Yuk Kenali 5 Tradisi Betawi yang Tetap Eksis Hingga Saat Ini

Yuk Kenali 5 Tradisi Betawi yang Tetap Eksis Hingga Saat Ini
info gambar utama

Indonesia memiliki keanekaragaman suku dan budaya yang sangat banyak dan menarik untuk dieksplor, salah satunya adalah budaya dan tradisi Suku Betawi yang masih eksis hingga saat kini.

Masyarakat Betawi menjaga dan mempertahankan tradisi leluhur tersebut karena nilai-nilai tradisi yang mengajarkan makna kehidupan manusia untuk saling menjaga kerukunan satu sama lain.

Nah untuk mengenal lebih dalam tentang tradisi masyarakat Betawi tersebut, berikut Kawan GNFI rangkum 5 tradisi masyarakat Betawi yang masih eksis dilakukan hingga saat ini.

1. Nyorog

Tradisi Nyorog khas masyarakat Betawi yang memberikan sembako dan bahan pangan kepada orang tua dan dituakan

Nyorog merupakan tradisi membawakan makanan oleh orang yang lebih muda ke rumah saudaranya yang lebih tua atau dituakan. Nyorog sendiri merupakan bahasa Betawi yang artinya menghantar.

Awalnya, tradisi ini identik dengan memberi sesajen kepada Dewi Sri sebagai simbol kemakmuran. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat mulai menyelaraskan nilai islam pada tradisi Nyorog.

Tradisi ini biasa dilakukan sepekan sebelum puasa. Biasanya anggota keluarga yang lebih muda akan membawa bingkisan (sorogan) yang meliputi sembilan bahan pokok atau sembako seperti beras, telur, gula, kopi atau makanan lainnya.

Tradisi ini ditujukan untuk menjaga tali silaturahmi antar keluarga dan menghormati orang atau tokoh yang dituakan.

Baca juga: Tradisi Nyorog, Budaya Betawi Sambut Ramadan yang Hampir Punah

2. Palang Pintu

Tradisi Palang Pintu, tradisi masyakat betawi saat ingin melangsungkan pernikahan

Tradisi Palang Pintu merupakan tradisi yang berisi laga pencak silat, adu pantun, hingga pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan salawat.

Palang Pintu merupakan tradisi yang menjadi bagian dari upacara pernikahan masyarakat Betawi. Palang pintu menggabungkan seni beladiri dengan seni sastra pantun. Dalam tradisi ini, jawara yang bertindak sebagai perwakilan mempelai laki-laki dan perempuan akan saling menunjukan kemampuan memperagakan gerakan silat dan melontarkan pantun satu sama lain.

Tradisi palang pintu menyimbolkan ujian yang harus dilalui mempelai laki-laki untuk meminang pihak perempuan. Jawara dari daerah asal laki-laki harus bisa mengalahkan jawara yang berasal dari daerah tempat tinggal perempuan.

Hal ini sesuai dengan pelaksanaannya di mana rombongan mempelai laki-laki harus melewati hadangan tantangan yang diberikan oleh pihak perempuan. Sementara itu, berbalas pantun dimaknai sebagai manifestasi dari diplomasi. Palang Pintu juga berfungsi untuk mendekatan hubungan antar kampung dan antar keluarga.

"Palang" dalam bahasa Betawi sendiri artinya penghalang terhadap sesuatu supaya tidak bisa lewat dan "Pintu" diartikan pembuka atau tempat masuk kedalam sesuatu tempat atau hubungan.

Palang Pintu dijadikan sebagai pembuka halangan orang lain yang akan masuk ke daerah tertentu yang memiliki jawara penghalang yang biasa digunakan pada acara pernikahan atau besanan.

Prosesi ini berlangsung dengan seni beladiri mempelai pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Tidak lupa mereka akan beradu pantun yang berisikan pertanyaan atau tujuan melamar sang wanita.

Tradisi ini dilaksanakan sebelum akad nikah dimulai, rombongan mempelai pria akan dihadang oleh mempelai wanita.

Baca juga: Palang Pintu, Tradisi Turun Temurun Suku Betawi

3. Roti Buaya

Tradisi Roti Buaya, hantaran masyakat betawi saat ingin melangsungkan pernikahan

Nah, mungkin kamu sudah tidak asing lagi dengan nama Roti Buaya ini. Tradisi ini menggunakan roti berbentuk buaya sebagai barang wajib saat upacara pernikahan masyarakat Betawi.

Biasanya panjang Roti Buaya mencapai 50 sentimeter sampai 1 meter dan dibawa oleh mempelai pria saat acara pernikahan.

Roti Buaya sendiri merupakan inspirasi dari tingkah buaya yang hanya kawin sekali seumur hidup mereka sehingga masyarakat Betawi mengharapkan dengan adanya tradisi ini pernikahan bisa langgeng dan pasangan akan saling setia satu sama lain.

Dulunya, Roti Buaya ini juga merupakan lambang kehandalan dan dianggap sebagai makanan golongan atas.

Biasanya, mempelai pria membawa sepasang Roti Buaya yang berbentuk buaya besar dan buaya kecil yang diletakkan di atas Roti Buaya besar yang disimbolkan sebagai buaya wanita.

Baca juga: Inilah Filosofi Buaya dalam Adat Pernikahan Betawi

4. Lenong

Tradisi Lenong Betawi, tradisi teater tradisional masyakat betawi dari kampung ke kampung

Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta, Indonesia.

Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, gendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong.

Awalnya, Lenong mulai berkembang di Indonesia pada abad ke-20 yang ditampilkan dengan cara mengamen dari satu kampung ke kampung lainnya.

Biasanya pemain Lenong akan meminta sumbangan secara sukarela kepada masyarakat yang menonton pertunjukkannya dan dipertontonkan secara terbuka tanpa menggunakan panggung.

Uniknya, teater Lenong ini tidak membutuhkan naskah cerita dan pemain yang ditetapkan. Pemain akan melakukan Lenong sesuai dengan improvisasi kreatif secara spontan.

Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan, dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dengan dialek Betawi. Dan dilakoni dengan jumlah pemain biasanya bisa mencapai lebih dari 10 pemain dan pengiring musik.

Baca juga: Mengenal Lenong, Seni Teater Betawi

5. Bikin Rume

Tradisi Bikin Rume Betawi, tradisi syukuran dan diskusi bersama masyarakat sekitar saat ingin membangun dan pindah rumah

Tradisi Bikin Rume merupakan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Betawi sebagai bentuk syukuran saat hendak membangun rumah. Bagi masyarakat Betawi, membangun rumah merupakan kegiatan yang sakral karena melibatkan perhitungan, pantangan, hari baik dan keselamatan bagi yang menempati rumah nantinya.

Tradisi ini berisikan agenda musyawarah keluarga mulai dari jenis rumah yang akan dibangun, ketersediaan lahan, biaya pembangunan, arah bangunan rumah, hingg penentuan hari dibangunnya rumah.

Saat keluarga sudah mendapatkan hari dibangunnya rumah atau "hari baik", pihak keluarga akan mengundang warga untuk mengadakan "Rowahan" atau permohonan kepada Tuhan yang Maha Esa agar proses pembangunan dapat dilindungi dan berjalan lancar.

Biasanya pihak keluarga akan meminta bantuan kepada warga sekitar secara sukarela untuk membantu proses pembangunan rumah seperti meratakan tanah atau yang biasa disebut Baturan.

Saat Baturan dilakukan, orang Betawi akan meletakkan lima bata garam yang diletakkan di tengah dan empat lainnya diletakkan di pojok tanah yang dipercaya untuk membebaskan bangunan dari makhlus halus dan dilanjutkan dengan peletakkan uang perak sebelum dibangun tiang guru atau tiang utama bangunan.

Setelah itu baru dilakukan pemasangan kaso pada bagian atas rumah dan orang Betawi akan membuat bubur merah dan bubur putih yang diletakkan di atas tiap-tiap tiang guru sebagai sesajen keamanan bagi pemilik rumah.

Baca juga: Kisah Leluhur Betawi, dari Masyarakat Sungai hingga Kuasai Sunda Kelapa

Nah itulah beberapa tradisi Suku Betawi yang masih dipraktikkan hingga saat ini. Walau sudah mulai jarang dipraktikkan dan ditemui, tradisi ini sejatinya bertujuan untuk mendekatkan hubungan manusia satu sama lain dan ucap syukur masyarakat Betawi kepada Tuhan.

Semoga tradisi-tradisi Suku Betawi tadi tetap eksis dan terjaga adat dan budaya ya!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Phyar Saiputra lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Phyar Saiputra.

Terima kasih telah membaca sampai di sini