Jejak Kolonialisme di Asia Tenggara: Mengapa Paham Nasionalisme Jadi Populer?

Jejak Kolonialisme di Asia Tenggara: Mengapa Paham Nasionalisme Jadi Populer?
info gambar utama

Seperti banyak penjelasan di buku-buku sejarah, ada banyak negara-negara di Asia Tenggara yang mengalami penjajahan hingga pada akhirnya mulai memerdekakan diri pada abad ke 20. Gelombang kemerdekaan ini dipicu oleh gerakan nasionalisme yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Namun, tahukah kalian alasan gerakan nasionalisme menjadi paham yang populer di kawasan ini?

Pada abad ke-16, Eropa memulai hubungan perdagangan dan misi agama di Asia Tenggara. Negara-negara Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda datang ke kawasan ini dengan tujuan mencari keuntungan dari perdagangan dan menyebarkan agama Kristen. Portugis menjadi negara Eropa pertama yang membuka hubungan perdagangan di Asia Tenggara pada tahun 1511 melalui Kesultanan Malaka. Kemudian, Spanyol dan Belanda mengikuti jejak Portugis dan berhasil mengalahkan kekuatan Portugis di kawasan ini, sehingga menjadikan mereka sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara.

Belanda merebut Malaka dari Portugis pada tahun 1641, sedangkan Spanyol menguasai Filipina pada tahun 1560-an. Belanda kemudian mendirikan VOC sebagai pusat perdagangan di wilayah nusantara (saat ini Indonesia), sementara Inggris mengambil alih Malaysia, Singapura, dan Myanmar melalui British East India Company. Inggris bahkan berhasil merebut wilayah jajahan Belanda selama Perang Napoleon. Pada tahun 1819, Raffles memilih Singapura sebagai basis pertahanan dalam usahanya menghadapi persaingan dengan Belanda. Hanya Thailand yang tidak pernah dijajah oleh kekuatan Eropa, meskipun negara ini tetap terpengaruh oleh praktik politik kekuasaan negara-negara Barat di Asia Tenggara.

Pertumbuhan nasionalisme dan sikap anti-kolonialisme di Asia Tenggara dipengaruhi oleh penderitaan yang dialami akibat penjajahan Eropa. Penindasan sosial, monopoli perdagangan, ketidakadilan rasial, serta dominasi di bidang politik dan hukum telah mengakibatkan perubahan sosial di Asia Tenggara. Akibatnya, pada abad ke-20 muncul gerakan-gerakan nasionalisme yang berbeda di negara-negara Asia Tenggara dengan tujuan memperjuangkan hak politik dan hak asasi manusia serta mencapai kemerdekaan dari penjajahan Eropa. Gerakan ini akhirnya berhasil mengusir bangsa Eropa dari kawasan ini.

Di negara-negara Asia Tenggara, gerakan nasionalisme dipelopori oleh tokoh-tokoh yang berbeda dan memiliki pola perjuangan yang berbeda-beda. Di Vietnam, contohnya, Ho Chi Minh membentuk jaringan anti-kolonial dan menentang kekuasaan Eropa dengan strategi yang melibatkan jaringan revolusi global, yang bahkan melawan Amerika selama masa perang proksi. Ho Chi Minh juga sebelumnya mengajukan petisi pada perjanjian Versailles. Sementara itu, di Filipina, José Rizal memimpin kampanye propaganda untuk memperjuangkan kemerdekaan Filipina. Rizal juga menjadi kontributor untuk koran La Solidaridad, sebuah media utama gerakan propaganda mahasiswa Filipina di Eropa. Kemudian di Indonesia, selain Soekarno, terdapat Moh. Hatta, Tan Malaka, dan banyak tokoh lain yang juga memainkan peran penting dalam gerakan anti-kolonial dan nasionalisme.

Pada dasarnya, fase kolonialisme menjadi hal yang umum terjadi di kawasan Asia Tenggara karena sebagian besar negara di sana pernah mengalami penjajahan. Secara garis besar, gerakan nasionalisme yang muncul adalah sebagai upaya untuk mengusir penjajah dari wilayah mereka. Meskipun demikian, terdapat perbedaan dalam pola politik dan faktor internal lainnya yang mempengaruhi proses terbentuknya nasionalisme tersebut. Selain itu, intervensi kekuatan luar juga telah membangun kesadaran dan semangat nasionalisme di kawasan tersebut. Kesadaran nasionalisme yang muncul di Asia Tenggara bukanlah nasionalisme yang terbentuk secara alami karena persamaan budaya, suku, ras, atau bahasa, melainkan lebih karena adanya kesadaran bersama atas nasib dan penderitaan yang dialami akibat kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa asing.

Nasionalisme menjadi populer karena timbul dari perlawanan terhadap penjajahan kolonial. Meskipun banyak tokoh nasionalis yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah, semangat mereka untuk mencapai kemerdekaan dan nasionalisme masih hidup di masyarakat dan mengantarkan negara mereka pada kemerdekaan. Pesan penting mengenai kolonialisme ini diungkapkan oleh Rizal dalam El Fili, di mana ia menyatakan pandangannya tentang bangsa yang ideal dan nasionalisme. Ia mempercayai bahwa rakyat sendirilah yang mampu menentukan takdirnya dan bahwa kedaulatan harus diperjuangkan oleh rakyat, bahkan jika itu berarti mengorbankan nyawa. Rizal juga meyakini bahwa kemerdekaan dapat dicapai melalui dasar intelektual dan moral rakyat. Terakhir, ia juga menegaskan bahwa tidak akan ada tata kelola pemerintahan yang baik tanpa penghargaan terhadap keadilan dan kemanusiaan.

Saat ini, nasionalisme menjadi semakin kuat di tengah konteks politik global yang ada,. Negara-negara juga mulai mengutamakan kebijakan domestik mereka agar tidak lagi terpengaruh oleh paham kolonialisme. Hal ini yang kemudian menandakan bahwa nasionalisme kini semakin penting dan memerlukan pertimbangan dalam menentukan kebijakan oleh negara.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini