Denyut Toleransi yang Terus Berdetak dari Ujung Timur Indonesia

Denyut Toleransi yang Terus Berdetak dari Ujung Timur Indonesia
info gambar utama

Di pesisir Papua Barat, mulai dari Sorong, Fakfak, hingga Kaimana, istilah “satu tungku tiga batu” sangatlah populer. Itu merupakan semboyan yang menjaga toleransi beragama selama berabad-abad lamanya.

Yulvianus Harjono dalam Toleransi Beragama: Satu Tungku Tiga Batu yang dimuat Litbang Kompas menyebut secara harfiah, tungku dimaknai sebagai satu rumah besar yakni kebersamaan.

Papua Barat Daya Lahir, Indonesia Kini Punya 38 Provinsi

Sementara tiga batu penopang di bawahnya merujuk pada tiga agama besar di Papua Barat, yakni Katolik, Islam, dan Kristen. Ibarat tungku, satu saja batu itu hilang masa keseimbangan pun akan terganggu.

“Tungku tumpah, petaka pun muncul,” jelasnya.

Karena itu, ucap Yulvianus, jangan heran bila mengunjungi Sorong, Fakfak, maupun Kaimana, toleransi beragama sangat dijunjung tinggi. Katedral, gereja, dan masjid saling berdampingan tanpa terganggu satu sama lain.

Akulturasi kebudayaan

Kabupaten Fakfak merupakan wilayah unik yang berabad-abad lamanya mengalami akulturasi dan pengaruh budaya dari Kerajaan luar seperti Ternate dan Tidore. Dalam catatan sejarah, Kesultanan Tidore masuk ke Fakfak pada abad ke 17.

Di sisi lain, injil pertama kali masuk Papua melalui Pulau Mansinam (Manokwari) di abad 18 dan terus menyebar ke pedalaman dan pegunungan. Agama ini disebarkan Geisiser dan Ottow, misionaris dari Eropa.

Menurut G Oostewal, penduduk Papua pegunungan menganut Kristen dan Katolik sejak turun ke pesisir Papua Barat sejak tiga perempat abad silam. Bahkan warga pesisir Papua percaya bahwa masuknya agama Kristen mulai dari Manokwari turut dibantu orang Islam.

Tulang Belulang di Kampung Puay, Saksi Pembantaian Jepang pada Perang Pasifik

“Ottow dan Geisier masuk ke Pulau Mansinam dengan menumpang kapal yang difasilitasi Sultan Ternate yang beragama Islam,” jelas La Ode Lamu, warga Fakfak.

Karena itulah pertemuan antar agama ini semakin melekat di warga, terutama adanya perkawinan campur antar suku. Karena itu tidak heran, di Fakfak dalam satu keluarga ditemu kaka beradik yang berbeda agama.

Meski beda tetap satu

Dengan demikian, di Fakfak, dalam satu atap rumah warga bisa berbagai agama yang dianut. Hal ini memberikan warna dalam keseharian warga. Misalnya dalam pernikahan atau pembangunan rumah ibadah.

“Di sini sudah lazim jika ada pembangunan masjid, maka ketua panitianya adalah orang Kristen, bahkan pendeta. Begitu pun sebaliknya, kami sama-sama mencari dana dan saling peduli,” ungkapnya.

Mohammad bin Salim bin Musaat, Imam Masjid Jami membenarkan renovasi masjid tertua di Kota Fakfak turut melibatkan saudara mereka kaum Kristen dan Katolik. Ketika Lebaran tiba, warga Kristen bersilaturahmi ke rumah penduduk Muslim, begitu juga sebaliknya.

Sederet Makanan Khas Bagian Timur Indonesia

Karena itulah, ketika terjadi kerusuhan bernuansa konflik antar pemeluk agama di Ambon dan Poso, mereka sangat prihatin. Jarak antara Fakfak-Ambon yang tidak jauh, ternyata tidak mempengaruhi masyarakatnya.

Antropolog Universitas Cenderawasih Jayapura, Mince Rumbiak dalam sebuah diskusi mengatakan orang Papua adalah kelompok masyarakat yang inklusif. Meskipun mereka terdiri dari berbagai kelompok suku.

Hal ini senada dengan pernyataan dosen teologi Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura, Nales Tebay yang menyatakan orang asli Papua sangat menghormati kesucian atau Yang Suci dalam konteks ini Allah.

Gagasan ini jelasnya, tidak hanya dalam simbol, atau praktik ritual keagamaan dan adat, namun juga muncul dalam gagasan beberapa suku tentang roh dan jiwa leluhur, salah satunya ditemui di Komunitas masyarakat Asmat dan Kamoro.

“Kesucian itu misalnya mewujud dalam alam semesta, pada bintang, hutan, dan sungai,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini