Dibalik Kekalahan Napoleon di Waterloo : Dampak Letusan Tambora yang Tak Terlupakan

Dibalik Kekalahan Napoleon di Waterloo : Dampak Letusan Tambora yang Tak Terlupakan
info gambar utama

Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 dianggap sebagai salah satu letusan gunung berapi paling dahsyat dalam sejarah yang tercatat. Dampaknya sangat luas di seluruh dunia, termasuk memainkan peran yang signifikan dalam kekalahan Napoleon Bonaparte dalam Pertempuran Waterloo. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana letusan Tambora mempengaruhi nasib Napoleon di Waterloo, serta memberikan referensi untuk mendukung klaim ini.

Letusan Tambora terjadi pada 10 April 1815 di Indonesia, dan melepaskan perkiraan 160 kilometer kubik abu, debu, dan sulfur dioksida ke atmosfer. Letusan menyebabkan kerusakan yang luas dan mengakibatkan kematian lebih dari 71.000 orang. Jumlah besar puing-puing vulkanik yang dikeluarkan ke atmosfer menyebabkan anomali iklim global yang dikenal sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas" pada tahun 1816.

Anomali iklim yang disebabkan oleh letusan Tambora berdampak signifikan pada pertanian dan produksi makanan di seluruh Eropa. Musim panas tahun 1816 sangat dingin dan basah, mengakibatkan kegagalan panen dan kelangkaan pangan. Ini memiliki konsekuensi yang parah bagi pasukan Napoleon saat mereka bergerak untuk menghadapi pasukan Duke of Wellington di Waterloo, Belgia, Minggu, 18 Juni 1815.

Pasukan Napoleon sangat bergantung pada merampas makanan dari penduduk setempat saat mereka bergerak melalui Eropa. Namun, kelangkaan pangan yang disebabkan oleh "Tahun Tanpa Musim Panas" atau Year Without Summer, berarti petani lokal memiliki hanya sedikit kelebihan untuk disediakan, membuat pasukan Napoleon kekurangan logistik parah, kelaparan dan melemah. Kondisi fisik para prajurit memburuk, dan banyak yang menderita malnutrisi dan penyakit, yang lebih menurunkan efektivitas tempur mereka.

Cuaca dingin dan basah juga memengaruhi moral pasukan Napoleon. Terus-menerus terkena hujan dan kondisi lembap tanpa tempat perlindungan atau pakaian hangat membuat para prajurit demoralisasi dan menurunkan semangat mereka. Kondisi cuaca yang keras juga membuat sulit untuk merawat senjata dan peralatan, lebih menurunkan efektivitas mereka dalam pertempuran. Selain itu, "Tahun Tanpa Musim Panas" mengganggu jalur pasokan pasukan Napoleon.

Curah hujan yang tinggi dan banjir membuat sungai dan jalan menjadi tidak dapat dilalui, sehingga sulit untuk mengangkut persediaan dan amunisi ke garis depan. Mimpi buruk logistik ini sangat menghambat kemampuan Napoleon untuk memasok dan memperkuat pasukannya dengan memadai, membuat mereka sangat tidak diuntungkan dalam menghadapi pasukan Wellington.

Sebaliknya, pasukan Duke of Wellington lebih siap menghadapi kondisi cuaca yang keras karena pengalaman dan persiapan mereka. Wellington telah memastikan bahwa pasukannya dipersiapkan dengan baik dengan makanan, pakaian hangat, dan tempat perlindungan, memungkinkan mereka mempertahankan kekuatan dan moral mereka. Situasi logistik yang menguntungkan juga memungkinkan Wellington memperkuat pasukannya dengan persediaan dan bala bantuan yang segar, memberinya keunggulan yang nyata atas Napoleon.

Napoleon di Waterloo | nam.ac.uk
info gambar

Kondisi cuaca yang sulit juga mempengaruhi rencana serangan Napoleon di Waterloo. Napoleon awalnya berencana untuk meluncurkan serangan pagi-pagi buta pada pasukan Wellington, tetapi hujan deras pada malam sebelum pertempuran membuat tanah menjadi basah dan sulit bagi pasukannya untuk bergerak dengan cepat dan efisien. Keterlambatan ini memberi waktu pada pasukan Wellington untuk mempersiapkan pertahanan mereka dan mereposisi pasukan mereka, menggagalkan serangan kejutan yang diinginkan oleh Napoleon.

Saat pertempuran berlangsung, kondisi cuaca yang buruk terus mempengaruhi pasukan Napoleon. Medan perang yang berlumpur dan tergenang air membuat sulit bagi pasukannya untuk manuver dan mempertahankan formasi mereka. Kurangnya mobilitas dan koordinasi melemahkan serangan Napoleon dan memudahkan pasukan Wellington untuk menolak serangan tersebut.

Perang terakhir Napoleon, dan kalah di Waterloo | nam.ac.uk
info gambar

Selain tantangan yang terkait dengan cuaca, letusan Tambora juga memengaruhi hasil Pertempuran Waterloo melalui dampak psikologisnya pada Napoleon dan pasukannya. Kondisi cuaca yang buruk dan kekurangan makanan yang disebabkan oleh letusan vulkanik menciptakan rasa putus asa dan keputusasaan di antara pasukan Napoleon. Kenyataan yang sulit ini kemungkinan merusak moral dan kepercayaan diri mereka, sehingga sulit bagi mereka untuk berjuang dengan tingkat tekad dan keberanian yang sama dengan pasukan Wellington.

Secara keseluruhan, letusan Gunung Tambora dan "Tahun Tanpa Musim Panas" yang dihasilkannya memiliki dampak yang mendalam pada kekalahan Napoleon di Waterloo. Kondisi cuaca buruk, kekurangan makanan, tantangan logistik, dan dampak psikologis semuanya berkontribusi untuk melemahkan pasukan Napoleon dan mengurangi peluang mereka untuk menang. Pasukan Wellington, di sisi lain, lebih siap untuk menghadapi kondisi yang sulit dan mampu memanfaatkan kelemahan Napoleon. Letusan Tambora merupakan contoh yang kuat tentang bagaimana bencana alam dapat membentuk hasil dari peristiwa sejarah.

Kekalahan Napoleon di Waterloo membawa dampak besar bagi sejarah Eropa dan dunia. Setelah kekalahan ini, Napoleon dipaksa untuk mundur dari kekuasaannya sebagai kaisar dan diasingkan ke Pulau Saint Helena jauh di tengah Samudra Atlantik sebagai tahanan politik. Ini menandakan berakhirnya masa kejayaan Napoleon Bonaparte dan era Napoleon, serta menandai awal dari masa damai di Eropa.

Selain itu, kekalahan ini juga membawa perubahan besar dalam perpolitikan Eropa. Kongres Wina yang diselenggarakan setelah kekalahan Napoleon membangun kembali sistem kekuatan yang berdasarkan pada keseimbangan kekuatan. Dengan adanya perubahan ini, Eropa berada di bawah kendali negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, dan Rusia, yang berpengaruh besar pada sejarah dunia selanjutnya. Kekalahan Napoleon di Waterloo juga menjadi awal dari Revolusi Industri di Eropa, yang membawa kemajuan teknologi dan ekonomi yang signifikan, serta meningkatkan ketergantungan global pada sistem ekonomi kapitalis.

Referensi:

  1. Wood, Gillen D'Arcy. Tambora: The Eruption That Changed the World. Princeton University Press, 2014.
  2. Stothers, Richard B. "The Great Tambora Eruption in 1815 and Its Aftermath." Science, vol. 224, no. 4654, 1984, pp. 1191-1198.
  3. Gill, Mike. "The 'Year Without a Summer'—1816 and the Famine that Followed." Weather, vol. 71, no. 8, 2016, pp. 206-211.
  4. Roberts, Andrew. Waterloo: Napoleon's Last Gamble. HarperCollins, 2005.
  5. Muir, Rory. Tactics and the Experience of Battle in the Age of Napoleon. Yale University Press, 1998.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini