Baik Buruk Reflasi: Dampak Bagi Ekonomi Indonesia

Baik Buruk Reflasi: Dampak Bagi Ekonomi Indonesia
info gambar utama

Puluhan ribu karyawan yang tersebar dari banyak perusahaan dunia, secara serentak menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam dua bulan terakhir. Data persentase dan jumlah orangnya pun bertebaran di linimasa, bahkan nama perusahaan raksasa seperti Google dan Amazon turut tercantum. Alasan mereka kurang lebih sama, yakni memangkas pengeluaran. Fenomena ini membuktikan peristiwa kontraksi ekonomi sedang terjadi.

The Balance Money menyatakan, kontraksi ekonomi dapat dipicu oleh perlambatan permintaan karena konsumen kehilangan kepercayaan, kehancuran pasar saham, atau lonjakan suku bunga yang menurunkan belanja modal. Di saat yang bersamaan, para investor ramai menjual saham, menurunkan harga, dan mengurangi pembiayaan perusahaan besar.

Penurunan harga tersebut diterapkan pada semua lini ekonomi. Ketika nilai aset kian turun sepanjang waktu, sedangkan daya beli tinggi, itu dinamakan deflasi. Orang jadi bisa membeli lebih banyak barang atau jasa. Harga turun memang terdengar baik, tapi kalau penerapannya besar-besaran, akan berdampak buruk. Lama kelamaan, harga pasar kembali melambung tinggi sehingga memunculkan ancaman inflasi, dikutip dari Forbes.com.

Deflasi dan kontraksi ekonomi bisa diatasi jika harga turun cukup untuk menarik permintaan. Caranya, dengan melakukan reflasi. Kebijakan ini selalu muncul dalam situasi resesi. Sejumlah pakar ramai memperkirakan kemunculannya di seluruh dunia pada 2023. Untuk itu, mari pahami apa itu reflasi dan dampaknya bagi Indonesia.

Jika Resesi Terjadi, Apa Dampaknya Terhadap Karyawan?

Definisi Reflasi

Dalam artikel Corporate Finance Institute dipaparkan, reflasi menjurus pada kebijakan fiskal bank sentral atau moneter dari pemerintah untuk meningkatkan transaksi ekonomi dan menghentikan deflasi. Beberapa caranya bisa dengan menurunkan tarif pajak atau memperbesar peredaran uang. Semakin banyak uang yang dipegang konsumen, likuiditas perekomonian pun makin meningkat.

Kemudian, mengurangi suku bunga dapat menyebabkan biaya pinjaman menjadi lebih murah. Bisa juga dengan berinvestasi dalam proyek modal besar untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Tujuan dari semua cara itu tak lain untuk memotivasi konsumen membelanjakan lebih banyak uang.

Pemerintah dan bank sentral Amerika Serikat (AS) pernah menjalankan sejumlah langkah reflasi dalam menghadapi kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19 pada awal 2020. Bank Federal Reserve (Fed) memangkas suku bunga dana federal menjadi 0-0,25 persen dan meluncurkan program pelonggaran kuantitatif senilai 700 miliar dolar AS. Fed juga membeli obligasi untuk menyuntikkan dana ke ekonomi negara dan membantu sektor keuangan.

Ia kemudian meminjamkan uang kepada bisnis non-keuangan dan pemerintah negara bagian, lalu melonggarkan syarat ketentuan bank. Sementara itu, departemen keuangan AS menandatangani UU CARES senilai 1,8 triliun dolar AS, semacam bantuan tanggap darurat berupa perawatan kesehatan bagi warga yang terdampak Covid-19.

Semua langkah itu perlahan-lahan mengangkat ekonomi AS. Tingkat pengangguran pun turun dari 14,8 persen menjadi 3,6 persen.

Yang terjadi setelah reflasi

Sejatinya, reflasi tidaklah buruk. Ibarat kata, ekonomi sedang berjuang mencapai pertumbuhan yang melejit. Keberhasilan reflasi bagi suatu negara terlihat pada peningkatan jumlah uang yang beredar dan mengarah pada ekspansi ekonomi. Kemudian, ekonomi stabil pasca deflasi, peningkatan manufaktur domestik akibat permintaan konsumen dan output bertambah, serta kesempatan kerja lebih besar disertai upah yang tinggi.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, reflasi berpotensi menimbulkan pasokan uang berlebihan atau membawa ekonomi berada pada kondisi hiperinflasi.

Kebijakan reflasi yang diimpelementasikan dengan baik akan menghasilkan progres positif bagi ekonomi suatu negara. Misalnya, peningkatan upah dan indeks harga konsumen, pertumbuhan PDB semakin tinggi, dan penurunan angka pengangguram.

Berbagai kebijakan moneter mampu meningkatkan jumlah ketersediaan uang dari bank untuk dipinjamkan kepada pebisnis dan konsumen. Selain memperbesar permintaan, itu bisa berdampak pada peningkatan jumlah tenaga kerja.

Di samping itu, kebijakan fiskal dari bank sentral dapat memacu aktivitas ekonomi. Dengan menyediakan dana bagi UMKM atau pembayaran langsung rumah tangga, dapat meningkatkan jumlah uang yang tersedia dalam perekonomian negara.

Meninjau Peluang Resesi Negara Asia Pasifik, Bagaimana dengan Indonesia?

Dampak reflasi bagi Indonesia

Menanggapi prediksi reflasi dunia, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menjamin perekonomian Indonesia masih kuat. Hal ini didasari oleh pertumbuhan ekonomi yang diyakini mampu mencapai target APBN 2023 sebesar 5,3 persen meski risiko penurunan meningkat.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal ketiga tahun ini yang 5,72 persen, dinilai cukup baik karena didorong permintaan masyarakat, investasi, kinerja ekspor, dan belanja pemerintah. Lalu, ketersediaan suplai industri manufaktur juga terus meningkat, terlihat dari indeks kelola keuangan pada level 51,8 poin. Meski turun dari bulan lalu, peringkatnya masih berada di level 50 selama 14 bulan beruntun.

Tak hanya itu, ekspansi perdagangan jasa, pertambangan, dan harga komoditas pertanian atau jasa, dianggap masih cukup baik.

Semua indikator tersebut dinilai Sri Mulyani mampu memperkuat ekonomi Indonesia. Namun, ia juga meminta semua pihak untuk tetap waspada karena situasi di seluruh dunia masih tidak pasti.

Pertama di Indonesia, Transfer Uang antar 118 Negara Kini Bisa Gratis dan Anti Ribet

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini