Kelezatan Gudeg yang Terus Bertansformasi dalam Lidah Masyarakat Indonesia

Kelezatan Gudeg yang Terus Bertansformasi dalam Lidah Masyarakat Indonesia
info gambar utama

Kuliner gudeg telah melintasi zaman dan terus bertransformasi seiring dengan waktu. Rasa, kemasannya direka ulang. Hasilnya makanan khas Yogyakarta itu bisa bertahan dan diterima sebagai makanan urban,

Elies Dyah Dharmawati kerap kelimpungan ketika mendapatkan pesanan gudeg dari Eropa. Pasalnya makanan ini rata-rata hanya bisa tahan satu hari dan hampir basi bila dibawa dalam perjalanan lintas benua yang butuh waktu belasan jam.

Karena itulah, dirinya mengemas gudegnya dalam kaleng sehingga awet selama dua tahun tanpa bahan pengawet. Inilah inovasi yang diharapkan sejumlah pengusaha gudeg untuk memenuhi tuntutan pasar.

Surabaya yang Jadi Saksi Persebaran Peradaban Kuliner dari Madura

Dinukil dari Kompas, inovasi ini muncul pertama kali dari Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunung Kidul, Yogyakarta pada tahun 2008-2009.

Dua tahun kemudian, inovasi tersebut diadopsi oleh beberapa warung gudeg lainnya seperti Gudeg Bu Lies, Gudeg Bu Citro, dan Gudeg Bu Joyo. Setiap hari, LIPI Gunung Kidul memproduksi 1.000-1.500 kaleng gudeg.

“Kemampuan produksi kami sebenarnya 8.000-10.000 kaleng per hari,” ujar Agus Susanto peneliti LIPI Gunung Kidul.

Gudeg melintas zaman

Agus menyatakan gudeg kaleng hanyalah kelanjutan dari transformasi kemasan kuliner tersebut dari masa ke masa. Dulunya, jelas Agus, para pembeli bila ingin membawa pulang gudeg harus dibungkus dengan daun.

“Tetapi kini para pembeli bisa membawanya dengan rantang, besek, kendil, kemudian kotak kardus,” paparnya.

Sementara itu, gudeg juga mengalami pergeseran citra. Karena pada awalnya makanan ini dianggap panganan ndeso, namun semakin berjalannya waktu, gudeg telah dianggap sebagai makanan urban.

Rekomendasi 15 Makanan Khas Maluku Utara asli dari Negeri Rempah

Bila dahulunya gudeg lebih banyak dijual di emperan toko dan pasar tradisional, sekarang gudeg sudah menempati restoran, hotel, dan mal. Pasarnya pun meluas melewati batas habitat asli gudeg, yakni Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Kini makanan tersebut sudah bisa ditemui di Jakarta bahkan Bandung. Perannya pun telah meluas tidak hanya sebagai kuliner, tetapi sebagai ikon pariwisata kota Yogyakarta. Kesadaran inilah yang dibangun terus-menerus oleh pemerintah setempat.

Misalnya saja bila pergi ke Jalan Wijilan di dalam benteng Keraton yang telah dinobatkan sebagai sentra gudeg resmi Yogyakarta. Di sana akan ada belasan warung gudeg berjejer dan ditata rapi dengan papan-papan nama yang nyaris seragam.

Sesuaikan cita rasa

Prof Murdijati Gardjito, seorang peneliti gudeg dari Universitas Gadjah Mada menyebutkan bukan hanya soal citra. Gudeg juga bertransformasi secara mendasar, yakni dari rasa dan juga bentuknya.

Disebutkannya awalnya gudeg disajikan dengan setengah basah. Makanan ini pun memadukan rasa manis dan asin yang seimbang. Tetapi, katanya, kini mulai muncul varian gudeg kering dengan rasa manis dan lebih tahan lama.

“Sehingga cocok dijadikan oleh-oleh,” katanya.

11 Jenis Gorengan Khas Andalan Orang Indonesia Yang Ada Dimana-mana

Pengalaman serupa dilakukan oleh Ratnasari Anggoman, pemilik Gudeg Ratna di Bandung yang membawa kuliner tersebut di tanah Pasundan. Dirinya melakukan variasi agar membuat gudeg memiliki citra rasa warga setempat.

“Saya minta tetangga yang orang Sunda mencicipi gudeg tersebut. Mereka langsung teriak, ‘Wah kok manis banget. Ini mah kolak nangka,” kisahnya.

Karena itulah dirinya mengurangi rasa manis dan menambah rasa pedas pada gudegnya. Ternyata hal ini disukai oleh banyak orang Bandung. Kini dirinya telah memiliki puluhan gerai dan peminat gudegnya pun sampai ke luar negero.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini