Kisah di Balik Penulisan Sejarah Penjajahan yang “Sopan”

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Kisah di Balik Penulisan Sejarah Penjajahan yang “Sopan”
info gambar utama

Baru-baru ini pejabat pemerintah India mengungkapkan sikap bangsa India tentang batu berlian yang bernama Koh-i-Noor (/ˌkoʊɪˈnʊər/ KOH-in-OOR; dari bahasa Persia untuk 'Gunung Cahaya'), juga dieja Kohinoor dan Koh-i-Nur, adalah salah satu berlian potong terbesar di dunia, dengan berat 105,6 karat (21,12 g). Ini adalah bagian dari Permata Mahkota Britania Raya. Berlian tersebut saat ini bertakhta di Mahkota Ratu Elizabeth Ibu Suri.

Berlian 105 karat yang tak ternilai harganya dapat membawa kembali "kenangan menyakitkan tentang masa lalu kolonial" bagi India jika digunakan dalam penobatan Permaisuri Camilla tahun depan, kata pejabat utama negara itu.

Penobatan Raja Charles III dan Permaisuri Camilla akan diadakan pada 6 Mei di Westminster Abbey, Istana Buckingham mengonfirmasi minggu ini. Sementara Raja Charles akan diurapi dengan minyak suci, menerima bola, cincin penobatan, dan tongkat kerajaan, dan dimahkotai dengan Mahkota St Edward, Camilla diatur untuk diurapi dengan minyak suci dan dimahkotai dengan mahkota Ibu Suri.

Mahkota itu memiliki sejarah panjang yang diperdebatkan dan telah menjadi sasaran perdebatan sengit sejak kematian Ratu Inggris Elizabeth. Para tokoh India menuntut Inggris mengembalikan berlian itu kepada India.

Sementara itu Ekonom India Utsa Patnaik, yang mempelajari sejarah ekonomi Inggris, mengatakan bahwa Inggris mengambil setidaknya $45 triliun dari India antara tahun 1765 hingga 1938--17 kali lebih banyak daripada produk domestik bruto tahunan Inggris saat ini.

Itu adalah pernyataan yang mewakili sikap rakyat India terhadap penjajagan Inggris dulu, dan sikap ini merupakan kesadaran bersama bangsa India tentang pengalaman buruk dijajah bangsa barat yang sering dengan cara bengis dan brutal.

Sekarang ini kesadaran yang sama akan pengalaman pahitnya penjajahan bangsa barat itu juga muncul di negara-negara Afrika, dimana penjajah dari barat itu dengan seenaknya membagi-bagi batas wilayah Afrika untuk mereka sendiri. Pengalaman pahit itu misalkan dirasakan negara Konggo.

Pada tahun-tahun terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Raja Leopold II dari Belgia memerintah Negara Bebas Kongo dengan tirani yang sangat brutal bahkan oleh standar kolonialisme Eropa yang kejam dan sangat rasis di Afrika. Dia menjajah negara itu--sekarang dikenal sebagai Republik Demokratik Kongo--sebagai wilayah kekuasaan pribadi, menjarah gading dan karet serta membunuh jutaan orang.

Sejarah penjajahan Belgia itu mencatat perlakuan brutal terhadap bangsa Afrika, dan banyak foto dokumenter yang menggambarkan pria wanita Afrika yang dipotong tangannya oleh penjajah sebagai bentuk hukuman, banyak juga yang digantung ditengah lapangan dan disaksikan orang banyak.

Ada juga foto yang menggambarkan penjajah kulit putih duduk di atas tandu dengan angkuhnya, yang digotong orang-orang kulit hitam dengan wajah tersirat kesedihan karena terhina. Catatan sejarah menyebutkan bahwa Belgia membunuh 10 juta orang Afrika.

Bangsa Amerika Latin juga mengalami hal dan penderitaan yang sama. Para penjajah dari Spanyol dulu tidak hanya membunuh, memperbudak, menyiksa, dan menjarah, tetapi juga menghancurkan kuil, membakar teks-teks sejarah, dan melelehkan karya seni yang berharga.

Sebagai orang-orang Katolik Spanyol, para penakluk ini dan kru mereka--dan segera Kekaisaran Spanyol--membenarkan invasi dan pencurian mereka dengan penginjilan. Catatan sejarah mengatakan bahwa ada sekitar 8 juta penduduk pribumi yang dibunuh penjajah Spanyol.

Selain Belgia dan Spanyol, ada Inggris, Italia, Jerman, Portugis dan Belanda yang melakukan penjajahan dengan cara brutal juga di berbagai negara di Afrika, Asia dan Amerika Selatan.

Kesadaran akan bengisnya penjajahan barat yang diungkapkan para politisi, akademisi, dan sejarawan di negara-negara terjajah itu karena sejarah mereka mencatat dengan detail bagaimana penjajah barat itu menjajah, menguasai sumber daya alam, membunuh penduduk asli, memecah belah masyarakat, sampai berapa trilliun dolar para penjajah itu merampok kekayaan negara bangsa terjajah.

Maruti 800, Mobil Mungil yang Mengubah Sejarah India

Penulisan sejarah yang 'sopan' di Indonesia

Bangsa kita juga sebenarnya mengalami hal yang sama ketika dijajah Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Paling lama adalah penjajahan yang dilakukan Belanda. Hanya saja sejarah kelam penjajahan itu yang ditulis dalam buku sejarah untuk anak-anak sekolah hanya berisi narasi yang datar, tidak menjelaskan bagaimana brutalnya penjajahan itu dan berapa dolar kekayaan kita yang dirampok.

Sejarah kita hanya menjelaskan tahun kejadian dengan penjelasan yang singkat, misalkan Perang Diponegoro tahun 1825-1830 dan bagaimana Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, titik.

Buku sejarah kita tidak menjelaskan secara detail bagaimana susahnya jaman Kultur Stelsel, bagaimana penderitaan tokoh-tokoh nasional yang dibuang ke daerah-daerah terpencil, yang hanya dikelilingi hutan dan banyak tersebar penyakit.

Bagaimana susahnya rakyat yang dipaksa Jepang menjadi budak Romusha dan banyak yang dibunuh dengan pedang samurai, bagaimana brutalnya Kapten Westerling membunuh ribuan rakyat di Sulawesi Selatan, dsb.

Karena penulisan sejarah yang “sopan” itu maka tidak muncul kesadaran bersama akan pedih dan terhinanya dijajah bangsa asing seperti yang dewasa ini muncul di Afrika, India, dan Amerika Latin. Karena generasi muda tidak bisa membayangkan gambaran suram masa lalu di negerinya sendiri.

Sejarah Singkat Budi Utomo: Organisasi Pertama di Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini