Hikayat Sihir Lada Hitam yang Antar Petani Lampung Berangkat ke Tanah Suci

Hikayat Sihir Lada Hitam yang Antar Petani Lampung Berangkat ke Tanah Suci
info gambar utama

Sejarah tidak mencatat kapan orang Lampung mulai mengenal tanaman lada. Tetapi yang jelas, selama kurun abad ke 17 hingga ke 19, lada hitam dari daerah ini termasuk salah satu komoditi utama dalam tata perdagangan di Nusantara.

Pada masanya, jauh berabad-abad silam, pesona lada hitam asal Lampung menyihir dunia. Karena pesona ini, para petani lada Lampung sempat menikmati puncak kejayaannya. Tidak sedikit warga yang mampu membangun rumah bagus dari hasil penjualan lada.

Memang kendati sistem tata niaga dikendalikan oleh penguasa, gairah ekonomi di kalangan petani lada tetap tumbuh. Ribuan hektare lahan perkebunan dibuka untuk tanaman lada. Kala itu Lampung bagian selatan mengalami semacam booming lada.

Rempah-Rempah, Menghirup Aroma Surga Persembahan untuk Para Dewa

Melalui Pelabuhan Banten, kala itu lada hitam Lampung memasok pasar hingga ke China dan Eropa. Bahkan sampai paruh pertama abad ke-20, kisah sukses petani lada yang bermukim di ujung selatan Pulau Sumatra ini masih kerap terdengar.

“Kalau ada orang di daerah Kalianda yang membangun rumah dan naik haji pada masa itu, uangnya pasti dari hasil menjual lada,” kata M Nasir yang bergelar Raden Dermawan yang dimuat Kompas.

Lada yang bawa kekayaan

Mido, petani lada asal Trenggalek mengingat dahulu kalau ke mantri suntik, tidak usah membawa uang. Sebagai bayarannya, jelasnya, hanya membawa beberapa genggam lada seorang mantri akan senang.

Hal ini jelasnya, karena harga lada saat itu sangat tinggi. Tingginya harga lada saat itu bisa dibandingkan dengan harga beras. Bila ke pasar, ucapnya, membawa dua kilogram lada untuk ditukar dengan beras, pulangnya bisa membawa sekarung beras.

“Saking banyaknya, bisa-bisa tak kuat mengangkatnya,” ucapnya.

Kora-Kora, Kapal Perang Kebanggaan Ternate yang Usir Portugis dari Maluku

Bahkan di masa-masa awal abad ke 20, banyak petani lada dari daerah Lampung yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Hal inilah yang diceritakan secara turun menurun kepada generasi selanjutnya.

Di paruh pertama abad ke 20, produksi lada dari Lampung ini mencapai 90 persen dari total produksi lada Indonesia. Bahkan saat itu disebut-sebut, Indonesia merupakan pemasok terbesar pasar lada dunia, yakni sekitar 58 persen produksi dunia.

Namun menjelang tahun 1940, ribuan hektare tanaman lada di Lampung dimusnahkan oleh penjajah. Menurut cerita orang-orang tua, perintah pemusnahan itu datang tanpa alasan yang jelas.

“Sejak itu pula, tanaman lada di sekitar Kalinda berkurang drastis,” tutur M Nasir, Kepala Desa Kuripan.

Romantisme lada

Disebutkan oleh Nasir, selain berkurang, kondisi tanaman lada hitam di Lampung semakin diperparah datangnya hama yang mengakibatkan pangkal batang lada membusuk. Sejak itu, petani lada di sekitar Kalianda mulai beralih ke tanaman cengkeh atau padi.

Tanaman lada hitam yang mengandung alkaloid paperin dan piperidin, untuk pembuatan heliotropin sintesis dan minyak atsiri yang dipakai dalam proses pembuatan minyak wangi, ini berangsur-angsur ditinggalkan.

Nasib petani lada di Lampung kemudian sehitam warna produksi lada dihasilkan. Di sentra-sentra produksi lada di Kabupaten Lampung Utara (29.901 hektare) dan Lampung Tengah (12.993 hektare), nasib petani lada ibarat orang kehabisan darah.

Jalur Rempah Nusantara Ada di Pulau Seram

Merosotnya harga lada di pasaran dunia adalah penyebab utamanya. Pada tahun 1991, harga lada dunia jatuh hingga 52-55 sen dolar AS per pound. Padahal tiga tahun sebelumnya (1988), harga lada hitam sempat mencapai 2,38 dolar AS.

Kondisi pasar dunia ini berdampak langsung pada penurunan harga di dalam negeri. Lada hitam yang sempat mengukir harga Rp9.000 per kilogram merosot hingga di bawah Rp2.000, akibatnya ribuan hektare tanaman lada dibiarkan merana.

Devisa yang didapat Provinsi Lampung dari ekspor lada pun kini turun drastis. Jika pada tahun 1988 devisa yang dihasilkan senila 53,3 juta dolar AS lebih, tahun 1992 hanya tinggal 25,6 juta dolar AS.

“Alhasil romantisme kejayaan masa lalu itu hanya tinggal cerita. Tak ada monumen yang patut dipancangkan. Tak ada lagi kisah yang mesti diguratkan. Yang ada cuma tanda tanya besar, kapan masa kejayaan lada hitam Lampung akan berulang,” paparnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini