Bermain Dakon sebagai Cara Mengasah Asa dan Rasa Anak-Anak Jawa

Bermain Dakon sebagai Cara Mengasah Asa dan Rasa Anak-Anak Jawa
info gambar utama

Dakon merupakan permainan asli Jawa, bukan permainan impor layaknya gobak sodor. Konon gobak sodor yang berasal dari negeri Kincir Angin, berasal dari kata Go back through the door yang berubah menjadi gobak sodor karena lidah orang Jawa.

Sementara itu Dakon, diduga dari kata daku, menghaki, mengklaim. Pada mulanya, permainan dakon ini dilakukan di dalam tanah yang dilobangi sebagai tempat biji buah sawo atau kecik.

Biji tersebut adalah biji dari buah sawo manilo yang waktu itu banyak terdapat di halaman keraton atau rumah para pangeran. Sehingga konon kata orang, ini adalah permainan anak-anak raja.

Gobak Sodor, Permainan Tradisional yang Terinspirasi dari Latihan Prajurit

Sehingga disangsikan apabila ada orang yang menyebut dakon berasal dari negeri Belanda. Apalagi di Kota Jakarta sendiri terdapat juga jenis permainan ini, dengan nama congklak. Entah apapun artinya, sehingga lebih populer dengan istilah itu.

Dakon boleh dikatakan permainan yang tanpa mempergunakan otak, hal ini dikarenakan dakon adalah permainan yang bersifat nrimo ing pandum atau satibane kabegjan, menurut istilah Jawanya atau untung-untungan.

“Sehingga dalam permainan, tak ada sedikitpun istilah atau niat untuk ngoyo, atau serius sama sekali bila bermain dakon ini,” papar Bambang Soeharto dalam Dakon yang diterbitkan Kompas.

Mainan anak bangsawan

Seni budaya bangsa Indonesia selaras dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Begitu pula dalam sisi permainan, antara lain permainan dakon ini. Permainan inipun mengalami kemajuan pada masa dewasa ini semakin meningkat terus.

Disebutkan oleh Bambang, sampai-sampai dewasa ini menembus rumah-rumah gedongan, sehingga bukan hanya di rumah kaum bangsawan saja, melainkan juga rumah kaum elite yang lainnya.

Bambang menyatakan dakon semula hanya permainan putra-putri para raja atau pangeran, yang semula dimainkan di bawah pohon yang rindang, pohon sawo manilo atau sawo kecik, dengan alat tanah yang diberi lubang.

Permainan Engklek: Permainan Tradisional yang Ada Indonesia sejak Zaman Kolonial

Jumlah lobang dalam dakon menjadi standar jumlah biji sawo atau keciknya di dalam tiap lobang. Apalagi jumlah lobang dakon ada sembilan, maka tiap lobang pun harus pula sembilan biji keciknya.

Biasanya jumlah lobang dakon, ada dua puluh atau enam belas. Yaitu tujuh atau sembilan di satu sisi, dan tujuh atau sembilan di sisi lain, dengan satu lobang besar di ujung dua sisi untuk menaruh tempat biji kecik.

Setelahnya para pemain ini yaitu berjalan atau mengedarkan kicik-kicik tersebut ke setiap lobang dakon tersebut. Setiap sekian lama memasukan tiap biji kecik ke setiap lobang, akan ditemui istilah seperti mbedil, mikul.

Ada pula istilah mbero yaitu bilamana mbero, yaitu bilamana lobang-lobang dakon daerah kita tidak semuanya berisi kecik. Akan tetapi, kita juga kalah kecik namun menang dalam bermain, yaitu menang laku.

Kini surut

Dakon ini semakin surut juga dimainkan oleh anak-anak, baik di kampung maupun di pedesaan. Surut sebagai permainan, karena perkembangan permainan yang lain. Tersisih dengan jenis permainan yang lain.

Apalagi di malam hari, semula orang sambil menghabiskan waktu sebelum tidur, dengan mata terpejam-pejam karena kantuknya sambil tetap ketak-ketik bunyi kecik-kecik beradu dengan kecik dalam lobang.

Kini dijelaskan oleh Bambang, tidak ada lagi yang bermain itu sebab orang lebih asyik duduk menghabiskan sisa waktu sebelum tidur sambil menonton TV, yang menyajikan tontonan lebih menarik daripada bermain dakon.

“Dolanan-dolanan seperti gobak sodor kini pun tak pernah kita jumpai lagi. Sebab, anak-anak kecil di pedesaan atau kota terlebih lagi suka duduk di depan pesawat TV, meski malam bulan purnama sekalipun.” paparnya.

Namun kini, dakon telah menyusup ke dalam gedung bertingkat, rumah kaum elite, namun bukan sebagai alat permainan saja, tetapi telah berubah pula fungsinya, menjadi semacam dekorasi yang mahal harganya, serta artistik bentuknya.

“Harga itupun konon kata si penjual, untuk konsumsi kaum elite, dan bentuknya pun khusus pula dengan tarifnya,” jelas Bambang.

Di pasar, ataupun dalam perayaan sekaten, terdapat juga para pedagang dakon khusus masyarakat kecil. Sebab hanya terbuat dari kayu yang murah dan relatif pula kekuatannya, sehingga harganya pun harga rakyat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini