Duka Berkepanjangan dari DR Congo

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Duka Berkepanjangan dari DR Congo
info gambar utama

Penulis senior GNFI

Setiap kali saya mengikuti perkembangan kekisruhan politik dan keamanan di negara yang saya awalnya salah mengira namanya sebagai sebuah gelar akademik Doktor berikut nama orangnya–-yaitu negara D.R. Conggo atau Democratic Republic of Conggo (DRC) yang duluanya bernama negara Zaire–-saya berharap semoga negara Indonesia ini tidak mengalami hal-hal yang terjadi di Republik Demokratik Konggo itu.

Saya berharap seperti itu lantaran baik DRC maupun Indonesia mempunyai beberapa kesamaan antara lain memiliki sumber daya alam yang kaya dan penduduknya terdiri dari berbagai suku serta praktek korupsi yang merajalela.

Negara DRC ini memiliki sumber daya alam yang hebat (seperti Indonesia) terutama tambang mineral seperti berlian, emas, tembaga, kobalt, kasiterit (bijih timah) dan coltan, serta kayu, kopi, dan minyak.

Negara DRC yang berada di benua Afrika itu jaraknya tentu jauh dari Indonesia, namun konflik yang terjadi disana itu patut menjadi pelajaran Indonesia tentang konflik bernuansa suku, pemberian keistimewaan kepada suku tertentu, praktek korupsi yang merajalela di berbagai lini pemerintahan, pemerintahan yang lemah.

Selama hampir tiga dekade, Republik Demokratik Kongo (DRC) itu telah terlibat dalam kekerasan. Jutaan orang telah terbunuh, dan diperkirakan 5,6 juta lainnya mengungsi akibat perang saudara, perseteruan lokal, dan konflik lintas batas.

Negara-negara tetangga, termasuk Rwanda, Burundi, Uganda dan yang terbaru Kenya--terkunci dalam konflik yang sedang berlangsung, yang telah disebut sebagai salah satu yang paling mematikan di dunia sejak perang dunia kedua. Sebagian besar kekerasan saat ini berpusat di provinsi Ituri, Kivu Utara dan Kivu Selatan, yang terletak di perbatasan timur DRC. Jika digabungkan, mereka sekitar tujuh kali ukuran Rwanda.

Asal-usul kekerasan saat ini di DRC adalah krisis pengungsi besar-besaran dan limpahan dari insiden pembunuhan massal atau genosida 1994 di Rwanda- negara tetangganya DRC. Setelah Hutu génocidaires melarikan diri ke DRC timur dan membentuk kelompok bersenjata, Tutsi yang menentang dan kelompok pemberontak oportunistik lainnya muncul.

Pemerintah Kongo tidak dapat mengendalikan dan mengalahkan berbagai kelompok bersenjata, beberapa di antaranya secara langsung mengancam populasi di negara-negara tetangga, dan perang akhirnya pecah. Seperti diketahui genosida Rwanda adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe yang terjadi dalam periode 100 hari pada tahun 1994.

Rwanda sendiri adalah sebuah negeri berpenduduk 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat di Afrika Tengah. Lebih dari 800.000 warga sipil—terutama Tutsi, tetapi juga Hutu moderat—terbunuh selama kampanye. Sebanyak 2.000.000 warga Rwanda melarikan diri dari negara itu selama atau segera setelah genosida.

Dari tahun 1998 hingga 2003, pasukan pemerintah yang didukung oleh Angola, Namibia, dan Zimbabwe memerangi pemberontak yang didukung oleh Rwanda dan Uganda dalam apa yang dikenal sebagai Perang Kongo Kedua. Sementara perkiraan sangat bervariasi, jumlah korban tewas mungkin telah mencapai lebih dari tiga juta orang.

Terlepas dari kesepakatan damai pada tahun 2002 dan pembentukan pemerintahan transisi pada tahun 2003, kekerasan berkelanjutan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata terhadap warga sipil di wilayah timur terus berlanjut, sebagian besar karena tata kelola yang buruk, institusi yang lemah, dan korupsi yang merajalela.

Salah satu kelompok pemberontak paling menonjol yang muncul setelah perang dikenal sebagai Gerakan 23 Maret (M23), terutama terdiri dari etnis Tutsis yang diduga didukung oleh pemerintah Rwanda. M23 memberontak terhadap pemerintah Kongo karena diduga mengingkari kesepakatan damai yang ditandatangani pada 2009.

Dewan Keamanan PBB mengesahkan brigade ofensif di bawah mandat Misi Stabilisasi Organisasi PBB di DRC (MONUSCO) untuk mendukung tentara negara DRC dalam perangnya melawan M23. Tentara Kongo dan pasukan penjaga perdamaian PBB mengalahkan kelompok itu pada tahun 2013, tetapi kelompok bersenjata lainnya telah muncul.

Kekayaan sumber daya negara DRC yang sangat besar—diperkirakan mencakup $24 triliun sumber daya mineral yang belum dimanfaatkan—juga memicu kekerasan. Perdagangan mineral menyediakan sarana keuangan bagi kelompok untuk mengoperasikan dan membeli senjata.

Amerika Serikat mengesahkan undang-undang pada tahun 2010 untuk mengurangi pembelian "mineral konflik" dan mencegah pendanaan milisi bersenjata. Akibatnya, perusahaan multinasional telah berhenti membeli tambang mineral dari DRC sama sekali, membuat banyak penambang kehilangan pekerjaan dan bahkan mendorong beberapa untuk bergabung dengan kelompok bersenjata untuk mendapatkan sumber mata pencaharian.

Pemerintahan yang lemah dan prevalensi banyak kelompok bersenjata telah membuat warga sipil Kongo mengalami pemerkosaan dan kekerasan seksual yang meluas, pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran, dan kemiskinan ekstrem.

Uni Afrika, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan negara-negara tetangga telah berjuang untuk mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok pemberontak dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Kekerasan yang berkelanjutan di DRC pada akhirnya dapat meluas ke Burundi, Rwanda, dan Uganda—negara-negara yang memiliki hubungan lama dengan Amerika Serikat.

Cara-cara kolonial untuk mengatur penduduk asli menabur benih ketegangan etnis di Kongo saat ini. Penelitian Jacob Cloete berangkat untuk menentukan apakah konflik di Kivu Utara pada tahun 1993 yang menjadi berita utama adalah titik awal dari kekerasan saat ini di Kongo timur.

Dia berpendapat, bagaimanapun, bahwa itu adalah puncak dari yang jauh lebih tua yang berakar pada kolonialisme Belgia dan Jerman. Seperti yang dia jelaskan:

“Berdasarkan gagasan rasis yang populer di kalangan kolonialis Afrika pada saat itu, kedua pemerintah kolonial memberikan status istimewa kepada beberapa penduduk lokal berdasarkan etnis.”

Sekali lagi bangsa Indonesia ini harus banyak belajar dari kejadian-kejadian tragis yang menimpa negara-negara di Afrika yang bangsanya terdiri dari berbagai ragam suku dan bahasa. Peristiwa tragis seperti itu telah merengut jutaan manusia dan jutaan orang mengungsi dan jatuh miskin.

Karena itu semua stakeholder bangsa Indonesia ini harus pandai mengelola perbedaan-perbedaan masyarakat majemuk yang ada di negeri ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini