Kata “Swasembada” Sudah Hilang di Kamus Bangsa

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Kata “Swasembada” Sudah Hilang di Kamus Bangsa
info gambar utama

Penulis senior GNFI

Pangan merupakan kebutuhan strategis di banyak negara di dunia ini, dan pengalaman di berbagai negara krisis pangan itu bisa menjatuhkan pemerintahan suatu negara dimana-mana. Maklum, pangan merupakan kebutuhan dasar rakyat.

Di Indonesia, salah satu bentuk pangan itu adalah beras yang banyak dikonsumsi masyarakat luas. Kebutuhannya terus meningkat terutama pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Ramadan menjelang Idulfitri, perayaan Natal, tahun baru, dsb.

Beras itu komoditi yang penting karena termasuk salah satu faktor atau indikator perhitungan tingkat inflasi. Karena itu dalam rapat kabinet jaman Orde Baru dulu, presiden Soeharto selalu menanyakan kondisi harga beras dan kecukupannya di masyarakat.

Terlepas dari berbagai kelemahan Orde Baru dari soal ekonomi negara dikuasai kroni-kroni istana, pelanggaran HAM, pemerintahan yang dikuasai militer, politik yang diatur penguasa, tidak adanya kebebasan pers, dsb., namun diakui bahwa dalam melakukan kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru sangat fokus dengan cara membuat Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun, sebagai perencanaan yang dibuat dan dilaksanakan selama 30 tahun masa jabatan Soeharto.

Program ini menerapkan pembangunan terpusat untuk ekonomi makro yang ada di Indonesia. Perancangan program Repelita berada di bawah arahan Widjojo Nitisastro pada tahun 1967, saat ia menjabat sebagai kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang disempurnakan selama kurun waktu lebih kurang setahun.

Selain Nitisastro, program ini juga disusun bersama dengan tokoh teknokrat lain yang juga berasal dari lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yaitu Emil Salim, Ali Wardhana, J.B. Sumarlin, Saleh Afiff, Subroto, dan Mohammad Sadli. Mereka ini dikenal sebagai Mafia Berkley. Rincian Repelita itu:

  • Repelita I (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.
  • Repelita II (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali, dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
  • Repelita III (1979–1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
  • Repelita IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
  • Repelita V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
  • Repelita VI (1994–tidak selesai) bertujuan meningkatkan pembangunan iklim investasi asing dalam rangka meningkatkan perekonomian dan industri nasional.

Terlihat bahwa pemerintah Orde Baru pada Repelita I fokus pada soal pertanian dan infrastruktur. Saya ingat pada kurun waktu Repelita I ini pemerintah konsentrasi membangun infrastruktur pertanian misalnya irigasi, dam, pembangunan pabrik pupuk, pembangunan gudang-gudang pertanian, pembentukan Koperasi Unit Desa atau KUD, acara Temu Wicara yang mendiskusikan soal pertanian dan pangan dsb.

Karena itu, tidak heran dulu Indonesia pernah berhasil swasembada beras sampai mendapat penghargaan dari lembaga pertanian PBB FAO pada tahun 1984, itu menjadikan kebanggaan Indonesia masa itu, lalu kemudian tidak lagi swasembada dan terpaksa impor.

Kata “swasembada” sepertinya hilang dari kamus bangsa ini, akibatnya kita impor karena mengalami defisit pangan. Kita pernah impor 1,5 juta ton dari Thailand dan Vietnam (1,5 juta ton itu sama dengan 1 milyar 500 juta kilogram).

Baru-baru ini, di berbagai media nasional Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Indonesia masih akan mengimpor beras meski bulan Februari kemarin sudah mulai masuk panen raya. Menurutnya, stok Bulog tipis dan tidak memenuhi kebutuhan beras nasional.

"Secara nasional kita butuh, karena stoknya dari Bulog tipis. Stoknya minimal 1,2 juta ton, kemarin pada level 600 (ribu) ton, jadi mau tidak mau harus (impor)," kata Jokowi saat mengecek stok dan harga bahan pokok di Pasar Wonokromo, Surabaya, Sabtu (18/2/2023)

Seringkali negeri kita ini mengalami kelangkaan beras karena stok atau persediaan baik di tingkat masyarakat maupun Badan Urusan Logistik (Bulog).

Perlu diketahui bahwa daerah utama produsen beras itu berada di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Sulsel, sementara konsumsinya berada hampir diseluruh wilayah Indonesia.

Tambahan pula, sebagian besar rakyat Indonesia ini mengonsumsi beras dua atau tiga kali sehari, sarapan, makan siang, dan malam selalu harus menggunakan nasi dalam menu rumah tangga. Hal ini merupakan salah satu faktor munculnya ketimpangan kecukupan beras.

Apalagi beras itu memiliki karakteristik yang khas, yaitu: terpengaruh cuaca, tanaman musiman, usaha tani yang kecil dan banyak jumlahnya, dan elastisitas permintaan yang tinggi.

Apabila terjadi disrupsi di karakteristik tersebut misalnya banjir, serangan hama, gagal panen dsb., maka bisa dilihat Indonesia akan mengalami defisit pangan dan satu-satunya upaya untuk menutupi defisit itu adalah impor.

Namun defisit beras itu juga bisa terjadi karena kurangnya koordinasi di lembaga-lembaga terkait, misalnya ada ketidaksesuaian data stok beras milik Kementrian Pertanian dan data milik Bulog.

Pada zaman Orde Baru dulu, persoalan beras ini mendapatkan perhatian serius sehingga secara rutin ada pertemuan-pertemuan didaerah penghasil beras yang dihadiri pihak Kementan, Gubernur/PemprovBupati/Pemkab, Puskud, KUD untuk melakukan identifikasi persoalan perberasan ini dari soal kesiapan musim tanam, kecukupan pupuk, persoalan irigasi, panen dan pasca panen, pergudangan, transportasi dsb.

Dari pertemuan itu didapatkan harmonisasi data di setiap lembaga pemerintahan tentang jumlah produksi, stok yang ada di masyarakat, stok yang ada di gudang Bulog, dsb.

Nampaknya sistem koordinasi seperti itu perlu dihidupkan lagi agar kita dapat mengurangi ketergantungan pangan dari impor. Kalau tidak koordinasi maka akan terjadi impor beras dari luar negeri, padahal pada kenyataannya negeri ini lagi ramai-ramainya panen raya.

Itu Ironis sekali.

Meramu Langkah Menyejahterakan Petani di Tengah Swasembada Beras

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini