Pernikahan Nong Poy, seorang selebriti transgender asal Thailand dengan konglomerat pariwisata bernama Oak Phakwa Hongyok tengah menjadi berita hangat dari Negeri Gajah Putih. Pernikahan tersebut disorot bukan hanya karena latar belakang pengantinnya, tetapi juga prosesi pernikahan mereka yang berbalut tradisi. Uniknya ada unsur dari tradisi tersebut yang berasal dari Indonesia. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Dalam pernikahan yang berlangsung di Phuket, Thailand, Nong Poy mengenakan pakaian pengantin tradisional khas 'Baba' yaitu komunitas peranakan atau keturunan Cina di Phuket yang mengalami percampuran budaya dengan masyarakat setempat. Pakaian tersebut terdiri dari gaun sutra panjang berkerah tinggi, mahkota berbentuk bunga, serta bawahan yang tidak asing bagi warga Indonesia yaitu batik dengan motif truntum.
Batik atau disebut sarong batik di Phuket memang dikenal sebagai bawahan pakaian perempuan Baba dengan karakteristik warna terang dan motif bunga. Akan tetapi, batik yang dikenakan Nong Poy merupakan produk Indonesia sesuai deskripsi yang menyebutkanya sebagai 'sarong' batik bermotif tradisional Jawa yang dahulu dikenakan di kerajaan. Batik bermotif truntum sendiri memiliki makna yang indah untuk dikenakan pada hari spesial seperti pernikahan dengan cerita mengharukan dalam penciptaannya. Bagaimana kisahnya?

Batik yang Memikat Kembali Hati Sang Raja
Batik truntum tergolong sebagai batik ceplokan atau batik dengan pola simetris dan pengulangan yang teratur. Batik ceplokan tergolong motif batik kuno yang polanya serupa dengan ragam hias pada candi dan arca dari masa Hindu-Buddha. Motif batik ini berupa bintang-bintang kecil dan bunga tanjung yang teratur pada latar warna gelap. Truntum dapat dikombinasikan dengan memberi motif lain, contohnya 'gurdo' atau bentuk garuda seperti yang dikenakan Nong Poy.

Truntum sendiri berasal dari bahasa Jawa 'tumraruntum' yang berarti tumbuh atau berkembang dan dimaknai dengan harapan akan kesetiaan, serta kelanggengan hubungan. Keindahan makna tersebut berasal dari kisah penciptanya oleh seorang permaisuri di Keraton Surakarta.

Gusti Kanjeng Ratu Kencana atau Kanjeng Ratu Beruk, permaisuri dari pemimpin Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono III tengah merasa kesepian karena Sang Raja lebih banyak menghabiskan waktu dengan selirnya. Ada yang mengisahkan jika alasannya adalah ia tidak kunjung dikaruniai keturunan. Untuk menyalurkan isi hatinya, ia membuat motif batik yang terinspirasi dari taburan bintang di langit malam.
Dahulu wanita bangsawan Jawa memang terampil dalam membatik untuk mengisi waktu, termasuk salah satunya R.A. Kartini. Tidak jarang dalam kegiatan seni tersebut tercipta motif-motif baru.
Keindahan batik Ratu Kencana menyentuh hati Sang Raja dan membuatnya jatuh cinta kembali pada permaisurinya. Diberikanlah nama truntum pada batik untuk menggambarkan kejadian tersebut. Dengan kisah dan pemaknaan yang ada, batik truntum kerap hadir pada adat pernikahan Jawa dalam pakaian orangtua pengantin.
Batik para Raja
Batik truntum merupakan salah satu motif dari batik keraton atau dikenal pula sebagai batik pedalaman. Istilah pedalaman merujuk pada lokasi keraton-keraton Jawa yang berada jauh dari wilayah pesisir utara Jawa yang memiliki karakteristik batik sendiri.
Ciri paling mudah untuk membedakan batik pedalaman dengan batik pesisir adalah melalui warna. Jika batik pedalaman menggunakan warna coklat, putih, atau cenderung gelap, batik pesisir memiliki warna yang cerah dan semarak. Kedinamisan warna pada batik pesisir berasal dari pengaruh berbagai budaya yang berkembang di pesisir seperti Tionghoa dan Arab.
Baca juga: 5 Ragam Motif Batik Lamongan yang Semarak Khas Jawa Timur Pesisiran
Dalam batik pedalaman sendiri, terdapat perbedaan antara batik gaya Surakarta dan Yogyakarta. Contohnya, warna dasar pada batik Surakarta berwarna coklat atau gelap sedangkan batik Yogya akan berwarna putih. Perbedaan ini berasal dari Perjanjian Jatisari tahun 1755 yang mengatur perbedaan identitas antara dua kerajaan untuk menegaskan jika Mataram telah terbagi menjadi dua kerajaan.
Perbedaan mencakup cara berpakaian, tata cara adat, seni gamelan, tari, wayang, dan tidak terkecuali batik. Yogyakarta yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I memilih untuk mempertahankan gaya lama dari Mataram sementara Pakubuwono III yang berusia lebih muda akan menciptakan ciri baru untuk kerajaannya.

Kebaya di Negeri Gajah Putih
Selain batik, pada prosesi pernikahan lainya Nong Poy, terlihat mengenakan pakaian yang akrab kita sebut sebagai kebaya encim, yaitu bentuk kebaya khas Betawi dan dipengaruhi budaya Tionghoa. Kebaya ini tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga dikenakan oleh wanita peranakan di Malaysia, Singapura, dan Thailand dengan bawahan 'sarong batik'.
Luasnya pemakaian kebaya di Asia Tenggara membuat pengajuan kebaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO dilakukan bersama-sama (joint nomination) oleh Indonesia dengan empat negara ASEAN lainya yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sebelum kebaya, ada seni pantun yang berhasil ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada 2020 dari pengajuan bersama Indonesia dan Malaysia.

Dari sini kita dapat belajar jika kita memiliki kedekatan budaya dengan negara tetangga, tidak perlu berebut jika kita dapat melestarikanya bersama.
Referensi:
Wongmongkondate, S. (2018). Chinese Heritage on The West Coast of Southern Island: A Holistic Approach to Identification and Conservation (thesis).
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News