Film” bisa menjadi wadah koneksi bagi para sineas untuk saling berdiskusi, bertukar ide, dan melanjutkannya hingga ke tahap produksi.

“Itulah kenapa bicara soal film, apalagi dokumenter, apalagi film yang digarap dengan serius, sangat penting. Saya ingin, forum ini bisa menjadi semacam koneksi bagi kita. Mudah-mudahan enggak berhenti di sebuah diskusi, tetapi kita dapat ide-ide, lalu kita bisa melaksanakan (produksi) bareng,” pungkasnya.

Sebelum masuk ke acara inti, peserta gelar wicara terlebih dahulu diajak menonton trailer Surat Kaleng 1949. Jamaludin menjelaskan bahwa film dokumenter tersebut digarap oleh Komunitas Aceh Documentary pada 2018 lalu. Film ini sarat akan isu lokal karena mengangkat sejarah aceh yang bersinggungan dengan sejarah nasional bangsa Indonesia.

Gunawan selaku ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengapresiasi Komunitas Aceh Documentary dan film Surat Kaleng 1949. Ia mengatakan, geliat produksi film dokumenter bertema sejarah oleh komunitas film daerah termasuk bagian dari kekuatan film nasional. Pihaknya mendorong agar komunitas film di seluruh Indonesia mulai berpikir untuk memutarkan filmnya di jejaring yang lebih masif.

“Saya, sih, tidak mau menyebut [sebagai] komunitas lagi sebetulnya. Saya justru mau menyebutnya ini ‘aktivis film’ karena menurut saya, kekuatan film nasional itu harusnya dari teman-teman aktivis ini,” ujar Gunawan.

Lebih lanjut, Gunawan mengatakan, film yang bertemakan NKRI perlu mulai mengeksplorasi sisi patriotisme ketimbang nasionalisme. Hal itu karena semangat patriotisme dalam film akan menimbulkan rasa bangga. Bagi Gunawan, Surat Kaleng 1949 sudah berhasil merepresentasikan sisi patriotisme tersebut.

“Mudah-mudahan, tidak hanya di Aceh, tetapi seluruh Indonesia mencoba lagi untuk mengangkat patriotisme itu supaya kita bangga terhadap bangsa kita, negara kita. Itulah fungsi film seharusnya,” kata Gunawan.

Terkait Hari Sumpah Pemuda, Azhari (Penulis Naskah Surat Kaleng 1949) mengutarakan bahwa film ini cocok diputar kembali dalam memperingati hari bersejarah bangsa. Azhari mengatakan, semangat Sumpah Pemuda bisa dilihat dari dialek tokoh bangsa. Hal itulah yang dituangkan Azhari lewat dialog dalam film dokumenter ini.

“Sumpah Pemuda sebenarnya menariknya itu bukan sebuah peristiwa penggabungan Jong Java, Jong Sumatera, tapi ada perdebatan atau dialek mereka (tokoh bangsa) tentang Indonesia ini. Justru itu yang coba kita gambarkan dalam film Surat Kaleng,” terang Azhari.

Lanjut pada narasumber terakhir, Muna, sang aktor dalam Surat Kaleng 1949, berbicara tentang sulitnya dalam memerankan tokoh Aceh, Hasan di Tiro. Muna mengungkapkan bahwa berat dalam memainkan karakter Hasan yang memiliki latar belakang cukup apik dan mengikat emosi masyarakat Aceh.

Dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan kekaguman akan Komunitas Aceh Documentary yang masih terus eksis hingga kini. Menurut Jamal, ini berhasil sebab latar belakang anggota yang tergabung dalam komunitas ini berbeda-beda.

Tak hanya sekadar pecinta film, tetapi mulai dari administrasi, ekonomi, hingga aktivis pekerja sosial. Selain itu, keberadaan bioskop di Aceh yang tutup pasca tsunami kala itu hingga kini, tepatnya di Banda Ace, sedang diduduki jajaran militer.

Ketiadaan ruang bioskop untuk masyarakat ini menimbulkan peluang besar bagi Komunitas Aceh Documentary untuk kembali membangkitkan pengalaman sinema tersebut.

Kemudian, pada sesi pertanyaan lain, Gunawan berkesempatan untuk menjawab bahwa rencana yang harus dilakukan guna menginspirasi insan perfilman Indonesia, sudah sebaiknya terus munculkan patriotisme dalam diri.

Apapun yang dibuat suatu komunitas, ada baiknya harus memberikan dampak bagi masyarakat satu daerah maupun menjangkau yang lebih luas lagi.

“Sekarang jangan terus berpikir kalau Aceh tidak mempunyai bioskop, tetapi bagaimana film Aceh ini bisa merajai bioskop di luar Aceh,” Ungkap Gunawan.

Gunawan melanjutkan, “Teman-teman pegiat film sebaiknya tidak lagi berpikir lokal, tetapi bagaimana karya-karya itu bisa di distribusikan ke seluruh Nusantara.”

Setelah sesi tanya-jawab berakhir, dilanjutkan pada kuis dengan total dua pertanyaan. Kemudian acara ditutup dengan closing statement dari Judith selaku Kepala Bidang Luar Negeri.

“Suatu bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang belajar dari sejarah untuk menemukan solusi lebih baik. Tantangan perfilman Indonesia masih besar, adanya komunitas yang menjadi pengamat ini akan membantu percepat segala yang diinginkan untuk kemajuan industri,” ujar Judith.

Penulis:

Anggita Divacitra

Fath Putray Mulya

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Kawan GNFI Official lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Kawan GNFI Official.

Terima kasih telah membaca sampai di sini