Memori Sesuap Gutel, Pengganjal Perut Pejuang Suku Gayo di Masa Lalu

Memori Sesuap Gutel, Pengganjal Perut Pejuang Suku Gayo di Masa Lalu
info gambar utama

Masyarakat Aceh terdiri dari beberapa suku, salah satunya Gayo. Penduduk suku ini tinggal di dataran tinggi Gayo yang membentang luas meliputi Kabupaten Aceh Tamiang, Bener Meriah, Gayo Luwes, Aceh Tengah, dan Lokop di Aceh Timur.

Soal kuliner, suku Gayo boleh diadu. Beraneka ragam masakan khas daerah ini dibuat menggunakan bahan yang sedikit. Meski begitu, kelezatannya tak bisa diragukan. Beberapa bahkan memiliki nilai sejarah yang sangat berarti dalam perjalanan suku Gayo. Salah satunya ialah gutel.

Gutel merupakan kudapan tradisional kebanggaan suku Gayo. Ia ibarat warisan leluhur kepada para penerus. Para nenek moyang mampu mengolah bahan-bahan dari alam sekitar menjadi makanan sesuai tempat tinggal dan aktivitas masyarakatnya.

Itulah yang mereka turunkan kepada generasi sekarang. Saking legendarisnya, gutel telah terdaftar sebagai warisan budaya takbenda dari Provinsi Aceh sejak 2019.

Menyaksikan Geudeu-Geudeu, Pertempuran Para Jagoan Sampai Tumbang di Aceh

Bekal para pejuang kemerdekaan

Bagi masyarakat Gayo, gutel adalah barang paling berharga dan sangat dibutuhkan dalam medan pertempuran. Bukan saja untuk menyangga lapar, tapi makanan ini ibarat obat rindu kepada keluarga dan orang terdekat. Kudapan ini dibuat langsung dengan tangan para ibu, istri, dan kerabat. Jadi, melihat dan memakan gutel membuat kerinduan sedikit terobati dan semangat bisa kembali bergelora.

Pada zaman dahulu, ketika orang Gayo belum mempunyai kendaraan bermotor, mereka yang pergi ke tempat jauh hampir selalu dibekali gutel. Pada masa perang gerilya melawan Belanda dan Jepang, Aman Dimot, pejuang kebal peluru yang bertugas di Kaban Jahe, Sumatra Utara, dibekali gutel sampai berkaleng-kaleng.

Kemudian, saat pemberontakan DI/TII di Aceh, para pasukan di bawah pimpinan Teungku Ilyas Leube, dibekali gutel oleh keluarga dan warga kampung, sebelum bergerilya keluar masuk hutan.

Makanan sekali lahap berbentuk lonjong ini terbuat dari beras (oros), kelapa (keramil), garam (poa), dan air (wih). Langkah memasaknya dimulai dari merendam beras, lalu ditumbuk dengan kelapa parut, garam, dan sedikit air kelapa. Kalau sekarang, sudah banyak orang yang memakai tepung beras, kelapa parut dicampur garam, gula pasir, dan air, supaya lebih praktis.

Setelah semua bahan tercampur, adonan dikepalkan lalu digulung dengan daun pandan. Masing-masing gulungan diisi dengan dua buah gutel. Setelah itu, gutel dikukus beberapa saat, lalu dihidangkan.

Penganan ini sangat cocok dikonsumsi oleh orang yang tinggal di wilayah dingin, seperti dataran tinggi Gayo. Kelayakan gutel untuk dikonsumsi bisa bertahan sampai satu bulan. itulah mengapa makanan ini sering dijadikan bekal perjalanan ke tengah hutan bagi para warga yang ingin membuka lahan perkebunan, berburu, atau mencari hasil hutan selama beberapa hari. Gutel biasanya dimakan sebagai pengganjal lapar sambil menunggu makanan berat tiba

Kelihatannya gutel kurang diminati oleh generasi muda sekarang. Makanan cepat saji dan lebih modern lebih populer. Tapi, ternyata sampai kini gutel masih dihidangkan pada berbagai upacara adat dan keagamaan. Beberapa kafe dan warung sekitar juga masih ada yang menjualnya karena menyantap penganan ini sangat cocok ditemani secangkir kopi. Selain itu, di berbagai acara penting, pemerintah kerap menghidangkan gutel kepada para tamu sebagai cara melestarikan gutel yang bersejarah ini.

Mengagumi Keindahan 99 Pulau di Aceh Singkil

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini