Ngopi dan Bacakan, Dua Hal yang Dapat Mempererat Silaturahmi di Kampung Kadu Tanggay

Ngopi dan Bacakan, Dua Hal yang Dapat Mempererat Silaturahmi di Kampung Kadu Tanggay
info gambar utama

#WritingChallengeKawanGNFI #CeritadariKawan #NegeriKolaborasi #MakinTahuIndonesia

Apakah Kawan GNFI termasuk orang yang aktif di masyarakat? Atau justru termasuk yang jarang bergaul? Kalau hal tersebut ditanyakan kepada saya, saya akan menjawab bahwa saya ada di tengah-tengah antara aktif dan tidak aktif/jarang bergaul. Sebentar-sebentar aktif, sebentar-sebentar lagi tidak aktif dan agak malas untuk bergabung.

Saya tinggal di sebuah pedesaan yang sepertinya hampir jadi seperti perkotaan. Alamat lengkapnya yakni di Kampung Kadu Tanggay, Desa Purwaraja, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Jumlah masyarakat di sini banyak mengalami peningkatan, mulai dari lahirnya anggota keluarga baru di sebuah keluarga, hingga adanya beberapa masyarakat dari perkotaan yang pindah dan menetap di desa dan kampung tempat saya tinggal. Hal tersebut membuat keadaan kampung yang sekarang terasa sedikit agak sesak dari sebelum-sebelumnya.

Dalam bermasyarakat, seringkali kita temui ada tetangga kita yang sangat aktif di lingkungan sekitar. Juga ada pula yang tidak aktif dan jarang bergaul, baik karena kesibukan pekerjaan maupun karena memang orangnya yang tertutup. Mereka yang terlihat aktif biasanya adalah mereka yang memang tergolong ekstrover, mudah bergaul, dan bisa dibilang ‘humble’. Sedangkan mereka yang jarang bergaul biasanya tergolong introver, kecuali jika memang karena kesibukan dalam pekerjaan. Tak masalah sebenarnya termasuk golongan manapun, toh kita tidak bisa memaksakan semua orang dalam suatu daerah untuk memiliki kesamaan dengan kita ataupun dengan yang lainnya.

Sebagai orang introver, sebetulnya saya ingin sekali bisa seperti tetangga saya yang lain, tepatnya seperti mereka yang bisa dengan mudahnya bergaul dan tertawa bersama dengan anggota masyarakat lainnya di kampung kami walau hanya sekadar obrolan ringan. Namun rasa-rasanya itu sulit sekali untuk dilakukan. Terlebih, saya orang yang pemalu. Mana bisa saya mengakrabkan diri dengan semua orang di kampung. Kadang ketika berbicara dengan satu orang saja saya tak berani menatap wajah lawan bicara, apalagi satu kampung. Begitu kurang lebih pikiran saya saat itu, beberapa tahun lalu.

Namun, setelah saya terjun lebih dalam di masyarakat, saya menemukan dua hal yang dapat menjadi jawaban untuk kesulitan saya dalam bermasyarakat. Kok bisa saya terjun lebih dalam? Begini. Kala itu, saya sedang dibutuhkan di masyarakat dalam jangka waktu yang sepertinya akan lama. Saya ditunjuk oleh ketua pemuda periode sebelumnya untuk melatih seni marawis yang baru akan dibentuk dalam sebuah tim. Beliau tahu bahwa saya adalah ‘mantan’ pemain marawis saat di madrasah dulu.

Saya bingung saat itu antara menerima tanggung jawab tersebut atau tidak. Di satu sisi, saya berpikir akan kesulitan dalam mengajari anak-anak di tim marawis karena sifat saya yang cenderung pemalu. Di sisi lain, saya juga berpikir bahwa ini adalah kesempatan saya untuk terjun lebih dalam di lingkungan masyarakat. Akhirnya, dengan memantapkan pikiran kedua, saya menerima tanggung jawab sebagai pelatih marawis dan mulai terjun semakin dalam di lingkungan masyarakat.

Seperti yang telah saya sebutkan, ada dua hal yang saya temukan yang ternyata dapat membantu saya mengakrabkan diri dengan para tetangga dan masyarakat di kampung tempat saya tinggal. Dua hal tersebut bisa menjalin tali silaturahmi dengan tetangga menjadi lebih erat: Ngopi dan Bacakan.

Ngopi

Tentunya, istilah ‘ngopi’ sudah tak asing lagi di telinga kita. Ada ngopi yang bermakna menyeduh, meminum, dan menikmati kopi. Ada juga ngopi yang merupakan singkatan dari ‘ngobrol inspirasi’.

Ilustrasi ngopi bareng | Foto: pexels.com
info gambar

Makna ngopi yang pertama pasti sudah lumrah dan lazim kita temui, bahkan mungkin sering kita lakukan. Menyeduh, meminum, dan menikmati kopi yang biasanya hanya saya lakukan ketika sedang mengerjakan tugas kuliah, kini saya lakukan juga ketika sedang berkumpul dengan anggota masyarakat lainnya di kampung.

Biasanya, perkumpulan tersebut dilakukan ketika hendak dan sedang melakukan musyawarah terkait hal-hal yang perlu dibicarakan bersama, contohnya ketika akan melakukan perayaan peringatan hari besar Islam. Sambil mengutarakan masing-masing pendapatnya, beberapa orang yang merupakan marbot masjid langsung menyeduh kopi untuk para anggota masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar tidak mengundang perdebatan panas jika ada perbedaan pendapat. Jadi suasana musyawarah akan terlihat dan terasa lebih kalem, adem, santai, dan tentunya adil berdasarkan hasil yang nantinya akan didapat dan disepakati bersama.

Setelah hasil putusan bersama didapat, musyawarah ditutup. Namun meskipun forum musyawarah telah ditutup, anggota masyarakat biasanya masih stay di tempat untuk membicarakan dan mengobrolkan hal lain di luar topik musyawarah. Nah, di sinilah makna ngopi kedua muncul secara tak sengaja. Obrolan-obrolan ringan yang diselingi oleh canda tawa dari setiap anggota masyarakat tak jarang bisa memunculkan suatu inspirasi, ide, dan juga pemikiran-pemikiran yang keren dan baik untuk seluruh masyarakat. Inspirasi, ide, dan pemikiran tersebut biasanya akan diapresiasi oleh anggota masyarakat lainnya, sehingga tali silaturahmi antar anggota masyarakat menjadi semakin erat.

Bacakan

Dalam ensiklopedi Sunda yang dilansir dari Kebudayaan Kemdikbud, bancakan atau babacakan (atau bisa disebut juga dengan bacakan) ialah nama hidangan maka yang diwadahi nyiru (niru), dengan tilam dan tutup daun pisang, disajikan untuk dimakan bersama pada selamatan atau syukuran.

Nasi kuning untuk bacakan | Foto: pixabay.com
info gambar

Awalnya, tradisi bacakan atau babacakan ini memang dilakukan pada saat syukuran atau selamatan saja. Namun seiring berjalannya waktu, bacakan bisa dilakukan kapan dan di mana saja asalkan ada bahan-bahannya seperti beras/nasi dan lauk pauknya.

Dari pengalaman saya ikut beberapa kali bacakan di kampung bersama anggota masyarakat lainnya, ternyata bacakan ini dapat membantu saya mengakrabkan diri dengan mereka. Selain itu, bacakan juga dapat mengasah kekompakan antar masyarakat. Bagaimana tidak? Sebelum masuk ke prosesi makan, kami dituntut untuk bekerja sama terlebih dahulu. Ada yang mempersiapkan bahan-bahan, ada yang membersihkan dan mencuci lauk pauknya terlebih dahulu, ada yang menyiapkan tungku, ada yang mencuci beras, ada yang menanak nasi (ngeliwet), hingga ada yang menyiapkan daun pisangnya sebagai alas makan.

Nah, sambil menunggu semua matang dan siap, kami biasa mengobrol ngalor-ngidul terkait hal-hal yang sedang ramai diberitakan. Obrolan-obrolan tersebut lambat laun bisa menjadikan saya yang awalnya segan pada anggota masyarakat lainnya, kini menjadi lebih akrab, santai, dan menyatu dengan masyarakat.

Akhir kata, saya sangat ingin bisa akrab dengan tetangga dan anggota masyarakat sekitar di kampung tempat saya tinggal. Saya mulai mengakrabkan diri sejak menjadi pelatih marawis. Selama menjadi pelatih marawis, saya mengamati ada dua hal yang dapat membantu saya dalam mengakrabkan diri dengan anggota masyarakat lain, yakni ngopi dan bacakan. Karena dua hal tersebut, akhirnya saya bisa menjadi semakin akrab dan tali silaturahmi antar masyarakat di kampung kami bisa tetap terjalin begitu erat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AF
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini