Bahasa Sunda Di Persimpangan Zaman

Bahasa Sunda Di Persimpangan Zaman
info gambar utama

"Bahasa Identitas Budaya."

Demikian penggalan kata yang menegaskan bahwasanya bahasa merupakan dasar dari budaya suatu etnis. Apabila bahasa sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat penutur, dikhawatirkan akan hilang pula tata budaya masyarakat.

Dalam hal ini, menyorot kepada kehadirannya, bahasa Sunda yang menjadi salah satu dari 801 bahasa, bersumber dari buku statistik kebahasaan, kesastraan dan perbukuan pada tahun 2020. Selain itu, bahasa Sunda menjadi bahasa kedua terbanyak dengan penuturnya yang berjumlah 32,4 juta orang di Indonesia, setelah bahasa Jawa.

Walaupun bahasa Sunda masuk ke dalam daftar bahasa yang berstatus aman, pada kenyataannya, bahasa Sunda mulai terkikis sedikit demi sedikit dan tergantikan oleh bahasa asing.

Adapun faktor keengganan dalam berbahasa Sunda ini menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Urang Sunda Jeung Basa Sunda (2007) mengatakan bahwa orang Sunda kurang reueus atau bangga kepada bahasanya sendiri, karena kurang menonjolnya urang Sunda di kancah nasional.

Selain itu, globalisasi dan arus informasi yang sangat cepat pun ikut memengaruhi, serta adanya keraguan dalam bertutur bahasa Sunda. Sebab, dikhawatirkan dapat mengundang komentar atau celaan dan menimbulkan efek jera pada penuturnya, yakni pada anak, remaja, atau masyarakat yang bukan merupakan asli dari keturunan etnis Sunda.

Bahasa Sunda sendiri memiliki tingkatan atau level yang disebut denganUndak Usuk BasaSunda, yang memperhatikan dalam berbicara kepada setiap kondisi usia, kedudukan, keilmuan atau situasi orang yang diajak berbicara, orang yang berbicara atau yang dibicarakan (Kulsum, 2020).

Dalam historisnya, masyarakat tatar Sunda tidak mengenal strata atau tingkatan. Sebagai gantinya, mereka menggunakan bahasa Sunda Buhun atau Kuno karena dahulu masih bersifat kekeluargaan, yang di mana pada era ini, masyarakat Sunda masih bercocok tanam secara berpindah-pindah atau ngahuma.

Namun, keadaan masyarakat berubah saat Kesultanan Mataram Jawa menginvasi wilayah Parahyangan (daerah Provinsi Jawa Barat yang kini ada di bagian tengah dan selatan). Perubahan ini tidak hanya berdampak kepada pola peladangan yang berubah menjadi menetap dalam bersawah, tetapi dalam bahasa pun telah merubah struktur pada bahasa Sunda. Pola perubahan bercocok tanam ini menuntut terbentuknya stratifikasi sosial dalam hubungan sosial produksinya, sehingga diperlukannya tingkatan yang digunakan saat berbicara.

Adapun tingkatannya terbagi menjadi tiga strata, yaitu halus/lemes, sedang/loma, dan kasar/garihal. Sebagai contoh, halus/lemes: tuang (makan), sedang/loma: nyaho (tahu), kasar/garihal: cokor (kaki).

Kemudian, tingkatan ini pun tidak lepas dari adanya pengaruh budaya Mataram Jawa yang telah mengenal tingkatan bahasa sejak lama, yaitu Unggah-Ungguh Basa. Atas historis tersebutlah, bahasa Sunda terbagi menjadi banyak dialek di setiap daerahnya, seperti dialek Bogor dan Banten (Rangkasbitung, Lebak, Pandeglang) yang dikenal dengan bahasa Sunda kasar, lalu Parahyangan (Garut, Tasikmalaya, Bandung dan Ciamis) yang digolongkan pada Sunda halus. Misalnya, dialek Banten: “Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!”, dialek Parahyangan: “Eleuh abdi mah alim pisan janten siga jelma nu ngedul!”, artinya “wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!”. (Arifin, 2016)

Dalam penelitian Sudaryat, dkk (2012) yang berjudul Reinterpretasi dan Reformulasi Filsafat Pendidikan Sunda dalam Ungkapan Tradisional, selain dikhawatirkannya bahasa Sunda yang kian waktu kian terkikis, peribahasa Sunda menjadi salah satu karya cipta yang sudah terlupakan oleh orang Sunda itu sendiri, terlebih bagi generasi mudanya.

Alasannya adalah karena bahasanya dianggap luhur, rumit, dan sulit dipahami. Padahal, peribahasa Sunda menyimpan beragam nilai dan makna, seperti gambaran pengalaman, larangan untuk berbuat salah, atau perintah untuk berbuat baik. Ini semua sangat berguna sebagai pedoman hidup masyarakat. Contohnya, kudu sebeuh méméh dahar, kudu indit méméh nepi (selalu memikirkan terlebih dahulu segala sesuatu sebelum dikerjakan) dan pondok jodo panjang baraya (meskipun tidak berjodoh tetapi tetap menjalin persaudaraan).

Dengan melimpahnya keragaman dialek bahasa Sunda di setiap daerahnya dan peribahasa bahasa Sunda yang sudah terkubur lama, perlu adanya revitalisasi bagi peribahasa bahasa Sunda, agar senantiasa digunakan dan diterapkan pada kehidupan di kalangan generasi muda.

Faktanya, orang Sunda seperti leungiteun raja (kehilangan raja) atau dalam hal ini ialah pusat. Maksudnya, di era globalisasi ini, orang Sunda bagai kehilangan arah dalam melestarikan, menyimpan, dan mengajarkan budaya serta bahasanya.

Berbeda dengan budaya dan bahasa Jawa yang terpelihara karena memiliki pusatnya di Yogyakarta, yang sekaligus mendapatkan julukan kota budaya. Budaya dan bahasa Sunda sudah semestinya memerlukan pusat layaknya kota Yogyakarta. Perlu gagasan untuk menumbuhkannya di tengah kalangan masyarakat tatar Sunda, atau dalam hal ini di Provinsi Jawa Barat.

Adapun upaya untuk mendirikan pusat budaya dan bahasa Sunda ini dengan memperhatikan aspek-aspek, antara lain:

1. Memiliki Nilai Sejarah Sunda

Daerah yang dipilih perlu berdiri pada nilai-nilai sejarah Sunda yang lekat, seperti bekas-bekas pendirian ibu kota kerajaan Sunda terdahulu. Adapun kandidatnya, seperti Kota Bogor (dahulu menjadi ibu kota Kerajaan Sunda dengan nama Pakuan Pajajaran), Kawali (ibukota Kerajaan Sunda-Galuh yang berada di Ciamis), ataupun Kerajaan Sumedang Larang yang masih berdiri hingga kini di Kabupaten Sumedang.

2. Kolaborasi Akademisi dan Pelestari Budaya dan Bahasa Sunda

Sudah seyogianya peran akademisi perlu diterjunkan, karena dapat berkontribusi dalam hal kajian dan penelitian pada budaya dan bahasa Sunda. Aktivitas ini bisa dibantu dengan pelestari atau penggiat. Dengan demikian, diharapkan dapat terjalin kolaborasi untuk bisa menemukan karya tulis, artefak, prasasti, dan peninggalan lainnya untuk menambah khazanah perbendaharaan bahasa Sunda.

3. Membentuk Dewan Bahasa Sunda

Dewan memfokuskan pada pengembangan dan pembinaan bahasa untuk menyesuaikan bahasa Sunda ikut berkembang pada era industri digital 4.0 dan 5.0.

4. Menggencarkan Bahasa Sunda

Poin ini menyasar kepada generasi muda dengan melalui pemanfaatan media sosial, seperti Instagram, Twitter, hingga YouTube. Selain itu, dapat juga melalui festival bahasa Sunda yang berisikan pidato, pupuh (puisi), teater, nembang (nyanyian), dan sebagainya

Sebagai kesimpulan, dengan terciptanya pusat budaya dan bahasa Sunda, diharapkan masyarakat Sunda, terkhususnya di Provinsi Jawa Barat, dapat ikut menjaga dan melestarikan bahasanya.

Dengan begitu, masyarakat Sunda tidak lagi bak kehilangan arah dalam mengajarkan budaya dan bahasanya untuk generasi masa depan, karena sudah memiliki garis yang tegas dan jelas dalam pelestarian dan sudah diatur oleh pusat budaya dan bahasa Sunda. Aksi ini sekaligus dapat memperkenalkan kepada khalayak ramai, entah itu di tingkat nasional maupun internasional.

Referensi: 6 Peribahasa Sunda | 5 Bahasa daerah penutur terbanyak |Peribahasa Sunda (Nugraha, 2013)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini