Uang Kain Tenun ‘Kampua’ dari Buton

Uang Kain Tenun ‘Kampua’ dari Buton
info gambar utama

Uang adalah sistem pembayaran yang sah untuk perdagangan. Sejak zaman kerajaan dulu hingga sekarang, sistem uang inilah yang kerap dipakai untuk segala bentuk transaksi jual beli. Bentuknya pun juga terus berkembang.

Dalam sejarah kerajaan di nusantara, ada sebuah uang yang cukup unik. Sebab, uang ini terbuat dari kain tenun.

Inilah yang disebut sebagai kampua, jenis uang yang pernah dipakai oleh Kerajaan Buton yang berpusat di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara.

Buton, Daerah Istimewa Selain Aceh dan Jogja

Digunakan sejak abad ke-14

Lembar uang kampua yang pertama kali diperkenalkan Ratu Bulawambona | museummputantular.com
info gambar

Kerajaan Buton atau yang dikenal pula sebagai Wolio ini adalah sebuah kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan dan ekonomi yang cukup maju di zamannya. Bahkan, pada saat itu sistem pengendalian peredaran uangnya sudah memiliki lembaga moneter layaknya zaman sekarang.

Awal mula tercetusnya penggunaan kain katun tenun sebagai mata uang ini muncul karena pada saat itu sistem barter dianggap terlalu merepotkan, tidak praktis, dan sulit untuk menghitung takaran yang sebanding. Akhirnya, diciptakanlah sistem pembayaran berupa uang yang dibuat dari kain tenun.

Mengacu pada media sosial Museum Nasional Indonesia, ide kemunculan uang tenun ini muncul dari ratu pertama Buton, Ratu Wa Kaa Kaa. Saat itu, ia mencoba memanfaatkan kainnya yang dipotong-potong sebagai alat pembayaran. Yang mana, warga buton menyisihkan sebagian hasil mata pencahariannya dan mendapatkan potongan kain sang ratu.

Sementara menurut situs Bank Indonesia, pencipta pertamanya adalah ratu Buton yang kedua, yaitu Ratu Bulawambona. Yang jelas, inti pembuatan dari mata uang kain ini adalah untuk memudahkan transaksi masyarakat Buton pada saat itu.

Karena keefektifan dalam penggunannya, uang ini pun terus dipakai oleh Kerajaan Buton sebagai alat transaksi. Bahkan, sampai dengan kerajaan ini berubah menjadi kesultanan.

Pihak pemerintah Bone juga sudah matang-matang untuk memikirkan agar uang ini tidak mudah untuk dipalsukan. Setiap tahunnya, motif yang ada pada uang ini selalu diganti dan punya detail atau ciri khas yang tersendiri tergantung dari tahun penenunannya. Lalu, barangsiapa yang berani memalsukannya, maka hukuman mati akan menunggu.

Situs Museum Mpu Tantular sebagai museum yang menyimpan koleksi uang ini menyebutkan kalau uang ini terdiri atas dua sisi. Umumnya, motifnya berwarna biru dan merah.

Hutan Lambusango: Upaya Merawat Paru-Paru Dunia dari Buton

Ukuran dan nilai tukar

Uang kampua dalam genggaman | Kompas.id/Saiful Rijal Yunus
info gambar

Bahan dasar uang ini adalah kain tenun dengan ukuran panjang 17 cm dan lebar 14 cm. Pembuat uang ini haruslah perempuan yang berasal dari lingkungan istana. Pengawasannya dilakukan oleh ‘Bonto Ogena’, posisi Menteri kerajaan yang bertugas dalam ekonomi dan perpajakan.

Sistem pengukuran per lembar uangnya juga menggunakan patokan ukuran tangan Bonto Ogena. Lebarnya kainnya berpatok pada lebar 4 jarinya, sementara untuk panjangnya dipatok dari pergelangan tangan hingga ujung jari Bonto Ogena.

Mulanya, nilai tukar setiap lembar kampua atau per bida setara dengan 1 butir telur. Perlahan nilai tukarnya pun mulai mengalami perubahan mengikuti kondisi politik dan ekonomi. Pada masa kedatangan VOC, 4 kampua nilainya sama dengan 1 sen.

Seiring berlalunya waktu, uang ini juga mulai dipakai oleh orang-orang di luar Buton. Meskipun ada pantangan lokal yang menyebutkan bila uang ini dibawa berlayar ke luar Buton maka kapalnya akan tenggelam, nyatanya bukti ini bisa ditemukan di wilayah Sulawesi Selatan dan Maluku.

Kemungkinan uang ini dibawa oleh para pedagang VOC ketika itu. Lalu, pada tahun 1850-an, uang kampua mulai ditinggalkan. Meskipun begitu, pada masa penjajahan, desa-desa kecil di wilayah Buton masih ada yang menggunakan uang ini.

Uniknya Karasi, Camilan Manis Khas Masyarakat Wakatobi dan Suku Buton

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

MM
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini