Masyarakat Amahai dan Cara Tradisi Merawat Ingatan Bencana Alam

Masyarakat Amahai dan Cara Tradisi Merawat Ingatan Bencana Alam
info gambar utama

Masyarakat di Desa Amahai, Pulau Seram, Maluku masih berupaya menjaga ingatan mengenai tragedi gelombang tsunami pada 1899. Mereka membangun tugu peringatan dan relief di tembok untuk mengingat peristiwa bernama Bahaya Seram itu.

“Kejadiannya sekitar jam dua malam. Air datang tak lama setelah gempa. Pohon-pohon tumbang, rumah hanyut,” kisah Chrestoffel Soparue, tokoh adat Amahai yang dimuat Kompas.

Dirinya menyebut ketika itu lebih dari 300 orang Amahai tewas dan sebagian hilang ditelan gelombang tsunami. Korbannya tidak hanya rakyat biasa, jelasnya, tetapi juga Upu Patti (Raja) W Hallatu dan Uppu Pati Ihamahu W.

Museum Tsunami Aceh: Objek Wisata Pengingat Gempa dan Tsunami 2004

Disebut Soparue, ketika tragedi itu terjadi warga Ihamahu dari Pulau Saparua tinggal di Amahai. Mereka sedang mencari kayu besi buat membangun gereja. Ketika itu antara Amahai dan ihamahu baru saja dilakukan pela (ikatan persaudaran dengan sumpah).

Namun setelah bencana itu, sebagian masyarakat Amahai yang beragama Islam memilih untuk pindah ke Rutah. Desa baru yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Amahai ini dianggap lebih aman.

“Leluhur kami pindah kemari karena takut terjadi lagi air laut naik. Di sini lebih tinggi daerahnya dan ada bukit. Jika sewaktu-waktu air laut naik, kami bisa berlari ke bukit,” kata Adnan Latarissa, tokoh adat Rutah.

Merawat ingatan

Masyarakat Amahai terus berupaya merawat ingatan tentang petaka yang melanda leluhur mereka, di gerbang Negeri Rutah dituliskan, “1600-1899 Amahai Islam.. 29-9-1899 Gempa Bumi… Amahai Islam menjadi Negeri Rutah.”

Tetapi walau jejak mengenai petaka tersebut masih dipahatkan, Bahaya Seram juga masih dikisahkan, namun upaya meningkatkan kewaspadaan belum ada. Baik di Amahai maupun Rutan tidak ada jalur evakuasi.

“Kami khawatir anak-anak muda akan lupa dengan peristiwa itu,” papar Adnan.

Potensi Gempa 8,7 M dan Tsunami 10 Meter, Bagaimana Mitigasi di Pesisir Selatan Jawa?

Bagi Adnan ketidakpedulian dan lupa adalah musuh utama dalam mitigasi bencana di Maluku. Bahkan sejumlah catatan mengenai gempa dan tsunami yang berulang terjadi pada lalu tak juga membangkitkan kesiapsiagaan.

Raja Negeri Hila, Abdurahim Ollong menyebut warga sudah lupa dengan tsunami yang pernah terjadi di sini. Padahal Hila merupakan salah satu pesisir Ambon yang dalam catatan Rumphius pernah hancur lebur dilanda tsunami pada 1674.

“Orang di sini tak tahu tentang Rumphius,” kata Abdurrahim.

Minimnya ingatan

Arkeolog dari Balai Arkeologi Ambon, Marlon Ririmasse memiliki pendapat mengapa ingatan warga mengenai bencana di masa lalu sangat minim. Dirinya menduga karena peristiwa itu begitu menyakitkan sehingga warga sengaja melupakannya.

Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan masyarakat cenderung melupakan dan menolak perilaku alam jika hal itu tidak menguntungkannya.

Padahal baginya alam akan selalu mencari keseimbangan baru dan bencana geologi yang pernah terjadi pada masa lalu kemungkinan akan terjadi lagi. Petaka itu, tegasnya hanyalah soal waktu.

Benarkah Perilaku Hewan Bisa Jadi Pertanda Datangnya Bencana Alam?

Selain itu, Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Ternate Hasyim Yusuf heran warga masih saja membangun rumah di pinggir sungai yang sejak dulu menjadi aliran lahar, padahal daerah itu merupakan daerah rawan bencana.

“Pengetahuan masyarakat tentang gunung api dan bahayanya memang minim,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini