Mengenal Magersari: Permukiman Abdi Dalem Bentuk Layanan Publik Keraton Jawa

Mengenal Magersari: Permukiman Abdi Dalem Bentuk Layanan Publik Keraton Jawa
info gambar utama

Magersari merupakan permukiman yang masyarakatnya sama sekali tidak memiliki surat tanah apa pun dari pemerintah, tetapi bisa hidup tanpa turun-temurun tanpa terusik oleh siapapun, karena hidup dalam tanah pemberian Raja Keraton Yogyakarta.

Sejak sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keraton Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono (HB) VII memberikan tanah hak pakai di kawasan jeron mbeteng kepada masyarakat untuk ditempati sebagai permukiman.

Menarik untuk Dicicipi, Inilah 5 Kue Tradisional Khas Jogja yang Dijamin Sedap

Hidup di Magersari di dalam kawasan benteng keraton adalah peradaban lama yang sampai sekarang masih bertahan. Kehidupan Magersari di Yogyakarta ini mencerminkan layanan publik dari seorang penguasa.

“Masyarakat boleh menempati tanah milik keraton tanpa harus terbebani biaya berat dan bisa berlangsung turun-temurun. Mereka bisa mendapatkan akses hidup di perkotaan dengan mobilitas yang begitu mudah,” jelas Thomas Pudjo Widiyanto dan Budi Kurniawan dalam Tanah Air: Magersari, Layanan Publik Keraton dimuat Litbang Kompas.

Hidup secara turun temurun

Seperti kehidupan masyarakat di kawasan Taman Sari, sebuah situs permandian milik raja yang terletak di sebelah barat Keraton Yogyakarta. Sekitar 300 keluarga telah bermukim di kawasan secara turun-temurun.

“Ya, saya sangat berterima kasih atas kebaikan keraton memberikan tempat terbaik untuk hidup sejak nenek moyang,” ujar Titik, pewaris ketiga dari keluarganya yang menetap di kompleks situs Taman Sari.

Sasongko yang nenek dan ayahnya sebagai abdi dalem keraton merasa tentram karena percaya pihak keraton tidak akan menggusur semena-mena kepada warga yang hidup di tanah keraton.

Calon Mahasiswa Perlu Tahu, Inilah 5 Universitas Terbaik di Jogja

Disebutkannya kehidupan Magersari di Taman Sari memang sebuah contoh betapa masyarakat bisa memperoleh pengayom, perlindungan. Puluhan tahun masyarakat bisa hidup aman dan nyaman di tempat tinggalnya mesti tidak punya surat tanah.

Menurut Kepala Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya (Sekretariat) Keraton Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Haryo Hadiwinoto, Sejak HB VII, peruntukan tanah keraton sudah tertata.

Ada masyarakat yang diberi hak milik dalam istilah keraton disebut hak ngindung. Ada pula warga masyarakat yang diberi anggaduh yaitu pemilik tanah yang sifatnya hak milik, tetapi mereka bisa memakai untuk tempat tinggal dan bisa berlangsung turun temurun.

Kebijakan pembagian hak atas pemakaian sultan ground, bertujuan untuk membedakan pihak-pihak yang diberikan hak atas tanah tersebut. Hak ngindung diketahui hanya diberikan keraton kepada pada abdi dalem, sedangkan hak pakai untuk masyarakat umum.

Hak ngindung memberikan kewenangan kepada abdi dalem untuk mengambil manfaat dan mendirikan bangunan di atas tanah sultan. Sedangkan kewenangan dari hak ngindung hanya mengijinkan abdi dalem untuk menempati rumah para kerabat sultan.

“Pemakaian tanah sultan dengan alas hak ngindung adalah pinjaman tambahan, sehingga tidak semua ngindung dapat memakai tanah sultan yang statusnya terpisah dari rumah kerabat sultan,” jelasnya.

Biaya pemakaian

Hadiwinoto menyatakan pemberian tanah dalam status hak pakai itu dilakukan terus oleh pihak keraton. Entah itu untuk keperluan usaha, permukiman atau keperluan sosial, seperti untuk makam.

Misalnya pada tahun 2012, keraton baru saja memberikan serat kekancingan tanah pakai kepada 350 kepala keluarga di kawasan Ngebong, Kampung Terban, Keraton Yogyakarta dan digunakan sebagai hak pakai.

“Dasarnya, ya hanya pakai, dan masyarakat hanya diwajibkan membayar Rp150.000 sampai Rp200.000 per tahun,” kata Hadiwinoto.

Seru tapi Bikin Merinding, Ini 5 Tempat Wisata Mistis di Jogja

Abdi dalem yang tinggal di atas tanah dan bangunan milik sultan atau kerabat sultan biasanya tidak dipungut biaya, tetapi mereka memiliki kewajiban untuk merawat tanah dan bangunan yang menjadi tempat tinggalnya tersebut.

Hadiwinoto menjelaskan luas tanah milik Keraton Yogyakarta dan berapa masyarakat yang menggunakan tidak tahu pasti. Sekitar 60 persen dari 3 juta penduduk DI Yogyakarta hidup dari tanah keraton, termasuk lungguh di Yogyakarta.

“Sebenarnya khusus di Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia belum pernah memberikan gaji kepada perangkat desa yang gajinya tanah lungguh karena lungguh yang dipakai sekarang adalah tanah keraton,” ujarnya.

Pemakai tanah sultan dengan status magersari tetap harus menyadari bahwa tanah yang digunakannya tersebut tidak menjadi hak milik, sehingga sewaktu-waktu sultan membutuhkan, tanah tersebut harus dikembalikan.

Walau begitu tanah yang digunakan oleh masyarakat dengan status magersari, tidak akan diambil oleh keraton secara mendadak. Keraton akan terlebih dahulu memberikan pemberitahuan dan solusi kepada rakyat yang terdampak.

“Pihak keraton bisa jadi suatu ketika ingin memanfaatkan tanahnya di suatu lokasi tertentu untuk kepentingan keraton. Namun semua itu akan dilakukan secara baik-baik dengan pendekatan jauh-jauh sebelumnya…Selama belum mendapat tempat bernaung yang baru, tanah-tanah itu tidak akan diminta secara paksa,” tulis koran Kedaulatan Rakyat pada 28 September 1991.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini