Kemang, Bob Sadino, dan Transformasi Wilayah yang Tak Pernah Tidur

Kemang, Bob Sadino, dan Transformasi Wilayah yang Tak Pernah Tidur
info gambar utama

Kemang, Jakarta Selatan menjadi kawasan nongkrong bagi kalangan kelas menengah atas ibu kota. Kawasan yang tak pernah tidur ini didominasi oleh kafe, restoran, bar, klub, hotel, apartemen hingga batik premium.

Perjalanan Kemang menjadi kawasan komersial seperti ini tidak lepas dari sosok Bob Sadino yang mendirikan supermarket Kem Chicks di Kemang pada 1986. Dirinya mengawali dengan berdagang telur dan ayam negeri kepada para ekspatriat di Kemang.

Ketika itu Kemang masih cukup asri dengan dipenuhi pepohonan. Hal inilah yang membuat para ekspatriat datang untuk tinggal sehingga mulai tumbuh beragam supermarket, kafe dan juga restoran.

“Banyak orang masih mengingat Jimbani Cafe and Gallery, yang menyajikan masakan khas Bali lengkap dengan suasananya. Kini restoran yang dulu berada di Jalan Kemang Raya 85 itu tutup,” jelas Amanda Putri Nugraha dan kawan-kawan dalam Anak Kemang, Betawi, dan Ketidakpedulian yang dimuat Kompas.

Mengingat Kampung-Kampung yang Pernah Kepung Kemegahan Kota Jakarta

Dikatakan oleh Amanda, kini salah satu yang masih bertahan adalah Amigos, bar dan restoran yang menyajikan masakan khas Meksiko yang didirikan sejak 1976. Interior khas rumah tradisional Meksiko menyambut, dinding berwarna cerah berpadu sentuhan kayu.

Barista mengenakan ponco dan sombrero (topi lebar khas Meksiko). Di akhir pekan, musik latin dan kelas salsa meramaikan suasana pengunjung yang menikmati tacos, nachos, burritos, dan margarita.

“Kalau mau cari makanan Meksiko, cari margarita yang enak yang di sini. Sejak awal berdiri, kami masih sama. Membangun mudah, tetapi mempertahankan memang sangat sulit,” ungkap Manajer Restoran Amigos Kemang Asdi.

Warga Betawi di Kemang

Hasanah, warga yang lahir dan tumbuh dewasa di Kemang masih mengingat dahulu banyak persawahan, rawa-rawa dan perkebunan. Tetapi kini sudah tidak ada lagi hal tersebut, terutama pohon kemang.

“Dulu banyak sekali pohon bambu di sini. Di depan rumah ini ada jalan, tetapi cuma untuk jalan kaki. Setelah itu, sekitar tahun 1970-an mulai dibangun perumahan. Tanah-tanah warga dibeli, jadi banyak yang akhirnya pindah ke Ciganjur di Jagakarsa dan Depok,” ungkap Hasanah.

Sementara itu Edy Mulyadi, Ketua Padepokan Seni Budayawan Betawi Manggar Kelape mengungkapkan hal senada. Edy menyatakan dahulu masih banyak kebun dan empang. Banyak juga warga Betawi di Kemang.

Kisah Pilu Peziarah yang Menabur Bunga di Pemakaman yang Tenggelam

Tetapi seiring tumbuh pesatnya bangunan perkantoran, hotel, kafe dan tempat hiburan lain, penduduk asli Kemang pun banyak yang memilih pindah. Rumah disewakan ataupun dijual kepada penduduk luar.

“Saat ini penduduk asli Kemang yang masih tersisa sekitar 30 persen,” ujar Edy.

Pertumbuhan masif

Ketua RT X RW 005 Kelurahan Bangka Narno menjelaskan masifnya pertumbuhan areal komersial di Kemang bahkan meluas hingga bantaran Kali Krukut. Kali ini mengalir sepanjang 33 kilometer dari Situ Citayam, Bogor hingga bermuara di Kali Ciliwung.

“Di wilayah Kemang dan sekitarnya, aliran Kali Krukut yang sebelumnya selebar 20 meter kini 2 meter 3 meter saja,” papar Amanda.

Kisah Kampung Apung Teko yang Dahulu Rindang Layaknya Pondok Indah

Sementara itu Kepala Suku Dinas Tata Ruang Jakarta saat itu, Syukria mengakui kini tidak hanya banjir, persoalan yang juga terus terjadi adalah kemacetan setiap pagi dan sore serta di akhir pekan.

Sejak 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berusaha mengendalikan pembangunan yang sudah terlanjur, termasuk yang tidak sesuai peruntukkan. Apalagi sangat sedikit yang menyediakan lahan untuk serapan air.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini