Wajit Cililin, Hidangan Mewah di Kalangan Kaum Bangsawan Zaman Belanda

Wajit Cililin, Hidangan Mewah di Kalangan Kaum Bangsawan Zaman Belanda
info gambar utama

Belum lengkap rasanya jika berkunjung ke Bandung tanpa membawa buah tangan tradisional, salah satunya wajit Cililin yang melegenda dan masih eksis hingga saat ini.

Berasal dari Kabupaten Bandung Barat tepatnya di Desa Cililin, panganan ini memiliki cita rasa yang manis serta legit. Kawan GNFI juga dapat menemukan wajit Cililin ini di sejumlah daerah, seperti Garut dan Tasikmalaya.

Biasanya, masyarakat Sunda menjadikan wajit Cililin sebagai kudapan yang disantap baik ketika ada acara nikahan, hari raya lebaran Idulfitri, khitanan, atau dijadikan camilan teman minum teh atau kopi.

Cara pembuatannya cukup panjang. Wajit Cililin berbahan dasar beras ketan, yang harus direndam terlebih dahulu kurang lebih satu hari. Kemudian, kelapa yang diparut dengan cara manual atau tradisional diambil bagian dalamnya saja.

Pada waktu proses pemasakan masih sederhana dengan menggunakan bahan bakar batok kelapa dan arang sehingga wangi khas muncul. Setelah melewati proses pemasakan tekstur adonan mengental kemudian, dibungkus dengan daun jagung kering dan dibentuk mengerucut seperti layaknya piramida.

Menilik dari sejarahnya, wajit Cililin ternyata sudah ada sejak abad ke-15 masehi. Dr. Riandi Darwis seorang pakat tata boga menuturkan pada saat itu sudah ditemukan naskah Sunda Kuno, yakni Sanghyang Siksakandang Karesian yang di dalamnya tertuang sebuah tulisan jika wajit masuk kelompok makanan manis yang dibuat orang Sunda.

Sekitar tahun 1916, Uti dan Juwita menjadi pelopor pertama pembuat wajit di Jawa Barat. Pada awalnya hidangan ini dimakan hanya untuk diri sendiri. Namun, ketika banyaknya warga berdatangan ke rumah mereka dan penasaran rasa wajit itu seperti apa, timbul suatu kebiasaan memakan wajit pada pagi dan sore hari.

Lantas, apa fakta menarik wajit yang tidak banyak orang mengetahuinya?

Sinonggi khas Sulawesi Tenggara, Makanan Pokok Suku Tolaki

1. Diperuntukan bagi kaum Bangsawan

Wajit cililin | dani daniar/Shutterstock
info gambar

Dianggap sebagai makanan istimewa, kaum bangsawan dan pejabat tinggi Kolonial Belanda pada masa itu sangat menyukai wajit yang bercita rasa manis legit.

Setelah itu, muncul sebuah peraturan yang menyatakan tidak boleh sembarangan orang untuk dapat memakan hidangan tersebut. Hal itu disebabkan wajit berbahan dasar dari beras ketan yang termasuk komoditas mahal untuk berbagai kebutuhan kegiatan ekspor luar negeri.

2. Hidangan mewah di zaman kolonial Belanda

Dari waktu ke waktu proses pembuatan kue tradisional wajit semakin meningkat. Cililin pernah menjadi tempat penghasil beras ketan terbesar sebagai bahan baku produksi panganan tersebut.

Selain itu, banyak acara besar yang dihadiri oleh kaum bangsawan. Kemudian, diatur mengenai pembuatan Wajit yang hanya disajikan ketika acara besar saja.

3.Menjadi lambang perlawanan masyarakat Sunda terhadap Belanda

Pada masa itu, Belanda membuat sebuah kebijakan mengenai wajit dan menurut masyarakat Sunda ini dianggap tidak adil, sewenang-wenang, diperuntukan hanya untuk kalangan menak.

Pribumi sendiri tidak boleh memakan hidangan tersebut. Kemudian, masyarakat Sunda melakukan perlawanan menentang monopoli Belanda dan mulai menjual wajit secara bebas kepada masyarakat.

Apabila ingin mencicipi rasa wajit yang asli dan sejak dulu rasanya tidak pernah berubah hingga saat ini, Kawan GNFI dapat mencoba Wajit Cililin Cap Potret Hj. Siti Romlah yang banyak tersebar di Kota Bandung. Ciri khasnya adalah memiliki tekstur luar yang kering dan dalamnya basah. Wajit ini begitu legendaris karena memakai resep turun temurun sampai pada generasi keempat.

Referensi:merdeka.com

Mangut Beong khas Magelang, Olahan Ikan Endemik dengan Cita Rasa Otentik

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

R
KO
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini