Tersihir Wangi Pala yang Persatukan Masyarakat Banda Sejak Berabad Silam

Tersihir Wangi Pala yang Persatukan Masyarakat Banda Sejak Berabad Silam
info gambar utama

Seolah tersihir wangi pala, para pedagang asing rela menempuh ribuan kilometer perjalanan berbahaya mengarungi ganasnya lautan yang mengepung Kepulauan Banda, Maluku. Hingga abad 18, pulau-pulau vulkanis Banda jadi penghasil tanaman pala di muka bumi.

Karena khasiatnya, biji dan bunga pala diburu untuk obat-obatan, bumbu makanan dan wewangian. Karena manfaat dan kelangkaannya, pala menjadi salah satu rempah termahal di dunia.

Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, Kepulauan Banda telah menjadi magnet yang menarik kedatangan banyak bangsa dari negeri China di utara hingga Jazirah Arab di Barat. Lewat pala, nama Banda menyebar ke sejumlah kota di Eropa dan Asia Barat.

Kagum! Ini Dia 8 Destinasi Wisata Indonesia yang Indah Nan Memesona

Perdagangan pala yang berlangsung berabad-abad menjadikan Kepulauan Banda sebagai daerah pertemuan lintas negara, etnis dan suku. Sebelum era kolonial Belanda, Banda telah berkembang menjadi daerah metropolis yang sangat pluralis.

Dimuat di Kompas, Rachel de Vries, warga negara Belanda, sampai menganggap Banda sebagai tanah airnya. Ayah Rachel adalah putri kedua Herman de Vries, perkenier atau pemilik perkebunan pala Combir dan Raning di Pulau Banda besar.

“Keluarga De Vries pertama kali tiba di Banda pada 1840. Untuk mengenang jejak leluhurnya, Rachel rutin datang ke Belanda, mulai dari 1994, 2012, hingga 2014,” jelas Aloysius B Kurniawan dalam Butir-Butir Pala Banda yang Menyatukan.

Mencari leluhur

Tidak hanya keluarga de Vries, Clay Paays, warga Belanda keturunan Indonesia merefleksikan kisah petualangannya menelusuri jejak leluhur di Banda. Dirinya melanglang buana ribuan kilometer dari Belanda ke Indonesia mencari lokasi leluhurnya dikebumikan.

Berbekal sebuah dokumentasi sejarah dari Pemerintah Belanda, mereka lalu menuju Ereveld Menteng Pulo, kompleks pemakaman 4.300-an warga negara Belanda yang tewas selama perang kemerdekaan Indonesia.

Di makam itu, mereka menemukan sebuah papan besar bertuliskan Verzamelgraf Koeningan yang artinya kuburan massal Kuningan. Pada deretan terakhir tertulis nama KWA (Karel Willem Alexander) Paays yang tak lain adalah kakek Clay dan Ray.

Run, Banda, Ternate, Tidore, dan Halmahera di London Menyambut London Book Fair 2019

Karel lahir di Banda pada 21 Januari 1885 dari perkawinan campur Belanda-Maluku. Di Banda, tepatnya di Pulau Naira, dia sempat bekerja sebagai pegawai pos sebelum menjadi petugas pajak saat pindah tugas ke Jawa pada 1923.

Dari situ, darah Maluku mengalir deras di tubuh kakek Clay dan Ray yang berkulit hitam. Karakter fisik Maluku juga menurun pada August Paays, ayah Clay dan Ray serta anak-anak mereka yang cenderung berkulit hitam dan tinggi badan seukuran Asia.

Maluku, terutama Banda, sangat berkesan di hati Clay dan Ray. Mereka yakin di sanalah leluhur keluarga Paays tinggal. Begitu berlabuh di Pulau Naira, hati mereka dilingkupi kegembiraan yang tergambarkan.

“Sulit dipercaya, kami akhirnya menyusuri jalanan yang dulu dilalui leluhur kami. Banda selalu memiliki tempat spesial di hati kami,” paparnya.

Banda yang pluralis

Sisa keturunan Belanda di Banda masih ditemukan hingga kini. Pongky van den Broeke, pemilik perkebunan pala di Banda Besar adalah keturunan ke 13 seorang perkenier asal Belanda, Peter van den Broeke yang datang ke Banda pada 1612.

“Mulai dari generasi ketiga Van Den Broeke, sudah terjadi perkawinan campur di keluarga kami. Keluarga kami merupakan campuran dari daerah Belanda, Jawa, Arab, dan penduduk asli Banda,” ungkap Pongky.

Diceritakan oleh Pongky, keluarganya dahulu selalu menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk selama sepekan. Dirinya juga masih sempat melihat ada dua kotak wayang dan seperangkat gamelan di gudang dekat tempat pengasapan pala.

Buah Pala Pulau Banda: Dari Kesultanan Ustmaniyah hingga Tujuh Sapi Jantan Besar

Sejarawan Universitas Pattimura, Ambon, asal Banda, Usman Thalib menjelaskan sebelum era kolonial, masyarakat Banda sudah menjalin hubungan dengan orang-orang di luar pulau, mulai dari Jawa, Melayu, China, India, persia hingga Arab.

“Sejak dulu masyarakat Banda sangat pluralis,” ucapnya.

Masyarakat Banda juga terbiasa berlayar ke daerah lainnya. Ketika Portugis tiba di Malaka pada 1511, mereka sudah menemukan perkampungan orang Banda di daerah itu. Banda layaknya Indonesia mini sebelum kemerdekaan.

“Di sanalah proses integrasi masyarakat sudah selesai. Di Banda, pluralisme telah menjadi identitas,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini