Tradisi Sasi, Cara Warga Maluku-Papua Lindungi Kekayaan Alam

Tradisi Sasi, Cara Warga Maluku-Papua Lindungi Kekayaan Alam
info gambar utama

Wilayah Pulau Maluku dan Papua didominasi oleh hamparan laut yang kaya akan sumber daya alam. Tak ayal bila sebagian besar masyarakatnya menggantungkan pencarian dengan menjadi nelayan. Berbagai jenis ikan mahal hidup di sana. Sebagai balas budi dari berkah yang melimpah itu, para warga berdaulat membentuk aturan adat sendiri untuk menjaga laut dari perbuatan ilegal.

Sejatinya sasi bukan hanya untuk menjaga perairan, tapi juga hasil hutan. Ia dapat dikatakan sebagai hukum adat untuk mengatur pengelolaan alam supaya terus memberi manfaat bagi manusia. Masyarakat Maluku hingga Papua telah melestarikannya selama ratusan tahun. Mereka mengatur sedemikian rupa kawasan mana saja yang diizinkan atau dilarang untuk nelayan menangkap ikan. Jika berani melanggar, sanksi ringan hingga berat menanti di depan mata.

Salah satu daerah yang menerapkan sasi, yakni Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Sebanyak 11 kampung patuh dan tunduk dengan tradisi sasi. Masing-masing kampung punya aturan sendiri dengan satu kesamaan, yaitu nelayan luar daerah dilarang menangkap ikan di perairan mereka. Hasil laut di situ hanya boleh diambil oleh warga setempat. Para penduduk memiliki kuasa untuk mengelola sendiri hasil alam di daerah mereka.

Di Kampung Warsambin, warga dilarang melakukan penangkapan selama satu hari dalam seminggu. Penetapan waktunya dimulai malam Minggu hingga malam Senin. Lalu, ikan berukuran kurang dari 20 sentimeter tak boleh ditangkap.

Kemudian, di Kampung Waifoi, warga dilarang mengambil teripang yang panjangnya kurang dari 25 sentimeter. Sementara warga Wegalas baru boleh mengambil kepiting rajungan jika panjang karapasnya sudah lebih dari 10 sentimeter. Di Lopintol beda lagi, ikan karang yang panjangnya kurang dari 10 sentimeter mesti dilepas.

5 Makanan Khas Maluku Berbahan Dasar Ikan

Kawasan sasi di perairan biasanya diberi tanda pelampung. masyarakat setempat mengatur hanya ikan saja yang boleh ditangkap dan harus dengan cara memancing. Dilarang menggunakan jaring, potas, apalagi bom ikan. Pelanggar akan dikejar sampai dapat dan diberi sanksi. Selama sasi diberlakukan, penduduk dilarang melakukan aktivitas apapun di lokasi yang telah diberi tanda.

Aturan sasi yang seperti itu bertujuan untuk menjaga kualitas biota laut dan kehidupan semua makhluk di dalamnya, agar berkah yang diperoleh jauh lebih besar. Pernyataan tersebut terbukti, masyarakat selalu mendapat hasil yang luar biasa karena mematuhi sasi.

Mengutip Kompas.com, seorang tokoh adat di Yensner bernama Ishak Burdam mengatakan, ketika sasi telah berlangsung satu bulan, masyarakat panen raya teripang dan lobster. Setelah semuanya dijual, pendapatan yang diperoleh melebihi Rp1 miliar.

Hasil fantastis itu didapatkan berkat kedisiplinan dan kerja sama masyarakat dalam menjaga kekayaan laut. Keuntungan sebesar itu tak dinikmati secara pribadi. Tapi, justru dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas publik, gereja, atau membiayai pelaksanaan upacara adat.

Meski sumber daya alam yang tersedia melimpah ruah, masyarakat tak serakah. Mereka menyepakati banyak hal bersama, termasuk menentukan ukuran lobster yang boleh ditangkap dan dijual. Yang demikian itu dilakukan agar benih lobster tetap tersedia.

Sasi Lompa di Maluku

Lain Papua, lain pula Maluku. Di Pulau Haruku, Maluku Tengah, penduduknya mengenal sasi lompa, sebuah aturan untuk menjaga keberlangsungan hidup ikan lompa—masuk kategori sarden, tapi mirip salmon dan terkenal di daratan Eropa hingga Amerika.

Ikan lompa hidup di air payau antara Sungai Learisa Kayeli dan Laut Banda. Sebelum sasi lompa dilangsungkan, terlebih dahulu dilakukan tradisi bnuka sasi. Pada malam hari, para tetua adat berjalan berkeliling kampung sambil membawa obor dan melantunkan musik tifa hingga pagi hari. Sementara pemangku adat atau kewang berkeliling juga untuk membacakan peraturan sasi lompa dengan lantang. Setelah itu kegiatan berlanjut ke pembakaran daun lobe atau kelapa bering.

Tradisi ini diperkirakan telah eksis dari 1600. Masyarakat diminta menjaga habitat ikan lompa dan dilarang mengambil sumber daya alam sampai usianya memang sudah layak panen. Sebelum sasi lompa dinyatakan berakhir, seluruh warga dilarang menangkap ikan di lokasi yang diberi tanda.

Selain itu, warga juga tidak diperbolehkan mencuci peralatan dapur atau membuang sampah ke sungai. Jika melanggar, siap-siap dikenakan denda atau pukulan rotan. Setelah sasi selesai, biasanya warga langsung beramai-ramai turun ke perairan untuk menangkap ikan lompa. Tradisi ini selalu disambut meriah karena sudah tiba waktunya bersama-sama menikmati hasil mematuhi sasi dengan suka cita.

Papua Barat Daya Lahir, Indonesia Kini Punya 38 Provinsi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini