Merawat Manuskrip Kuno untuk Mengingat Pesan Kedahsyatan Bencana Alam

Merawat Manuskrip Kuno untuk Mengingat Pesan Kedahsyatan Bencana Alam
info gambar utama

Sebelum petaka 26 Desember 2004, masyarakat Aceh umumnya belum mengenal istilah tsunami. Mereka tak mengira sehabis gempa, air laut bisa menghantam daratan. Padahal ratusan tahun silam, cendekiawan Aceh telah menuliskan hal tersebut.

“Sebelum 2004 tidak ada pembelajaran mengenai gempa dan tsunami,” kata Hermansyah, filolog muda dari Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry yang dimuat Kompas.

Oman Fathurahman, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menyebut ketiadaan pengetahuan tentang gempa dan tsunami membuat warga ketika itu tak bersiaga.

Padahal, jelasnya Aceh sebenarnya menyimpan banyak naskah tua yang mengabarkan kejadian gempa dan tsunami pada masa lalu. Seperti catatan tangan di sampul sebuah manuskrip asal abad ke 19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar.

Sebelumnya pada 2005, Oman juga menemukan naskah takbir gempa yang tersimpan di Perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Naskah anonim itu dibuat abad ke 18, tiga abad sebelum tsunami melanda Aceh.

Manuskrip tentang kejadian gempa pada masa lalu ternyata juga ditemukan di sejumlah daerah lain. Di Sumatra Barat ditemukan takwil gempa di Surau Lubuk Ipuh, Pariaman dan Malalo, Tanah Datar.

“Naskah takwil gempa ini mirip dengan takbir gempa yang ditemukan di Aceh,” jelas Zuriati dan timnya.

Nandong, Mitigasi Bencana Tsunami dengan Kearifan Lokal Masyarakat Simeulue

Kabar dari masa lalu

Oman menyebutkan pada catatan kuno tersebut menyebutkan pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada pagi hari Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah atau sekitar 3 November 1832.

Angka tahun 1248 Hijriah atau 1832 Masehi ini menarik karena berdasarkan catatan penjelajah Barat, gempa dan tsunami pernah melanda pantai barat Sumatra pada tanggal 24 November 1883.

Hal ini juga sama sepeti dalam Kitab Ar Risalah yang sebenarnya berisi soal akidah, pertobatan, dan hukum Islam. Di dalam manuskrip setebal 193 halaman itu terdapat 12 halaman tentang takwil gempa atau tafsir terhadap gempa yang terjadi.

Kitab aslinya sudah ratusan tahun, sampulnya dari kulit domba, tetapi sekarang entah hilang kemana. Takwil gempa di manuskrip itu memaparkan kejadian yang akan mengikuti gempa bumi dalam rentang waktu dari subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan.

“Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu Subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu dhuha gempa itu, alamatnya laut keras akan datang ke dalam negeri itu…”

Dengan benderang, naskah ini menggambarkan gempa bisa memicu naiknya air laut hingga ke daratan. Naiknya air laut itu dikenal dengan tsunami. Tetapi hingga sebelum gempa dan tsunami besar yang melanda Aceh, banyak warganya tak memahami fenomena itu.

“Rekaman soal tsunami telah dicatat nenek moyang kita sehingga seharusnya kita tak terkejut dengan gempa dan tsunami yang akhir-akhir ini kerap terjadi,” jelas Oman pada 2012 silam.

Hanya 50 di Dunia, Padang Jadi Komunitas Siaga Tsunami Internasional Versi IOC-UNESCO

Menyelamatkan warisan

Kearifan yang terkandung dalam berbagai manuskrip kuno Minangkabau cenderung diabadikan oleh masyarakat kontemporer di Sumbar. Padahal naskah-naskah kuno itu banyak mengandung kebajikan dan pengetahuan berbagai.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Pramono mengatakan pengabaian itu terjadi sejak paruh kedua abad ke 20. Terutama, jelasnya, sejak tradisi pendidikan di surau mulai ditinggalkan.

Selama ini, naskah-naskah kuno dengan tulisan Arab Melayu yang ditemukan memang sebagian besar berasal dari surau-surau. Salah satu di antaranya adalah takwil atau tentang gempa yang ditemukan di Surau Lubuk Ipuh, itupun hanya salinan.

Yusri Akhimudin Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Batusangkar, Sumatra Barat menemukan teks takwil gempa secara tidak sengaja pada 2018. Kini mereka melakukan pembersihan, inventarisasi dan digitalisasi manuskrip.

Nasib baik pula yang menggiring Oman menemukan naskah takbir gempa di Perpustakaan Ali Hasymi, Banda Aceh, pada 2005. Baginya menyelamatkan naskah tua juga seperti menjaga pengetahuan berharga yang diwariskan para cendekiawan Aceh pada masa lalu.

“Saat itulah, secara tak terduga kami menemukan dua naskah takbir gempa,” kisahnya.

Oman dan Manassa terus memburu naskah-naskah tua di berbagai pelosok Nusantara untuk didokumentasikan lalu digitalkan. Sejak tahun 2005, Manassa telah mendigitalkan sedikitnya 10.000 naskah dari sejumlah wilayah Nusantara.

Canggihnya Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Penumpang Tak Perlu Khawatir jika Terjadi Gempa

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini