Memori Kotagede: Telapak Jejak Ibu Kota Mataram Islam yang Menolak Terpinggirkan

Memori Kotagede: Telapak Jejak Ibu Kota Mataram Islam yang Menolak Terpinggirkan
info gambar utama

Pada mulanya adalah sebuah hutan belantara bernama Alas Mentaok. Hutan ini dihadiahkan Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, kepada Ki Ageng Pemanahan setelah Arya Penangsang, musuhnya dikalahkan Danang Sutawijaya.

Bagi Hadiwijaya, menyerahkan Alas Mentaok bukanlah keputusan yang mudah. Dirinya sempat ragu-ragu, karena ramalan Sunan Giri, Mentaok kelak akan berkembang menjadi kota besar dan pusat politik Mataram, yaitu Kotagede.

Dan benar, seiring perkembangan zaman, Kotagede yang awalnya hanyalah hutan belantara, akhirnya mengalami proses transformasi luar biasa menjadi sebuah kerajaan sekaligus pusat ekonomi.

Kandang Menjangan: Tempat Berburu Kijang Para Bangsawan Mataram Islam

Kotagede mendapat landasan kokoh ketika putra Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijaya atau Senopati ing Alaga, mulai bertahta dengan gelar Panembahan Senopati (1575-1601). Hingga sekarang, makam Panembahan Senopati di Kotagede masih terawat.

Tetapi kini Kotagede hanya tinggal sebuah kecamatan pojokan Kota Yogyakarta. Pada masa Sultan Agung, pusat pemerintahan dipindahkan dari Kotagede ke Kerto, Pleret, Bantul. Kini cikal bakal Mataram itu hampir terlupakan.

“Ada yang menyebut Kotagede sebagai The Lost Trail of Mataram. Ini barangkali semacam rasa gemas mengingat maju dan pentingnya Kotagede di masa lalu,” jelas Sri Rejeki dalam Jejak Kejayaan Kotagede yang dimuat Kompas.

Catur Gatra Tunggal

Kerajaan Mataram Kotagede dibangun dengan konsep Catur Gatra Tunggal, di mana kompleks kerajaan selalu terdiri dari empat bangunan pokok, yaitu keraton, alun-alun, masjid, dan pasar.

Filosofi ini berdasarkan pasar sebagai pusat ekonomi, alun-alun sebagai simbol hubungan dengan rakyat, masjid sebagai simbol hubungan dengan Tuhan, sedangkan keraton sebagai pusat pemerintahan.

Bangunan-bangunan di Kotagede juga dicirikan dari asal periodenya, yakni Jawa-Hindu, Jawa-Islam, dan Jawa-Kolonial. Misalnya bangunan Jawa-Hindu terdapat ornamen bunga, teratai, dan sulur-suluran.

Menjejaki Umbul Pengging: Pesona Pemandian Umum dengan Kenangan Sejarah

Dilihat dari sejarahnya, Kotagede menjadi saksi perguliran sejarah periode awal Kerajaan Mataram yang masih kental dengan nuansa Hindu, kemudian masuk periode Islam hingga masa pendudukan Kolonial Belanda.

“Karena itu, di Kotagede bisa ditemukan bangunan-bangunan yang memiliki ornamen-ornamen sesuai dengan zaman pembuatannya,” jelas Aloysius B Kurniawan dkk dalam Tanah Air: Alas Mentok, Joglo, dan “Omah” Kalang yang dimuat Kompas.

Sedangkan untuk kampung, di Kotagede biasanya diberi nama berdasarkan profil warganya. Misalnya Kampung Sayangan, dulunya adalah kampung para perajin tembaga. Sayang dalam bahasa Jawa artinya tembaga.

Sedangkan Kampung Samakan dulu merupakan tempat tinggal para perajin kulit. Kampung Pandem merupakan tempat tinggal para perajin besi, dan Kampung Krintenan adalah wilayah mukim para perajin emas, perak, dan berlian.

Terus menggeliat

Selepas tidak lagi berstatus ibu kota Mataram tahun 1613, Kotagede masih terus menggeliat. Kota ini mengalami perubahan sosial yang begitu dahsyat. Di kota itu muncul bangunan-bangunan yang menempati lahan kerajaan.

Alun-alun, lapangan terluas simbol keberadaan keraton, pelan-pelan dihuni oleh masyarakat umum. Demikian pula kampung ndalem yang merupakan istana Mataram Islam juga menjadi daerah hunian.

“Orang-orang yang membangun rumah-rumah itu adalah saudagar-saudagar kaya sebagai pengusaha perak. Mereka inilah yang membangun rumah joglo dengan arsitektur dari masa ke masa. Itu merupakan rumah mewah pada masanya,” kata Chariis Zubair, Ketua Dewan Pengarah Pusat Dokumentasi Kotagede.

Kehadiran Kotagede sebagai kota tua yang menyimpan kekayaan sejarah budaya bukan berarti tanpa ancaman. Dari sisi bangunan saja, jelas Zubair, jumlahnya kini mulai berkurang. Sebelum gempa 2006, ada 172 bangunan kini tidak sampai 100 buah.

Jejak Kuda Sembrani, Hewan Mitologi yang Dipercaya Jadi Tunggangan Raja Jawa

“Menyusutnya jumlah bagunan bukan hanya karena roboh akibat gempa, melainkan juga karena dijual oleh pemiliknya atas pertimbangan pemerataan harta warisan,” jelas Zubair.

Sebagai upaya melindungi Kotagede, misalnya ada sosok Rohmat yang membeli lima bangunan Joglo seharga Rp70 juta - Rp500 juta. Hal ini dilakukannya untuk menyelamatkan joglo Kotagede agar tidak lari ke luar daerah.

Kepedulian juga ditampakkan oleh Universitas Gadjah Mada yang menurunkan sukarelawan. Kini juga sudah ada kesepakatan antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Bantul sebagai kota warisan budaya dan pusaka

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini