Grobak Hysteria dan Pemberdayaan Kampung Perkotaan di Semarang, Mereka Masih Peduli

Grobak Hysteria dan  Pemberdayaan Kampung Perkotaan di Semarang, Mereka Masih Peduli
info gambar utama

#WritingChallengeKawanGNFI #CeritadariKawan #NegeriKolaborasi #MakinTahuIndonesia

Kencangnya zaman berlari mengubah gang-gang kumuh kota menjadi arena megah gedung tinggi dan hunian warga yang sesak berhimpitan di dalamnya. Kebudayaan dan kesenian akhirnya terpaksa hidup dengan sisa nafas yang tak seberapa. Namun, wacana modernitas yang menggerus kultur masyarakat bukan sesuatu yang baru di telinga. Walau banyak yang tak ambil pusing, tetapi banyak pula yang masih peduli.

Di Semarang, Grobak Hysteria atau Kolektif Hysteria adalah komunitas yang mereka definisikan sendiri sebagai “laboratorium bersama”—sebuah inisiasi kolektif yang berfokus pada kerja-kerja pemberdayaan kreativitas, seni, budaya, anak muda, dan isu perkotaan. Lahir dan tumbuh di kota yang tidak subur iklim komunitas dan kolektifnya, Grobak Hysteria berhasil bertahan selama 18 tahun sejak kelahirannya di tahun 2004.

Grobak Hysteria awalnya adalah gerakan kolektif yang berdiri di Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) sebagai respon atas minimnya gerakan dan aktivitas komunitas kesenian di Kota Semarang. Sekarang, melalui pengalaman dan jaringan lokal hingga interlokal selama 18 tahun, Grobak Hysteria lebih dari sekadar kelompok pemuda yang resah karena ketiadaan sarana penyaluran hobi.

Melalui sub-platform khusus yang mereka ciptakan bernama Peka Kota Institute, beragam aktivitas pemberdayaan ruang di Kota Semarang tercipta dengan tujuan mengaktivasi dan merekam kultur serta pengetahuan kolektif warga kampung perkotaan dalam bentuk kebudayaan, kesenian, ataupun festival tahunan.

Seperti misalnya melalui acara seni berbasis situs (kampung) di Semarang yang diinisiasi sejak tahun 2016, dan tahun ini dilaksanakan di Desa Tambakrejo, Semarang Utara, dengan tajuk “Malih Dadi Segara: Pantura Lemahe Banjir” (Kembali Menjadi Lautan: Pantura Tanahnya Banjir).

Grobak Hysteria | Foto: Instagram/@grobakhysteria
info gambar

Melalui inisiatif tersebut, masyarakat pesisir Semarang diajak bersama-sama berefleksi dan bersukaria: refleksi atas tanah mereka yang tiap tahun tenggelam dimakan lautan dan bersenang-senang dalam antusiasme ramainya para seniman dan budayawan menampilkan karyanya. Terlebih, inisiasi ini bermuara pada pertemuan para pemegang kewenangan untuk mendatangkan kebijakan solutif atas masalah daerah pesisir di masa depan.

Jaringan kampung-kota Grobak Hysteria dengan pemberdayaan ruang lainnya, terdapat di Kampung Bustaman dengan kebudayan khasnya, Gebyuran Bustaman. Melalui inisiasi kolaboratif yang membuat warga kampung terlibat banyak, festival tahunan “Tengok Bustaman” berhasil mendorong Gebyuran Bustaman dalam pencatatan pemerintah menjadi warisan budaya tak benda.

Grobak Hysteria | Foto: Grobak Hysteria/grobakhysteria.or.id
info gambar

Pemberdayaan ruang kampung perkotaan ini telah menjadi fokus kerja-kerja kebudayaan dan kota Grobak Hysteria, khususnya sejak tahun 2012. Kemudian, muncul pertanyaan, mengapa mereka berhasil? Pemahaman penting yang pertama adalah semangat militansi dan kepedulian tiap anggota Hysteria dalam mewujudkan apa yang Jane Jacobs nyatakan bahwa sebuah kota hanya bisa memenuhi kebutuhan semua orang hanya jika dibangun oleh semua orang.

Basis pemahaman tersebut kemudian dibarengi pada kolaborasi yang sehat antara anggota Hysteria dengan jejaring kampung-kotanya. Siasat itu dilakukan dengan melibatkan para warga dan dengan pemanfaatan pengetahuan kolektif yang sudah ada di masyarakat.

Gebyuran Bustaman, misalnya, bukanlah kebudayaan baru, tetapi sudah dijalankan berpuluh-puluh tahun oleh masyarakat Bustaman. Dari sana, Grobak Hysteria masuk dengan memanfaatkan gebyuran di Bustaman sebagai jembatan mengaktivasi ruang seni dan budaya yang lebih berdampak melalui bentuk festivalnya.

Namun, sesekali militansi kolektif pasti menemui rintangannya—dan di kota pesisir dengan cuaca panas seperti Semarang, tak sedikit inisiasi Grobak Hysteria yang tak berhasil. Pragmatisme masyarakat untuk menciptakan festival kampung megah yang mendatangkan cuan instan dan lantas mendapat titel sebagai “Desa Wisata” dari Pemkot adalah salah satu bentuk kegagalannya. Hal ini disampaikan oleh Khairudin, Direktur dan Co-Founder dari Grobak Hysteria, dikutip dari Telusuri.id.

Hal ini menjadi refleksi bahwa intensi baik tak selamanya bersambut, dan semuanya kembali pada prinsip pertama dalam kerja-kerja Grobak Hysteria yang perlu dimiliki setiap warga kampung perkotaan: kota milik bersama, kampung milik semua orang. Namun, pada akhirnya semenjak 18 tahun melanglang buana pada aktivitas seni dan budaya, Grobak Hysteria dengan orang-orangnya adalah cerminan kepedulian pemuda akan masa depan kampungnya—akan masa depan kotanya.

Meskipun budaya perkampungan tergerus oleh roda-roda modernisasi, tetapi pemahaman bahwa ruang milik bersama pada akhirnya membuat lahirnya kebudayaan dan kultur baru, Seperti kata Adin dalam Telusuri.id bahwa, “Tradisi juga bisa diciptakan, bahkan dari ketiadaan”. Maka inisiasi serupa Grobak Hysteria adalah jawaban untuk tetap relevan di tengah modernisasi yang menggilas masyarakat kampung perkotaan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

TB
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini