Politik Agraria Priangan: Ajang Perebutan Tiga Kekuasaan

Politik Agraria Priangan: Ajang Perebutan Tiga Kekuasaan
info gambar utama

Menurut Jan Breman dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa menulis bahwa Priangan merupakan daerah yang bercirikan frontier, hal ini didasarkan pada akan jarangnya penduduk yang ditemui VOC pada saat menduduki dataran tinggi Priangan.

Wilayah priangan merupakan daerah pegunungan dan lembah yang sangat sulit dijangkau, hutan lebat dan rawa-rawanya dipenuhi dengan segala jenis binatang liar.

"Ketiadaan teknologi berdampak pula pada terbatasnya lalu lintas barang baik dalam jumlahnya maupun jarak yang dapat ditempuh. Tidak adanya jalan terusan dan transportasi barang yang lebih penting daripada gerobak sederhana adalah kerbau atau dengan menyunggi beban di kepala, memanggul di punggung atau memikulnya" jelasnya.

Namun siapa yang menyangka wilayah Priangan tetap menjadi ajang perebutan tiga kekuasaan dengan tujuan yang sama, yakni perekonomian. Sayangnya, Kerajaan Banten dan Mataram sama-sama gagal dalam menanamkan pengaruh dan penetrasi politik ke wilayah Priangan. Tidak menjadi jaminan Mataram dapat sepenuhnya mengendalikan pemerintahan Priangan, mengingat kurang lebih 50 tahun Priangan dibawah penguasaannya.

Cakupam wilayah Keresidenan Priangan meliputi Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Cimahi, Bandung dan Sukabumi.

Peta Jawa Abad 17
info gambar

VOC faham betul bahwa wilayah potensi alam Priangan sangat cocok untuk pengembangan usaha perkebunan tanaman-tanaman yang dibutuhkan pasar dunia, sehingga untuk mendapatkan wilayah Priangan VOC harus merebutnya dari Mataram serta harus menjinakan Banten.

Apiknya, upaya yang dilakukan untuk merebut Priangan dari Mataram tidaklah dengan cara yang agresif. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampaiImperium menulis Priangan diserahkan kepada VOC dalam dua kali perjanjian (tahun 1667 dan 1705) sebagai balas jasa kepada VOC yang telah membantu penyelesaian perebutan kekuasaan di Mataram.

"Perjanjian pertama 1667 mengatur sebagai tanda terimakasih atas jasa kerjanya, yaitu berupa bantuan militer dalam penumpasan pemberontakan di Jawa bagian timur dan penyerahan hak kepada VOC atas dataran tinggi Priangan yang pada abad-abad sebelumnya dipegang oleh para pendahulunya dari Kerajaan Mataram," tulis Jan Breman.

Dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 disebutkan, ditutupnya akses Cirebon dan Banten di Wilayah pantai dengan memotong jalur yang menghubungkan ke daerah pedalaman memungkinkan VOC mengakhiri kekuasaan Mataram atas Priangan, hingga menghasilkan perjanjian kedua pada tahun 1705.

Dari perjanjian tersebut menyatakan sepakat untuk melepaskan semua haknya atas wilayah Sunda kepada VOC, sehingga VOC bertindak sebagai satu-satunya pewaris semua wilayah Priangan yang sebelumnya dimiliki oleh Kerajaan Mataram.

Penyerahan Priangan terhadap VOC berakibat bukan hanya wilayahnya yang dikuasai oleh VOC, tetapi priyayi (menak) juga penduduk desa di wilayah Priangan berada dibawah kekuasaan VOC. Pola penguasaan tersebut menjadikan para menak di Priangan menjadi alat ekstrasi kekayaan yang handal, tulis Nina H Lubis.

Franz Wilhelm Junghuhn dan Kecintaannya Akan Priangan hingga Akhir Hayat

Berlakunya Preangerstelsel

Saat budaya minum secangkir kopi tengah booming, sebagai sebuah kantor dagang milik Belanda VOC tak ingin melewatkan kesempatan untuk menjadi pemasok utama kopi di pasaran Eropa. Debut pertama dimulai pada 1706, Heren XVII mendorong VOC untuk mengatur penanaman kopi di Jawa, yang disusul adanya perintah kepada para kepala bumi untuk menanam kopi di daerah masing-masing.

"Hingga tahun 1725 lebih dari satu juta pon kopi telah diekspor ke Belanda dan menjadikan Jakarta juga Kabupaten Priangan sebagai tempat budidaya kopi" tulis William H Ukers dalam bukunya All about coffie.

Berdasarkan data dari Manuskrip Sejarah Priangan No. ML 165 menyebut di masa kepemimpinan Dirk Van Cloon tahun 1731 Priangan bagian selatan berhasil memanen 1.000 pikul kopi , 2 pikul benang dan 1 pikul nila.

Jan Breman menyatakan untuk memenuhi kebutuhan kopi di pasar dunia VOC menempatkan produk kopi dalam sistem monopoli juga melakukan penurunan harga yang dibayarkan kepada petani secara drastis, dengan dalih untuk mengamankan ketahanan pangan, finansial dan politis.

"Tidak hanya sebatas tanam paksa semata, lebih lagi adanya kewajiban menyetorkan biji kopi ke gudang VOC dan harus rela menerima bayaran yang telah ditetapkan oleh VOC. Dengan dipertahankannya monopoli dagang maka tidak ada sama sekali ruang bagi petani untuk tawar menawar", jelasnya.

Istilah Preangerstelsel pada gilirannya memang membuat kopi dari Jawa menjadi andalan untuk menguasai pasar Eropa. Tetapi justru kemerosotan moral para penguasa dan menderitakan penduduk pribumi berujung pada pembubarannya di tahun 1799.

Emas Hijau Priangan: Romansa Kebun Teh Rakyat Pewaris Jejak Kejayaan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SA
KO
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini