Kultur Pamali bagi Warga Raja Ampat: Marga untuk Lindungi Lingkungan

Kultur Pamali bagi Warga Raja Ampat: Marga untuk Lindungi Lingkungan
info gambar utama

Marga bagi orang Misool di Raja Ampat, Papua Barat bukan hanya sekadar nama keluarga. Nama marga itu juga berkaitan dengan penghormatan mereka terhadap makhluk hidup lain yang tinggal di Bumi.

“Karena itu, konsekuensi menyandang marga tertentu berarti ikut pula merasakan pamalinya. Bahkan bila melihat hewan laut larangan saja sudah meriang,” tulis JAL dalam Kultur Totem: Marga Tak Sekadar Nama yang dimuat Kompas.

Hal inilah yang menjadi mitologi sekaligus konservasi alam di Misool. Walau mulai tergerus kemajuan zaman, banyak orang yang masih mempercayai mitologi ini. Mereka pun mengaku kerap mengalaminya sendiri.

Hiu Belimbing, Predator Kalem yang Kehidupannya Dijaga di Raja Ampat

Muhammad Jen Weul, warga Kampung Kapatcol misalnya pernah tidak sengaja memegang ikan predator, barakuda. Dirinya sempat meminta izin sebelum memegang. Namun karena terburu-buru meletakkan, ikan itu jatuh dari tangannya dan terbanting di lantai kapal.

Pikirannya tak tenang saat itu, namun dirinya berusaha santai. Namun apa yang ditakutkannya menjadi nyata. Sore harinya, badannya menggigil. Panas dan dingin tanpa sebab hingga malam dia mulai meracau.

“Saya kaya mati rasa. Habis itu tak sadar,” ujarnya.

Pamali dan konservasi

Dirinya lantas mengaitkan kondisinya tersebut dengan pamali kepada barakuda. Meski menyandang nama marga Weul, di dalam dirinya mengalir darah keluarga Macab, dari garis keturunan ibunya yang pamali terhadap barakuda.

“Baru sadar sudah malam. Habis dikasih minum air yang sudah di omong-omong,” katanya.

Hal sama juga terdapat di Marga Loji yang memiliki pamali dengan hiu dan kerapu. Harun Loji, warga Kampung Fanfalap menyebut tak perlu memegang, sekadar melihat di laut saja, keturunan marga ini akan merasakan tuahnya.

Punya Surga Bernama Raja Ampat, Forbes Akui Indonesia sebagai Negara Terindah di Dunia

Karena itulah sejak kecil, dirinya diwanti-wanti supaya tidak mendekati, mengganggu, apalagi memakan hewan ini. Pernah suatu saat, ketika pulang ke rumah, dirinya tak sengaja melihat ikan itu sehingga membuatnya menggigil panas dingin.

“Orang rumah su tahu itu kalau habis ketemu pamalinya. Macam orang migrain atau sakit gigi, tetapi tak sembuh-sembuh, itu pasti habis lihat atau pegang pamali,” tutur Harun.

Bila melihat saja dampaknya seperti itu, apalagi memakannya. Menurut Harun, keturunan marga yang nekat kadang bisa terkena gatal-gatal semacam kudis. Bahkan konon ada yang kesurupan karena hiu atau kerapu.

“Obatnya dikasih air, sembuh sudah,” katanya.

Kepercayaan demi lingkungan

Bukan hanya terhadap hewan laut, pamali lain juga bisa berupa tumbuhan, seperti sagu, atau tanaman buah tertentu. Jen menjelaskan dari cerita orang tua dan neneknya pamali ini berkaitan karena pengalam erat dengan ikan barakuda.

“Mungkin dulu pernah ditolong jadi bersumpah tak makan lagi. Mungkin juga tahu kalau ikan itu penting jadi dikasih pamali. Saya tidak tahu yang mana benar, tetapi saya merasakan sendiri pamalinya,” ujarnya.

Pengajar Antropologi Fakultas dan Budaya Universitas Papua, Manokwari, George Mentansan menyampaikan bahwa secara tradisi kepercayaan akan totem itu ada di seluruh penjuru Nusantara.

Kali Biru Warsambin, Potret Sungai Sejernih Kristal di Pedalaman Papua

Hal yang membedakan hanyalah istilah dan ekologi yang dimaksud. di Papua ada empat klasifikasi ekologi, yakni dataran tinggi, tebing, dataran rendah, dan pinggiran atau kepulauan.

“Untuk pinggiran tentu, dekat dengan hewan laut, pantai atau tanjung. Secara mitologi, dulu ada peristiwa terkait erat dengan hiu, kerapu, atau penyu. Secara logika, mungkin ada alergi, atau hal tak baik bagi kesehatan jika makan hewan tertentu,” paparnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini