Mengulik Eksistensi Sadranan pada Masyarakat Bugisan, Prambanan, Klaten

Mengulik Eksistensi Sadranan pada Masyarakat Bugisan, Prambanan, Klaten
info gambar utama

#WritingChallengeKawanGNFI #CeritadariKawan #NegeriKolaborasi #MakinTahuIndonesia

Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim sebanyak 237,53 juta jiwa per 31 Desember 2021 dilansir oleh DataIndonesia.id. Angka ini tentunya membawa dampak tersendiri ketika umat muslim mulai memasuki bulan Ramadhan.

Mengingat bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh rahmat, sehingga diperlukan berbagai upaya penyucian diri sebelum memasuki bulan tersebut. Berbagai tradisi serta kebudayaan lokal pun mulai banyak dijalankan.

Salah satu tradisi yang sangat lekat ketika menjelang bulan Ramadhan, yaitu tradisi sadranan atau ziarah kubur yang masih langgeng dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Candirejo, Bugisan, Prambanan, Klaten.

Tradisi sadranan yang dijalankan di desa yang tepat berada di utara Candi Sewu yang kental akan suasana Buddha ini, sudah berjalan secara turun-temurun walaupun dalam penerapannya telah mengalami perubahan yang cukup banyak dan eksistensinya hingga saat ini hanya dilaksanakan oleh beberapa masyarakat yang dapat dikatakan telah berumur.

Salah satu masyarakat yang hingga saat ini masih menjalankan tradisi sadranan adalah Tuginem atau yang akrab disapa sebagai Mbah Mitro. Menurut penuturannya, ketika ia kanak-kanak tradisi sadranan dijalankan hampir setiap masyarakat, namun kini hanya segelintir masyarakat yang menjalankan.

Perlu diketahui bahwasannya pelaksanaan sadranan ini dilakukan ketika memasuki bulan ruwah yang merupakan bulan kedelapan dalam hitungan Jawa atau bulan Sya’ban. Dalam Bulan Ruwah tersebut, terdapat hari inti di mana sadran tersebut dilakukan berdasarkan penanggalan tiap daerah sendiri.

Di Desa Candirejo, sadran dilaksanakan pada Jum’at terakhir pada Bulan Rajab yang merupakan bulan ke tujuh tepat sebelum masuk Bulan Ruwah.

Tradisi Sadranan | Foto: Tribun Solo
info gambar

Adapun tradisi yang dijalankan dalam sadranan saat ini diawali dengan membuat sesajen dengan memasak makanan dan menyajikan buah atau roti-rotian kesukaan leluhur. Mbah Mitro biasanya memasak masakan kesukaan almarhum suaminya yang terdiri dari sambal kentang, ampela ati yang digoreng, tempe, tahu dan rempeyek.

Kemudian untuk buahnya sendiri terdapat pisang, apel, salak, dan pir. Sedangkan roti-rotian ada bolu emprit, kue satu, roti sisir, dan berbagai macam kue kering. Tak lupa Mbah Mitro menyiapkan segelas teh hangat tubruk.

Dalam menyajikan makanan tersebut, Mbah Mitro menyelipkan selembar uang Rp2.000,00. Hidangan tersebut kemudian disusun rapi dan disajikan pada sebuah meja yang telah dibersihkan. Mbah Mitro kemudian duduk didepan hidangan tersebut dan berdoa.

Tradisi kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam leluhur dengan membawa bunga yang telah dibersihkan sebelumnya. Berziarah atau nyekar dalam bahasa Jawa dilakukan Mbah Mitro lengkap beserta anak, cucu, dan cicit nya.

Tidak hanya Mbah Mitro sekeluarga, kompleks pemakaman pada saat hari nyadran juga dipenuhi oleh keluarga-keluarga lain yang turut nyekar ke makam leluhur mereka masing-masing, tidak hanya membawa bunga saja, banyak keluarga yang turut membawa segelas air dan juga menyan. Setelah selesai mendoakan leluhur atau keluarga yang telah meninggal dunia, Mbah Mitro sekeluarga kemudian kembali pulang ke rumah.

Tetapi sebelumnya, mereka menyempatkan diri untuk membersihkan tangan, kaki, dan mencuci muka di sumber mata air atau belik yang berada tepat di pintu keluar makam. Jarak yang ditempuh cukup dekat dari makam ke rumah, sehingga Mbah Mitro sekeluarga hanya perlu berjalan kaki. Sesampainya di rumah, Mbah Mitro kemudian mengambil sesajen dan membagi sesajen tersebut kepada seluruh anak, cucu, dan cicit nya.

Tahapan tradisi yang dijalankan tersebut telah mengalami perubahan. Terlebih lagi setelah banyak sesepuh yang telah meninggal dunia, sehingga tradisi sadranan hanya dilaksanakan segelintir masyarakat dengan cara yang lebih sederhana. Dahulu tradisi sadranan serentak dilakukan oleh tiap-tiap rumah. Setelah selesai memasak, sesajen akan dibawa ke masjid dengan ditempatkan pada sebuah lengser atau baki stainless berbentuk bulat. Berdoa yang kini dilakukan sendiri-sendiri, dahulu dilaksanakan bersama-sama di lingkungan makam dengan dipimpin oleh seorang yang di tuakan. Baru kemudian selesai di do’akan sesajen akan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang hadir.

Referensi: Bayu, Dimas. Sebanyak 86,8% Penduduk Indonesia Beragama Islam. DataIndonesia.id.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini