Para Pendiri NU yang Faham Jurnalisme

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Para Pendiri NU yang Faham Jurnalisme
info gambar utama

Tepat pada tanggal 7 Februari 2023 dimana ribuan warga NU yang datang dari segala penjuru daerah di nusantara ini hadir dalam peringatan 1 abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo saya membuka dan membaca majalah-majalah NU tinggalan almarhum Abah saya. Majalah-majalah itu terbit tahun 1935, 1936, 1937, 1938, sampai tahun 1950 an.

Saya dibuat “ketenggengen” (bahasa Jawa yang berarti “terpana”) karena NU sejak berdirinya tahun 1926 itu memiliki pandangan-pandangan yang modern dan visioner, sebuah pandangan yang melampaui jamannya dan semuanya itu ditulis dalam majalah tersebut.

Nahdlatul Ulama atau NU yang dulu dalam ejaan bahasa Indonesia lama ditulis NO (Nahdlatoel Oelama) pada jaman modern ini sering ditulis di buku, majalah, karya ilmiah dsb ssebagai organisasi Islam tradisional dan rural based Muslim organization, sementara Muhammadyah disebut sebagai urban based Muslim organization.

Tentu tidak salah ulasan itu mengingat warga NU dan pesantren NU itu banyak bertebaran didesa-desa dan dikampung-kampung.

Namun sebenarnya warga NU itu juga banyak berada di daerah perkotaan, seperti halnya warga Muhammadyah pun banyak yang berada di daerah pedesaan dan kampung. Perlu diingat bahwa NU itu didirikan di kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia.

Kota Surabaya yang bercirikan kota dagang sejak jaman kerajaan dulu menjadi tempat berdirinya NU ini dan memberi inspirasi bagi perkembangan NU kedepannya. Memang sejak jaman penjajahan kolonial Belanda baik warga NU dan Muhammadyah memiliki profesi sebagai pedagang.

Saya mengatakan terpana membaca majalah-majalah NU itu karena ternyata para pendiri NU itu disamping memiliki kharisma yang tinggi sebagai ulama dengan kredensial ilmu agama Islam yang tinggi juga menunjukkan kepiwaian beliau-beliau sebagai tokoh yang memahami jurnalistik dan mampu menulis artikel dalam berbagai kesempatan.

Artikel yang ditulisnya itu tidak hanya soal agama namun juga soal politik dalam negeri maupun internasional. Di majalah “Berita Nadhdlatoel Oelama” 1 Novemberr 1936 tertera nama-nama Pendiri NU K.H. Hasyim Asyari (Jombang). K.H. Abdulwahab Chasboellah (dari Surabaya) dan K.H. Bisri (dari Dennyar Jombang) bertindak sebagai Mede Redacteur, sementara K.H. Mahfoed Siddik Jember, K.H. Eljas dan K.H. Wahid keduanya dari Jombang bertugas di jajaran Redaksi.

Sumber: Koleksi Pribadi

Yang saya tahu memang para ulama jaman dulu itu bacaannya banyak, tidak hanya buku-buku tentang agama Islam namun juga tentang ilmu pengetahuan dan berita internasional pada jamannya.

Almarhum abah saya memiliki lebih dari 700 buku/kitab yang berasal dari berbagai negara dan berbagai bahasa dan kalau tidak salah ingat abahnya penyair Taufik Ismail Kiai Ghofar Ismail di Pekalongan memiliki perpustakaan pribadi dengan banyak koleksi buku/kitab. Maka tidak heran kalau para ulama seperti para pendiri NU itu juga memiliki pengetahuan yang luas karena bacaannya banyak sehingga bisa menulis artikel dimedia yang didirikannya.

Menjadi Pemimpin redaksi dan dewan redaksi disuatu majalah haruslah orang yang memahami jurnalisme, mengerti mana suatu tulisan itu layak ditulis atau tidak, memahami teknik editing, memahami bahasa yang tepat digunakan dalam media, mengatur keuangan, me-manage staf dan tentu memiliki visi yang jauh kedepan.

Karena itu saya terkagum dengan keahlian para ulama itu dalam menjalankan sebuah media di jamannya. Masyarakat umum jarang yang mengetahui soal ini karena persepsi mereka seorang ulama itu hanya ahli dalam bidang agama, berdiam diri dirumah dan Masjid untuk mendekatkan diri pada Allah. Namun diluar itu sebenarnya mereka memahami ilmu yang luas termasuk masalah jurnalisme itu,

Di majalah NU yang saya baca itu ada berita tentang Kongres NU tahun-tahun 36-37 itu dimana ada usulan yang visioner dari utusan Sidoarjo yang menghendaki PBNU waktu itu mendirikan industri dan badan yang mengurusi Export dan Import.

Ada juga utusan lainnya yang mengusulkan penguatan sektor pertanian dan Pendidikan, soal kepemilikan asset-aset NU yang harus dimintakan sertifikat dari Notaris Belanda, soal pemberdayaan ekonomi ummat dsb Kalau pemikiran para tokoh NU waktu itu sudah menjangkau soal International Trade, soal ekonomi, soal kesehatan, Pendidikan serta jurnalisme maka agak sulit kita mengatakan bahwa NU adalah organisasi tradisional.

Selamat satu Abad NU!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini