Masyarakat Adat Bonokeling Lestarikan Tradisi Demi Ketahanan Pangan

Masyarakat Adat Bonokeling Lestarikan Tradisi Demi Ketahanan Pangan
info gambar utama

Komunitas adat Bonokeling, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah masih memiliki tradisi melestarikan alam. Hal ini dilakukan supaya mereka bisa menghadapi krisis pangan.

Tawen, salah seorang warga Bonokeling menceritakan masih membuat oyek berbahan baku singkong, sebagai alternatif bahan makanan pokok. Sejak zaman dulu, singkong telah dijadikan makanan pokok selain beras.

“Kini, beras memang menjadi yang utama. Tetapi oyek masih tetap punya. Bahan makanan lain yang dari singkong adalah gesret, atau singkong yang diiris tipis-tipis, kemudian dikukus. Cuma kalau gesret tidak tahan lama, tidak dapat disimpan,” ungkapnya yang dimuat dari Mongabay Indonesia.

Aspek Ketahanan Pangan untuk Cegah Stunting di Indonesia

Pada selamatan mitoni pun terlihat kuatnya ketahanan pangan masyarakat adat Bonokeling. Pada malam warga berkumpul biasanya akan tersaji tumpeng dengan lauk daging sapi, sayur mayur yang di tata di meja yang berada di halaman rumah.

Selamatan yang dilakukan untuk meminta keselamatan atas tujuh bulan kehamilan ini biasanya akan ada doa-doa. Kemudian pembuat acara harus menggotong gabah dan kelapa keluar rumah, berjalan menuju depan gang kampung.

“Gabah kering jenis padi Jawa dan kelapa saya antar ke rumah dukun bayi. Kalau zaman dulu ke rumah dukun harus jalan, kalau sekarang diantar mobil bak terbuka. Dukun bayi itu akan berdoa untuk keselamatan bayi yang akan dikandung istri saya,” ujar Ritam yang dimuat Merdeka.

Ketahanan pangan dalam ritual

Ki Sumitro, Ketua Komunitas adat trah Bonokeling menjelaskan bahwa tradisi selamatan yang dilakukan warganya berkaitan dengan siklus kehidupan manusia sejak dari kandungan, kelahiran, menyentuh tanah, sampai upacara kematian.

Selamatan juga dilakukan terkait hari besar yakni perlon unggahan (menyambut bulan puasa), apit sedekah bumi (pasca panen) sampai besaran (hari raya Idul Adha). Beberapa hasil pertanian yang harus ada mulai dari beras, sayuran, dll berasal dari swadaya.

Ki Sumitro mengungkapkan bahwa butir-butir padi dalam selamatan menjadi simbolik utama ritus. Mitoni empat iket gabah yang digotong orang tua menunjukkan harapan pada jabang bayi. Semakin tumbuh dewasa dan menguasai banyak ilmu, semakin harus menunduk.

Strategi Jamur Tiram Melalui Teknik Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan

“Filosofi padi memang jadi spiritual hidup kami yang diajarkan turun-temurun,” katanya.

Trah bonokeling juga mendudukan hasil pertanian, utamanya padi sebagai bagian dari sistem ketahanan pangan. Di desa Pekuncen diwajibkan setiap anak putu menabung 20 kg gabah setiap panen untuk disimpan dalam lumbung di tiap rukun tetangga (RT).

Selama ini penggunaan simpanan gabah terbanyak diperuntukkan untuk keperluan unggahan menyambut bulan puasa. Seperti pada unggahan yang biasanya melibatkan ribuan anak putu dari luar Desa Pekuncen.

“Kalau dihitung secara finansial dalam setengah tahun setidaknya dari 23 RT ada simpanan Rp230 juta. Kalau memang tak terpakai dalam setahun, gabah kami kembalikan ke warga. Tiap keluarga bisa dapat 50 kg,” jelasnya.

Menabung gabah

Kepala Desa Pekuncen, Suwarno menjelaskan bahwa kewajiban menabung gabah tersebut merupakan bagian dari kearifan pangan masyarakat adat Bonokeling. Hal ini karena mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani.

Karena hal itu sebuah ritus sangat terkait dengan harapan kesuburan. Tetapi menurut pengamatannya. luas areal persawahan di Pekuncen semakin menyempit. Kini kurang lebih tersisa 65 hektare karena diubah menjadi pemukiman.

“Populasi masyarakat adat Bonokeling ini faktanya memang semakin meluas. Karena karakteristik bertambahnya anggota komunitas dan perkawinan. Tumbuhnya satu keluarga baru mau tak mau menggeser lahan pertanian dan permukiman,” ujarnya.

Google Donasikan Rp19,3 Miliar untuk Bantu Perkuat Ketahanan Pangan di Indonesia

Ki Sumitro mengaku telah merasakan dampak dari alih lahan pertanian ke pemukiman. Dikatakannya saat ini perubahan alam atau iklim juga menyulitkan para petani di Pekuncen yang berpedoman pada penanggalan Jawa Pranatamangsa.

Gejala-gejala alam yang semestinya terus berulang seperti mangsa terang, udan, panen, paceklik, pangarep-arep, jelasnya sudah sulit jadi pegangan. Karena hal ini sudah tidak lagi terjadi secara teratur setiap tahun.

“Hambatan yang terjadi juga musim yang tak lagi teratur. Kekhawatiran lain yang mulai saya perhatikan banyak bermunculan tambang batu belah di daerah sini. Kalau tambang ini juga mulai masuk Pekuncen, kita harus berani menolak.” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini