Tradisi Pau Hari, Cerita Masyarakat Kepulauan Alor Bersahabat dengan Laut

Tradisi Pau Hari, Cerita Masyarakat Kepulauan Alor Bersahabat dengan Laut
info gambar utama

Laut dan masyarakat Kepulauan Alor bersahabat erat, mereka terhubung oleh ratusan kilometer garis pantai, baik yang bebatuan koral hitam maupun berpasir putih, dilihat oleh ritual pau hari, selama ratusan tahun mereka saling menjaga.

Kabupaten Alor merupakan kepulauan yang dikepung laut biru kehijauan, berpenghuni sekitar 200 ribu orang. Pulau Alor juga merupakan pusat pemerintah dan perekonomian yang berpenghuni cuma Pantar, Pulau, Terewang, Buaya, Ternate Kecil, dan Kepa.

Temuan Arkeologi di Pulau Alor, Makam Anak Berusia 8 Ribu Tahun

“Di sini perahu lebih penting ketimbang punya mobil,” kata Rahman Marang, nelayan di Kalabahi yang dimuat Kompas.

Penduduk di sekitar pantai Alor umumnya beragama Islam. Menurut sejarah lokal, Islam masuk ke Alor pada abad ke 16 Masehi dibawa oleh pengembara dari Kesultanan Ternate. Meski demikian, mereka masih terus melakukan ritual-ritual adat.

“Kami menggelar pou hari untuk menghormati leluhur, laut dan penghuninya,” ucap Herliz Tuppong, tuan kapal.

Hidup bergantung dengan laut

Bagi masyarakat sekitar restu dari pemegang adat dianggap penting karena daerah Alor sejak dulu dikenal sebagai pulau mistis. Hingga 1970-an, masih banyak suanggi-penganut ilmu hitam- di daerah ini.

Ayah Rahman Marang pernah bercerita sewaktu muda, dia sering bertemu dengan para suanggi. Dirinya menyaksikan sendiri mereka terbang kemudian turun untuk mengambil makanan penduduk tanpa ada yang berani melawan.

Serunya Menyelam di Pulau yang Memiliki Titik Selam Terbaik di Indonesia

“Kalau mereka lewat pasti terdengar suara kentut yang tak terputus,” ujarnya.

Meski demikian, ritual pou hari tak ada hubungannya dengan suanggi, namun dengan laut dan isinya. Bapa Sere menyatakan hidup mereka bergantung dengan laut dan pau hari juga tidak berhubungan dengan agama.

Tradisi bahari yang kuat

Mustafa Silalahi dalam Rayuan Pulau Kepa menyebut Penduduk NTT memiliki budaya bahari yang kuat, Alor salah satunya. Dari berbagai catatan, penduduk Alor mulai mengenal pelayaran sejak abad ketujuh, saat pedagang Arab, India, Portugis ramai membeli cendana.

Sementara itu Tradisi pou hari berakar pada legenda setempat. Dikisahkan dahulu kala ada suami-istri di Pulau Alor yang dikarunia anak. Mereka membuat pesta dan mengundang para makhluk laut.

Makhluk tersebut yang laki-laki bernama Mojimo alias Mojemosemo yang perempuan Buihari alias Penatuhari. Kala itu makhluk darat dan laut hidup akrab. Mojimo dan Buihari pun datang dan ikut makan besar di daratan.

Pulau Kenari, Surga Wisata dengan Keunikan Multibahasa

Pada pesta itu mereka meminjam ayunan dan menidurkan anak mereka di sana. Seorang warga desa yang penasaran menyingkap kain penutup ayunan hendak melihat anak makhluk tersebut.

Ternyata yang ada di ayunan itu seekor ikan berukuran betis pria dewasa. Diam-diam dia bersama temannya memasak dan memakan ikan itu. Pasangan makhluk laut marah besar. Mereka kembali ke laut dan tak lagi saling menyapa dengan orang Alor.

“Leluhur kami mengalami masa paceklik sejak mereka marah,” ujarnya.

Karena itulah masyarakat hampir setiap Oktober melakukan pou hari yang berarti memberi makan. Mereka memasak kambing bakar, nasi, dan sayur. Makanan tersebut akan dimasukan ke dalam potongan buluh lalu ditenggelamkan ke air.

“Saat itu sambil di baca mantra berbagai permintaan para penduduk daratan kepada mereka,” ujar Bapa Sere.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini