Kelezatan Jeruk yang Menggerakan Ekonomi Masyarakat di Pulau Kisar

Kelezatan Jeruk yang Menggerakan Ekonomi Masyarakat di Pulau Kisar
info gambar utama

Pasar Wonreli, di Pulau Kisar Maluku memiliki dua hasil produksi yang terus memompa denyut perekonomian, jeruk dan sopi. Kendati dikepung perairan, masyarakat Kisar bukanlah pelaut.

Masyarakat Pulau Kisar hidup dari hasil bercocok tanam. Salah satunya adalah jeruk kisar yang merupakan salah satu varietas dari spesies jeruk keprok (C.nobilis). Berbeda dengan tanaman jeruk lain di Indonesia, jeruk kisar tumbuh di dataran rendah.

Dinukil dari Kompas, topografi Pulau Kisar didominasi karang cadas nan tandas. Pulau ini merupakan salah satu dari 18 pulau terluar di Maluku yang berhadapan langsung dengan negara tetangga Timor Leste dan Australia.

Harta Karun Migas di Indonesia Timur Capai 25 Miliar Barel, Siap Jadi Sultan!

Agustina, warga Desa Leklor menuturkan jeruk kisar selalu tumbuh subur dan tahan terhadap kekeringan yang setiap tahun melanda. Ukuran jeruk kisar sedikit lebih besar ketimbang buah jeruk pada umumnya.

Jika sudah matang, warnanya hijau kekuningan. Struktur bagian dalam lebih mirip jeruk bali atau keprok. Dikatakan bahwa rasanya manis, sedikit asam dan sungguh nikmat bila disantap di cuaca panas di Pulau Kisar.

“Kalau panen jeruk tiba, hampir setiap sudut Pasar Wonreli dijejali para pedagang jeruk. Dari ujung ke ujung, jeruk kisar ditumpuk dijual seadanya. Ada yang jual kiloan, ada yang sampai kuintalan karena mau dijual lagi ke Kupang dan Ambon,” ujar Agustina.

Perawatan muda

Max Letelay, petani jeruk Kisar menuturkan bahwa bertani jeruk sudah menjadi mata pencarian utama keluarga mereka turun menurun. Dirinya biasanya menjual jeruk dengan harga Rp8.000 sampai Rp20.000 ke Ambon setiap habis panen.

“Dari penghasilan itu dia menghidupi dan membiayai pendidikan empat anaknya,” tulis Gregorius Magnus Finesso dan M Zaid Wahyudi dalam Pulau Kisar Punya Jeruk dan Sopi.

Dikatakan oleh Max, jeruk yang sudah dipanen akan dikemas dalam keranjang dari anyaman bambu. Selanjutnya jeruk tersebut akan dipasarkan ke Kupang dan Ambon dengan menggunakan kapal laut.

Kisah Suku Marind dari Merauke, Ketika Bertani Menjadi Denyut Kehidupan

Bagi Max, perawatan jeruk tidaklah sulit. Tanaman ini tidak butuh banyak air dan dikembangkan masyarakat secara alami menggunakan biji tanpa budidaya. Biasanya petani akan menumbuhkannya secara alami.

“Biji tidak disemai lagi, tetapi setelah dagingnya dimakan, bijinya dibuang ke tanah di sekitar rumah ataupun kebun dan dibiarkan tumbuh secara alami sampai berbuah,” ungkapnya.

Jeruk kisar dikembangkan

Kepala Desa Leklor ketika itu, Alexander Dadiara menyebut untuk merawat jeruk, petani tidak pernah melakukan pemumpukan dan pencegahan hama serta penyakit. Mereka biasanya hanya melakukan penyiangan.

Sementara itu umur produksi tanaman jeruk antara tiga hingga dua belas tahun dengan periode waktu berbunga pada Januari-Februari. Adapun masa panennya selama bulan Juli hingga Oktober.

Bila panen tiba, satu pohon bisa menghasilkan 1.200 - 1.500 buah atau berkisar 250-300 kilogram per pohon. Tinggi pohon umumnya 5-7 meter. Kebanyakan petani baru memetik jeruk dengan tingkat kematangan 75-80 persen.

Masyarakat Biak dalam Upaya Memberikan Rehat bagi Laut Agar Lestari

Dari data Dinas Pertanian Maluku hingga 2011, jeruk kisar dikembangkan oleh petani dengan luas areal penanaman berkisar 1.000-1.500 hektare secara perseorangan. Oleh
karena itu, kebun jeruk tidak terkumpul pada satu hamparan.

Apalagi seperti daerah-daerah terisolasi lain, akses dan menuju Kisar sangat sedikit. Dalam dua pekan, hanya ada 2-3 kapal ke Ambon. Kondisi ini diperparah cuaca yang sering buruk sehingga acap kali pelayaran dibatalkan sepihak.

“Akibatnya sering kali ditemukan jeruk-jeruk membusuk karena tidak jadi dikirim,” papar Gregorius.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini