Masjid Agung Jami Singaraja, Sejarah Toleransi Beragama di Bali

Masjid Agung Jami Singaraja, Sejarah Toleransi Beragama di Bali
info gambar utama

Banyaknya kerajaan-kerajaan Hindu Budha yang ada di Indonesia meninggalkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan candi.

Namun, berbeda dengan kerajaan pada umumnya, Kerajaan Buleleng menjadikan Masjid Agung Jami Singaraja sebagai bentuk peninggalan sejarah. Masjid tersebut merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Buleleng yang menjadi bukti jejak toleransi beragama antara Hindu dan Islam di Bali.

Masjid Agung Jami Singaraja yang terletak di Kabupaten Buleleng ini menjadi saksi bisu indahnya toleransi beragama di Pulau Dewata sejak pertama kali Islam masuk ke Singaraja.

Sejarah Masjid Agung Jami Singaraja

Masjid Agung Jami Singaraja, bangunan bersejarah peninggalan Kerajaan Buleleng di Bali

Masjid Agung Jami Singaraja, merupakan merupakan masjid yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Buleleng dan diperkirakan sudah ada sejak tahun 1830.

Masjid ini dibangun oleh umat muslim di bali, dan diawasi oleh keturunan Raja Pertama Buleleng Ki Barak Panji Sakti yang bernama Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi yang merupakan kerabat dari Anak Agung Ngurah Panji Sakti yang telah menjadi mualaf dan Abdullah Mascatty yang merupakan tokoh penggerak masa pada saat itu.

Awalnya, umat islam yang tinggal di daerah kampung kajanan, kampung bugis, dan kampung baru hanya memiliki satu masjid yaitu Masjid keramat atau Masjid Kuno yang terletak di Jalan Hasanudin Singaraja.

Namun, karena jumlah umat muslim semakin hari kian bertambah mengakibatkan daya tampung masjid tidak memadai. Akhirnya, pemuka umat ketiga kampung tersebut mengajukan permohonan kepada Raja Buleleng saat itu yaitu Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong untuk kesediaannya memberikan lahan untuk membangun sebuah masjid. Maka diberikanlah tanah seluas 1600 meter persegi untuk membangun masjid di Jalan Imam Bonjol.

Pembangunan masjid ini sempat terhenti karena ditawannya Raja Buleleng Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong dan Abdullah Mascatty ke Sumatera Barat oleh Belanda. Tetapi, kemudian pembangunan masjid ini pun dilanjutkan oleh raja baru yaitu I Gusti Ngurah Jelantik.

Baca juga: Upacara Melasti, Tradisi Penyucian Diri Menjelang Hari Raya Nyepi

Bentuk Bangunan Masjid Agung Jami Singaraja

Gaya bangunan Masjid Agung Jami Singaraja peninggalan Kerajaan Buleleng di Bali

Masjid Agung Jami Singaraja merupakan masjid kuno yang dibangun pada jaman kolonial Belanda. Berada di jalan Imam Bonjol, No.65, Desa Kampung Kajanan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

Masjid Agung Jami Singaraja memiliki beberapa bangunan di dalamnya seperti sekolah PAUD Kampung Kajanan, bangunan utama masjid serta bangunan tempat sekretariat pengelola masjid.

Bangunan masjid ini terdiri dari dua ruangan, satu ruangan utama dan satu serambi depan. Masjid ini memakai pintu khas kolonial belanda dengan bahan dari kayu.

Seperti masjid pada umumnya, di dalam masjid terdapat tiang penyangga berukuran besar dan ruangan khusus imam untuk memimpin ibadah. Bagian atap masjid berbentuk datar polos dengan kubah berwarna perak dan pada bagian serambi masjid, terdapat relung-relung tanpa motif hias.

Pada Masjid Agung Jami Singaraja terdapat mimbar yang digunakan sebagai tempat imam memimpin salat. Hiasannya menggambarkan bangunan khas Islam bugis, yaitu suluran yang di cat berwarna hijau keemasan.

Bentuk mimbar sendiri seperti menara dengan relung di pintu masuknya serta atapnya yang berbentuk limasan. Lantai mimbar bertingkat-tingkat serta terdapat ruangan khusus tempat penyimpanan alat shalat di bagian belakang mimbar.

Pintu utama lingkungan masjid berada di sebelah timur menghadap ke timur, selain itu juga terdapat pintu tambahan di sebelah barat.

Sebelum memasuki masjid akan disambut oleh pintu yang berbentuk persegi empat, memakai dua daun pintu yang di bagian tengahnya juga dibentuk pintu kecil, keseluruhan pintu bagian luar memakai hiasan simbar khas Bugis, sedangkan di bagian dalamnya polos tanpa motif hias. Untuk pengait pintu sendiri terbuat dari besi.

Pintu gerbang masjid merupakan hadiah dari Raja Buleleng yang diambil dari bekas pintu gerbang Puri Kerajaan Buleleng. Pintu gerbang tersebut mempunyai atap berbentuk limas dan pada setiap sudut terdapat ukiran cungkup seperti sulur yang berjumlah enam buah.

Selain itu, pintu ini mempunyai dua daun pintu berupa teralis besi. Di dalam ruang utama terdapat dua tiang soko guru yang terbuat dari pohon kelapa yang telah disemen terletak di bagian tengah.

Dasar tiangnya berbentuk segi empat dengan pelipit datar, miring, dan datar. Di atas pelipit tersebut terdapat bidang datar persegi yang dirangkai dengan pelipit datar dan miring. Setelah bidang datar tersebut terdapat tiang persegi dengan lekukan kedalam berwarna hijau.

Baca juga: Masjid Tuo Kayu Jao, Saksi Penyebaran Islam di Sumatra Barat

Keunikan Masjid Agung Jami Singaraja

Al Quran tulisan tangan Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi di Masjid Agung Jami Singaraja Bali

Masjid ini menyimpan sebuah Al-Qur'an kuno yang berbentuk persegi empat dan disampul menggunakan kulit binatang berwarna coklat. sedangkan di bagian dalamnya dalam kondisi sedikit rapuh akan tetapi tulisan masih bisa dibaca dan dikenali, memakai tinta berwarna hitam dengan aksara dan Bahasa Arab. Al-Qur'an ini memiliki ukuran panjang 33 cm, lebar 24 cm dan tebal 7 cm.

Al-Qur'an ini diduga sudah ditulis pada tahun 1820-an oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi saat menuntut ilmu keagamaan pada gurunya yang bernama Muhammad Yusuf Saleh.

Alquran itu ditulis secara perlahan tatkala I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi menuntut ilmu di Masjid Keramat Kuno. Pada masa itu, mendapatkan kertas dan tinta bukan perkara mudah. Kertas untuk menulis ayat-ayat suci, diimpor dari Belanda. Sementara sampul Alquran terbuat dari kulit lembu yang diimpor dari India. Sedangkan tinta terbuat dari pepohonan yang saat itu banyak ditemukan di sekitar Masjid Keramat Kuna.

Dengan tekun Jelantik Celagi menulis Alquran dengan menggunakan tangan. Ayat demi ayat. Surat demi surat, juz demi juz. Hingga Alquran dengan panjang 33 centimeter dan lebar 21,5 centimeter itu tuntas ditulis. Sebanyak 6.236 ayat, 114 surat, dan 30 juz ditulis rapi dengan tangan.

Ketika Masjid Agung Jami’ berdiri, Jelantik Celagi memboyong Alquran tulisan tangan miliknya ke masjid tersebut. Hingga kini Alquran itu masih tersimpan rapi di masjid. Setiap bulan pengurus masjid melakukan perawatan dengan menaburkan bubuk ketumbar.

Alquran itu kini lebih banyak tersimpan dalam kotak kaca, sangat jarang dibaca. Menurut Humas Ta’mir Masjid Agung Jami Singaraja Muhammad Agil, Alquran dengan tulis tangan itu kini tinggal satu-satunya. Setidaknya di wilayah Kelurahan Kampung Kajanan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Phyar Saiputra lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Phyar Saiputra.

Terima kasih telah membaca sampai di sini