Lawan Stigma ODHA, Scott Alfaz: Sumber Kekuatan Utama Datang dari Diri Sendiri

Lawan Stigma ODHA, Scott Alfaz: Sumber Kekuatan Utama Datang dari Diri Sendiri
info gambar utama

“Walau banyak yang beranggapan HIV itu berat atau mematikan, saya yakin Tuhan percaya dan kasih amanah itu. Jadi, saya harus bangkit dan mungkin bisa mengedukasi orang lain.”

--

Tak dipungkiri, stigma negatif terhadap pengidap HIV AIDS masih tinggi di Indonesia. Minimnya edukasi menyebabkan mayoritas orang masih menganggap virus tersebut mudah menular, sehingga kerap bersikap sinis dan mengucilkan ODHA (orang dengan HIV AIDS) dari lingkungan. Tak sedikit pula yang berpikir bahwa terkena penyakit ini, sudah pasti mati.

Begitulah realita dan asumsi yang mesti dihadapi Scott Alfaz, seorang penyintas HIV positif sekaligus pendiri Yayasan HayVee. Hampir 11 tahun hidup dengan virus tersebut, Scott akhirnya mampu bangkit dan menghadapi kenyataan. Ia telah membuktikan bahwa pengidap HIV juga bisa hidup layaknya orang normal, bahkan ia berhasil menyelesaikan studi S-2 di Universitas Groningen, Belanda.

Pergulatan itu bermula pada 2011 ketika Scott yang baru jadi mahasiswa UGM, mengikuti rangkaian pengenalan kampus. Tak pernah terpikirkan olehnya, niat mendonorkan darah melalui sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa, mengantarkan Scott pada kenyataan pahit yang harus dibawanya seumur hidup.

Beberapa pulan pasca donor darah, ia dikabari pihak Palang Merah Indonesia (PMI) Yogyakarta untuk melakukan tes darah ulang ke Puskesmas Gedongtengen. Tiga puluh menit kemudian, hasil yang keluar ternyata positif.

Mengetahui itu, perasaan Scott sontak tak karuan. Semua emosi bergejolak dalam dirinya dan pikirannya kacau. Apalagi beberapa bulan sebelum kejadian itu, sang Ibu telah lebih dulu menghadap sang khalik. Dalam kanal Youtube miliknya, Scott mengaku sempat marah kepada Tuhan dan merasa gagal sebagai anak.

Sejak pertama kali didiagnosis HIV positif, hampir setiap hari Scott berpikir untuk mengakhiri hidup, walau ia tak pernah punya keberanian melakukannya. Dalam perjalanan pulang dari Puskesmas, ia pernah mencoba menabrakkan diri ke kendaraan yang sedang melintas. Tapi, itu urung terjadi.

Dalam rangka menyambut Hari AIDS Sedunia, Good News From Indonesia berkesempatan berbincang langsung secara virtual dengan Scott Alfaz pada Selasa (29/11/2022), untuk mengulas lebih dalam tentang perjalanannya sebagai ODHA hingga mendirikan Yayasan HayVee.

Berikut kutipan perbincangan tim GNFI dengan Scott Alfaz.

Riwayat Kesembuhan Pasien HIV yang Baru Terjadi 4 Kali di Dunia

Bagaimana perasaan ketika pertama kali didiagnosis HIV positif?

Saya waktu itu belum paham HIV itu bagaimana, bakal sehat atau enggak. Jadi, yang saya pikirkan, bakalan berakhir hidup saya. Saya sudah enggak ada masa depan lagi. Itu sih yang mucul di pikiran saya. enggak bisa berkeluarga dan bekerja. Bakal malu-maluin keluarga. Ternyata sampai sekarang, sudah 10 tahun masih tetap dikasih hidup Alhamdulillah.

Siapa yang pertama kali mengetahui kondisi Anda?

Sahabat saya, sahabat dekat cuman satu orang yang tahu. Terus selang berapa bulan kemudian, dua orang sahabat lainnya akhirnya tahu. Kalau keluarga belum tahu, di tahun ke tujuh baru dikasih tahu.

Mengapa Anda merahasiakannya dari keluarga, bahkan sampai 7 tahun?

Kalau selama di awal berhubung saya merahasiakannya dari keluarga begitu kan. Keluarga di Jember, Jawa Timur, saya sendiri kuliahnya di Jogja. Jadi, saya perawatan ambil obat rutin, saya urus sendiri saja semua. Tetap saya rahasiakan karena takut keluarga sedih. Jadi, selama bertahun-tahun itu belum ada keberanian buat cerita ke keluarga. Sampai akhirnya di 2019 itulah akhirnya keluarga tahu kalau saya HIV positif.

Alhamdulillah keluarga masih support sampai sekarang. Dari hari pertama sampai sekarang belum pernah ada penolakan atau apa kayak begitu karena mereka akhirnya kan saya edukasi juga. Saya kasih tahu kalau HIV itu seperti apa. Terus saya juga tetap bisa sehat dan sebagainya begitu. Alhamdulillah keluarga bisa menerima dan bisa percaya kalau saya beneran bisa sehat ke depannya begitu.

Hari AIDS Sedunia: Mengenali Mitos dan Fakta Seputar HIV/AIDS

Setelah mengidap HIV positif, bagaimana kehidupan sosial Anda?

Kalau kehidupan sosial, karena di awal teman-teman yang lain pada belum tahu, jadi mereka biasa saja karena mereka enggak tahu. Tapi kalau teman-teman yang tahu tadi kayak sahabat, ya mereka tetap mau menerima saya juga, sampai sekarang pun tetap berteman, tetap bersahabat begitu. Alhamdulillah sih jarang dapat penolakan begitu.

Walaupun banyak sih teman-teman HIV positif yang lain tuh sering banget dapat penolakan, baik dari lingkungan pertemanan, pendidikan, pekerjaan, atau bahkan dari keluarga sendiri mereka dapat penolakan begitu. Tapi, kalau dari lingkungan saya pribadi, kayaknya belum pernah sih dapat penolakan. Mereka sangat inklusif dan suportif juga.

Selama kuliah di UGM dan Belanda apakah orang-orang tahu kondisi Anda?

Jujur pada saat itu belum tahu. Pada saat saya sedang menempuh, mereka belum tahu. Baik ketika saya sedang S-1 di UGM atau S-2 di Belanda, mereka belum tahu. Tapi, sekarang mereka sudah tahu dan ternyata mereka tetap support.

Baik dari tenaga pengajarnya, beberapa dosen saya sudah tahu, teman-teman kuliah apalagi, semua satu angkatan juga sudah tahu kalau saya HIV positif dan mereka tetap support dan fine-fine saja. Tapi, kalau pada saat (kuliah) itu saya tutupin, ya. Memang tidak saya buka status saya ke mereka pada saat saya menempuh pendidikan.

Apa yang memotivasi untuk tetap bertahan?

Karena saya yakin sih Tuhan kasih kita ujian kayak begitu sudah sesuai sama kapasitas kita. Walaupun mungkin banyak yang beranggapan kalau HIV itu berat dan yang paling menakutkan atau mematikan. Saya pun mengamini hal itu. Tapi, saya yakin oh Tuhan berarti percaya kasih amanah itu ke saya.

Ya sudah, saya berarti harus tetap bangkit dan mungkin saya bisa memberi edukasi ke orang-orang yang lain, baik orang-orang yang belum kena kalau bisa jangan sampai kena karena gaya hidup mereka berisiko seperti saya dulu mungkin atau yang sekarang sudah kena, mereka bisa bangkit setelah melihat oh ternyata ada Alfaz, dia masih bisa sehat kok, dia masih bisa bangkit kok, dia masih bisa hidup normal seperti orang yang lain kayak begitu.

Selama 10 tahun ini apakah ada perubahan dalam tubuh atau efek yang dirasakan?

Kalau efek sebenarnya karena sudah sering konsultasi sama dokter, sebenarnya juga bisa diprediksi sih efek samping dari obat secara kan dia kimiawi dan cukup keras. sudah bisa diprediksi bakalan ada efek seperti ke organ penting kita kayak ginjal, hati, dan lain sebagainya.

Tapi karena sering komunikasi sama dokter dan dokter sering menyarankan untuk selalu olahraga, minum air putih juga biar kerja ginjalnya tetap masih bisa optimal. Alhamdulillah sampai sekarang sih belum merasakan efek sampingnya dan semua organ tadi masih normal juga fungsinya, begitu.

Banyak narasi beredar jikaAnda kuliah ke Belanda untuk pelarian, apakah benar?

Yang paling utama itu sebenarnya untuk pembuktian ke diri saya pribadi dan orang lain. Oh kira-kira bisa enggak saya menempuh pendidikan sama kayak teman-teman yang lainnya. Ada batasan-batasan enggak sih sebagai orang dengan HIV. Saya ingin membuktikan ke diri saya sendiri kalau oh ternyata enggak ada batasan loh, ternyata kamu bisa loh meraih apapun, sama kayak orang-orang normal lainnya selama kamu ada usaha.

Yang kedua, saya juga tetap butuh ilmunya juga karena saya suka belajar juga. Kalau mau dibilang pelarian kayaknya saya sempat nulis di salah satu platform media sosial saya, mungkin itu juga bisa salah satunya karena saya merasa mengungkung diri saya sendiri sebagai ODHA, saya mengurung dan menstigma diri saya sendiri.

Kamu enggak bakal bisa ngapa-ngapain. Sudahlah, hidup kamu begini saja. Dikasih hidup saja sudah syukur. Enggak usah ngarep yang aneh-aneh dan saya berusaha lepas dari stigma diri saya tadi begitu. Lepas dari batasan-batasan tadi begitu.

Bagaimana proses pendirian HayVee?

Kalau HayVee itu awalnya memang sebagai komunitas, ya. Dari 2019 tuh (diisi) sekumpulan orang-orang yang peduli sama isu HIV dan kesehatan seksual. Selayaknya komunitas, kita mengedukasi juga di media sosial, kita bikin kegiatan kumpul-kumpul atau edukasi internal, terus bikin komunitas buat teman-teman HIV positif juga untuk saling menguatkan.

Kebanyakan yang jadi pengurusnya adalah teman-teman HIV negatif karena mereka punya kepedulian tadi. Awalnya kan saya sendiri nih di media sosial, terus banyak teman-teman yang peduli tadi. Yuk lebih terstruktur lagi yuk, coba kita edukasi teman-teman yang lain, coba kita rangkul teman-teman yang lain begitu.

Dari ajakan tadi, gayung bersambut, jadi ya sudah kita jadikan HayVee sebagai sebuah komunitas. Lambat laun pada 2021, (HavVee) sudah jadi yayasan. Ada berbagai program yang dijalankan sama HayVee, ada program penguatan psikologis, program kolaborasi dengan beberapa pihak atau instansi yang memang punya kepedulian yang sama.

Teman-teman yang negatif berkontribusi untuk bisa menguatkan teman-teman yang positif. Kalau teman-teman yang positif sendiri, kita bikinkan wadah, di situ isinya memang orang HIV positif. Ada grupnya sendiri, terus mereka saling support. Tapi, kalau yang menggerakkan sebagai pengurusnya, kebanyakan teman-teman yang negatif.

Adakah cerita dari teman-teman HayVee yang HIV positif mengenai perlakuan yang diterima dari lingkungan mereka?

Banyak sih, ada yang ditolak keluarga, lingkungan pekerjaan, sama pasangannya juga harus berakhir, begitu. Memang enggak gampang, baik bagi orang-orang yang negatif tadi untuk bisa menerima karena mungkin mereka belum paham juga ataupun buat yang sudah positif tadi mereka juga enggak tahu gimana cara ngasih tahunya, cara mengedukasi orang terdekat mereka. Ya sudah, mereka terima saja ketika dapat penolakan atau diskriminasi. Masih sering terjadi kok sampai sekarang.

Menyambut Hari AIDS sedunia, bagaimana Anda melihat kondisi teman-teman ODHA sekarang?

Kalau teman-teman yang baru terdiagnosis, menurut aku harusnya sudah cukup bersyukur karena sekarang kan informasi dan layanan sudah gampang diakses. Mau konseling online atau telemedicine bisa. Beda sama ketika di 2000-an awal, ketika saya baru terdiagnosis. Itu satu dari segi teman-teman HIV positif harusnya kalau ada inisiatif untuk bangkit jadi lebih gampanglah begitu karena didukung dengan banyaknya fasilitas yang ada sekarang di 2022.

Tapi, kalau bicara tentang stigma, sebenarnya masih tinggi juga ya stigmanya begitu. Kayaknya kalau dari data Kementerian Kesehatan, stigmanya kalau enggak salah 63 persen. Pemahaman masyarakat untuk isu HIV masih satu persen begitu. Bayangkan dari berapa ratus juta penduduk Indonesia, yang paham isu HIV AIDS ini baru satu persen.

Apa rahasia Anda bisa terus sehat sampai sekarang?

Nomor satu konsisten minum obat. Jangan sampai bolong, kalau bisa jangan sampai putus minum obatnya. Yang kedua, obat kan enggak bisa jalan sendirian, tetap pola hidup sama pola pikir dijaga. Sebisa mungkin olahraga, makanan juga dijaga.

Orang yang enggak HIV saja bisa drop kan kalau pola hidupnya enggak dijaga. Kalau gaya hidup kamu baik, pola hidup kamu baik, ya mungkin kamu bisa jadi lebih sehat daripada orang yang HIV negatif begitu.

Apa pesan yang ingin atau bisa disampaikan untuk para penyintas HIV AIDS dan masyarakat Indonesia?

Untuk yang belum kena atau belum tahu statusnya begitu, kalau bisa selalu dijaga gaya hidupnya. Kalau gaya hidup kamu masih berisiko, ayo dikurangi atau kalau bisa dihentikan. Maksudnya siapa juga ya saya melarang untuk melakukan hubungan seks atau menggunakan narkoba, itu urusan kalian.

Tapi, kalau bisa jangan yang berisiko begitu. Masih ada jalur yang tidak berisiko yang bisa kamu lakukan. Kalau yang sudah kena, ayo bangkit. Kekuatannya tetap dari dalam diri kamu. Bagaimanapun pemerintah mau support, kalau dari kamu belum ada niatan untuk bangkit, buat hidup lebih baik lagi, ya enggak akan bisa juga hidup kamu jadi lebih baik. Jadi, sumber kekuatan utamanya ya dari dalam diri sendiri.

Apa harapan untuk diri sendiri ke depan?

Berhubung hampir semuanya sudah tercapai, kalau bisa ilmu pengetahuan semakin berkembang. Semoga saya bisa jadi negatif, begitu.

Bagaimana Tinju Menyelamatkan Seorang Penderita HIV

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini