Tulang Belulang di Kampung Puay, Saksi Pembantaian Jepang pada Perang Pasifik

Tulang Belulang di Kampung Puay, Saksi Pembantaian Jepang pada Perang Pasifik
info gambar utama

Pada masa Perang Pasifik (1942-1945), tak kurang dari 8.000 pasukan Jepang di Hollandia (Jayapura) meregang nyawa dilibas tentara Amerika Serikat. Mereka yang masih hidup, melarikan diri ke sebuah kampung untuk bersembunyi dari amukan sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Arthur.

Kampung itu bernama Puay, terletak di Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua. Kampung yang berdekatan dengan Telaga Cinta Emfote itu, turut menyaksikan pertumpahan darah selama Perang Pasifik antara Jepang melawan Sekutu.

Pada April 1944, menurut cerita penduduk setempat, Kampung Puay kerap diserang melalui udara. Serangan itu menewaskan banyak tentara Jepang. Namun, untuk sementara waktu masih ada dua orang yang selamat. Mereka kemudian berlindung di rumah warga dan bertahan hidup dengan merampas beberapa benda milik penduduk, termasuk sagu untuk mengisi perut.

Malangnya, tak berselang lama jejak dua orang itu terendus oleh pasukan Amerika. Mereka pun tertangkap dan sempat melakukan perlawanan, sebelum akhirnya terbunuh.

Jika bertandang ke Kampung Puay sekarang, Anda mungkin masih bisa menemukan sisa-sisa bangkai tulang belulang tentara Jepang di bawah pohon atau pekarangan rumah warga. Tulang itu mulai tampak sejak tanah kampung ini terkikis air Danau Sentani. Tak hanya tulang, bukti artefak lainnya juga bisa dilihat di sana, seperti senapan mesin, panci masak, helm perang, atau botol minuman.

Sayangnya, berbagai artefak itu di tangan penduduk Puay bukan untuk disimpan sebagai peninggalan sejarah, melainkan dijual ke pengumpul barang rongsok atau besi tua. Untungnya beberapa barang sempat terselamatkan. Senapan mesin, misalnya, berhasil diamankan oleh anggota TNI dan kini dipajang sebagai koleksi rumah tahanan militer Waena, Distrik Heram, Jayapura.

Megahnya Danau Habema, Rumah 7 Suku Papua di Kaki Gunung Trikora

Pencarian Tulang Belulang oleh Anak Korban

Iwabuchi, seorang pria warga negara Jepang mendatangi Kampung Puay untuk mengumpulkan kerangka tulang ayahnya yang wafat pada 1942. Jika berhasil ditemukan, tulang tersebut akan dibawanya ke Jepang untuk disemayamkan di Kuil Yasukuni khusus penghormatan bagi warga Jepang korban Perang Dunia II. Pencarian ini mendapat dukungan dari Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia kala itu, dilansir dari Nabire.net.

Dalam menjalankan aksinya pada 2012, Iwabuchi memboyong bermacam perkakas, salah satunya alat semprot air yang akan dipakai untuk mengupas lapisan tanah supaya tulang belulang yang tertimbun bisa muncul ke permukaan.

Cara ini rupanya tak berhasil. Mesin bertenaga genset 6800 kwh itu malah tidak berfungsi. Ia kemudian dipulangkan ke Jepang, sementara genset diberikan Iwabuchi kepada warga Kampung Puay, disusul mesin gergaji dan uang senilai Rp10 juta.

Untuk menghormati perjuangan korban Perang Pasifik asal Jepang, di tahun yang sama, Iwabuchi memimpin pelaksanaan kremasi tulang belulang yang telah dikumpulkan oleh warga Kampung Puay. Kemudian, kremasi berlanjut di Biak, lalu kembali lagi ke kampung Puay, tapi tulangnya ditemukan di Sarmi. Sampai hari itu, benda yang dicari Iwabuchi tak kunjung ditemukan.

Dalam rentang 2011-2013, sudah banyak kerangka tubuh korban yang dikremasi di Kampung Puay, sedangkan abunya disemayamkan di Kuil Yasukuni Jepang.

Memasuki 2013, hambatan terhadap penelusuran Iwabuchi semakin besar. Penandatanganan MoU antara Jepang dan Indonesia menghentikan pengambilan tulang di Kampung Puay. Tulang tentara Jepang itu diresmikan sebagai cagar budaya serta dilindungi Undang-undang nomor 10 tahun 2010.

Setahun setelah itu (2014), MoU tadi disusun ulang. Namun, permusyawarahan tak menghasilkan titik terang. Masyarakat Biak justru meminta sejumlah kompensasi, tapi Iwabuchi dan pemerintah Jepang belum bisa mengambil keputusan waktu itu.

Atas dasar kemanusiaan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu dijabat oleh M. Nuh, akhirnya mengizinkan kembali pengambilan tulang tentara Jepang dari Kampung Puay.

Entah bagaimana akhirnya. Tak banyak catatan tentang pencarian tulang belulang ayah Iwabuchi. Keterangan terkait hasil penelusuran dua tahun itu pun sangat minim. Namun, yang pasti, peninggalan Perang Pasifik di tanah Kampung Puay akan tetap abadi.

Lembah Baliem, Keindahan Perkampungan Papua yang Buat Kagum Petualang Eropa

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini