Tak Disangka! Indonesia Punya Titik Tempat Paling Basah di Dunia

Tak Disangka! Indonesia Punya Titik Tempat Paling Basah di Dunia
info gambar utama

Indonesia yang berada di garis khatulistiwa membuat negeri ini jadi salah satu negara tropis yang posisinya tepat berada di garis khayal permukaan bumi.

Garis lintang yang berada di 0 derajat ini jadi salah satu dari lima garis lintang terpenting di Bumi yang digunakan untuk menunjukkan lokasi relatif negara dan tempat-tempat lain di planet ini.

Empat garis lintang penting lainnya adalah Lingkaran Arktik, Lingkaran Antartika, Tropic of Cancer, dan Tropic of Capricorn.

World Atlas mencatat, garis Khatulistiwa melewati tanah 11 negara di dunia dan melintasi 2 negara pulau. Secara umum, negara-negara yang dilewati garis istimewa ini memiliki iklim hutan hujan tropis.

Suhu rata-rata negara-negara Khatulistiwa sekitar 30 derajat celsius di siang hari dengan curah hujan tahunan rata-rata cukup tinggi sekitar 2.500 hingga 3.500 mm per tahun. Tak heran jika titik paling basah di dunia adalah tempat yang dilewati garis ini.

Dan tempat itu ternyata ada di Indonesia. Kalau Kawan GNFI mengira itu adalah Kota Hujan, maka jawabannya salah. Tempat yang sebenarnya adalah Mile 50 atau Mile Post 50 atau MP50 yang berada di Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Tepatnya di Kecamatan Tembagapura.

Kabupaten Mimika memang dikenal sebagai wilayah pegunungan yang memiliki curah hujan sangat tinggi. Namun kondisi curah hujan di sini sangat berbeda dengan curah hujan di berbagai wilayah lain di Indonesia.

Kabupaten Mimika bahkan dikenal sebagai tempat yang tak pernah mengenal musim kemarau karena hujan turun di wilayah ini hampir setiap hari di sepanjang tahun.

Mile 50 terlentak di jalanan tambang dataran tinggi tengah Papua yang selalu tertutup kabut. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan perusahaan tambang Freeport Indonesia melihat curah hujan di Mile 50 bisa mencapai 12.143 mm.

Angka tersebut merupakan angka tertinggi yang diukur rata-rata selama lima tahun terakhir dengan curah hujan rata-rata 329 setiap hari. Hampir tidak ada harapan sedikitpun untuk berjemur di sana.

Melihat rekaman curah hujan kawasan Tembagapura, ternyata curah hujan tahunan ini masih belum melampaui angka maksimum yang pernah terjadi pada tahun 1999 di angka 15.457,3 mm.

Hampir setiap hari kabut tebal turun di salah satu titik awal pendakian pegunungan Grasberg ini. Untuk diketahui, gunung berapi mati ini menjadi salah satu tambang tembaga dan emas yang paling menguntungkan dan konon paling kontroversial di dunia.

Kondisi kabut tebal ini hampir setiap hari menyulitkan penerbangan helikopter dan memaksa para pekerja tambang dari dataran rendah untuk menempuh jarak tempuh lebih lama. Yaitu 3 jam melalui jalanan kecil.

Salah satu pemerhati lingkungan di Freeport, Gesat Setyado, menjelaskan bahwa fenomena alam ini disebut “efek orografis”, dimana fenomena lereng gunung yang tinggi dan terjal ini akan membuat awan hujan melintasi dataran pantai dan masuk dari laut, kemudian tiba-tiba ditarik ke atas.

Uap air yang naik ke lereng pegunungan itu membuat suhu udara menjadi dingin. Pada ketinggian tertentu, terjadi proses kondensasi yang membentuk awan penyebab hujan.

Papua sebenarnya belum pernah masuk dalam sepuluh tempat terbasah di dunia, tetapi pada tahun 2014 portal statistik IndexMundi menempatkan Indonesia di peringkat kesembilan dari 186 negara dengan curah hujan tahunan terbanyak. Tepat di belakang Malaysia dan Brunei.

Sebelumnya, diketahui tempat terbasah di dunia peringkat pertama disandang Mawsynram di India dengan rata-rata curah hujan tahunan 11.872 mm. Dengan hasil rekaman Mile 50 yang lebih tinggi, status tempat terbasah itu kini diambil alih oleh Indonesia.

Pemeringkatan ini diketahui sudah diajukan kepada World Meteorological Organization (WMO) yang merupakan organisasi meteorologi dunia.

Sumber: World Atlas, Seasia.co, Kompas.com, Detik.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini