Bukan Menyusut, Limbah Semakin Menumpuk di Bulan Ramadan

Bukan Menyusut, Limbah Semakin Menumpuk di Bulan Ramadan
info gambar utama

Tidak terasa kita sudah mulai memasuki minggu terakhir bulan Ramadan. Sebagai bulan yang penuh berkah, Ramadan sering kali disambut dengan meriah dan penuh euphoria. Hal ini terlihat dari padatnya pusat perbelanjaan, naiknya harga bahan pokok, hingga meningkatnya pola konsumsi masyarakat saat bulan Ramadan. Pada bulan Ramadan, biasanya konsumsi masyarakat meningkat 25 hingga 30 persen dibandingkan dengan bulan biasa.

Meningkatnya pola konsumsi masyarakat ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti kebutuhan atau keinginan menyantap makanan yang bervariasi saat berbuka atau sahur hingga kegiatan berbuka puasa bersama keluarga dan kerabat. Kebiasaan-kebiasaan yang muncul pada saat bulan Ramadan ini tanpa sadar mengubah pola konsumsi masyarakat dibandingkan dengan bulan lainnya.

Meski terdengar positif bagi perekonomian dikarenakan peningkatan daya beli masyarakat, perubahan pola konsumsi yang dilakukan secara massal ini tanpa kita sadari memiliki dampak buruk bagi kelestarian lingkungan.

Pola konsumsi berlebih yang dilakukan secara masif menyebabkan terjadinya peningkatan limbah rumah tangga yang dihasilkan per harinya. Terlihat dalam infografis di bawah, pada 2022 di DKI Jakarta saja, peningkatan produksi limbah mencapai 200 ton perhari.

Hal ini berbeda saat sebelum Ramadan, limbah yang dihasilkan sebanyak 7.800 ton. Sedangkan, pada bulan Ramadan, meningkat menjadi 8.000 ton per harinya. Tentunya, mayoritas limbah yang dihasilkan adalah limbah sisa makanan.

Ritus Unggahan yang Jadi Cara Wangsa Bonokeling Jaga Lingkungan
Infografis analisa tim InginHijau.id
info gambar

Hal ini tentu saja menjadi ironi, yang mana bulan Ramadan menjadi bulan untuk menahan hawa nafsu. Namun, tanpa kita sadari, kebiasaan konsumsi berlebihan menjadikan kita sebagai salah satu pelaku penyebab kerusakan alam.

Limbah rumah tangga merupakan salah satu permasalahan limbah yang cukup besar di Indonesia. Berdasarkan data yang ditemukan oleh Kementerian LIngkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang Komposisi Asal Sumber Sampah pada tahun 2022 menunjukan bahwa 38,8% sampah berasal dari limbah rumah tangga.

Bukan hanya permasalahan produksi limbah rumah tangga yang berlebih, melainkan juga pengolahan limbah yang belum sesuai dengan metode pengolahan sampah berwawasan lingkungan. Hal ini menjadi penyebab lain yang justru makin memperburuk pencemaran lingkungan.

Pengolahan sampah di Indonesia yang paling umum hingga saat ini adalah pengolahan sampah dengan metode open dumping dan landfill. Metode open dumping adalah metode pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa perlakuan lebih lanjut, sedangkan metode landfill yakni sampah diratakan dan dipadatkan dengan alat berat yang dilapisi oleh tanah.

Dua metode ini dinilai kurang ramah lingkungan karena berpotensi menyebabkan pencemaran pada air tanah dan udara. Selain itu, penumpukan sampah yang bercampur di TPA berpotensi menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dikarenakan produksi gas Metana, CO2, dan N20 yang mendominasi.

Suplai Biomassa untuk Energi Sebagai Upaya Mengurangi Pemanasan Global di Indonesia

Oleh sebab itu, diperlukan adanya inovasi dalam pengolahan sampah sehingga sampah tidak hanya menumpuk dan membusuk di satu tempat tanpa adanya solusi yang berdampak baik bagi lingkungan itu sendiri.

Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah dengan mengurangi produksi sampah dari rumah, yakni dengan melakukan gerakan pilah sampah. Pemilahan itu diantaranya dengan memisahkan sampah organik dan anorganik.

Apa itu Sampah Organik dan Anorganik?

Sampah organik adalah sampah yang berasal dari sisa-sisa orgasme hidup baik manusia, tumbuhan, maupun hewan. Sampah organik merupakan sampah yang mudah terurai baik secara alami maupun dengan pengolahan manusia.

Sampah organik terbagi menjadi dua, yakni sampah organik kering seperti daun-daun dan ranting kering, dan sampah organik basah seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, kotoran manusia dan kotoran hewan.

Sedangkan, sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari bahan-bahan non hayati dan sumber daya alam tidak terbaharui seperti logam, produk olahan plastik, kertas, kaca, hingga sampah detergen. Sampah anorganik merupakan jenis limbah yang tidak bisa terurai secara alami oleh mikroorganisme.

Hutan Indonesia sebagai Media Perang Pemanasan Global

Manfaat Memilah Sampah Organik dan Anorganik

Bila kita memilah sampah organik dan anorganik, akan diperoleh sejumlah manfaat sebagai berikut:

1. Mengurangi Polusi Udara

Dengan melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik, kita dapat mengurangi polusi udara dan mengurangi emisi gas yang berdampak buruk bagi pemanasan global.

2. Memudahkan Proses Daur Ulang

Kegiatan memisahkan sampah organik dan anorganik memudahkan kita dalam proses daur ulang sampah. Sampah organik seperti sisa makanan bisa kita olah menjadi pupuk kompos, sedangkan sampah anorganik seperti kemasan plastik, botol kaca, koran dan lainnya bisa kita kumpulkan dan dijual ke Bank Sampah.

3. Bernilai Ekonomi

Hasil daur ulang sampah organik dan anorganik apabila dikelola dengan baik bisa bernilai ekonomi. Hasil daur ulang sampah organik, seperti kompos dan hasil daur ulang sampah anorganik bisa menjadi karya seni atau produk bermanfaat yang bisa dijual kembali dan bernilai ekonomi tinggi.

Dengan bijak dalam mengatur pola konsumsi dan memulai melakukan pengolahan sampah secara mandiri, secara tidak langsung kita telah melakukan upaya nyata untuk mengurangi kerusakan alam dan pemanasan global.

Akibatnya, keberkahan bulan Ramadan tidak hanya dirasakan oleh kita sebagai manusia, tetapi juga dapat membawa berkah untuk kelestarian lingkungan hidup.

Referensi: ppid.menlhk.go.id | egsa.geo.ugm.ac.id | kompas.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini