Mudik ke Kota Pahlawan, Suatu Perjalanan Penuh Nostalgia

Mudik ke Kota Pahlawan, Suatu Perjalanan Penuh Nostalgia
info gambar utama

Kawan GNFI, mudik adalah suatu ritual kegiatan masyarakat kita yang selalu menyisakan banyak cerita. Jika kita mencari arti kata mudik pada KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia), maka definisi dari kata mudik adalah pulang ke kampung halaman.

Mulai dari bumi serambi Mekah alias Aceh, di ujung Barat Indonesia, hingga Papua di ujung timur, kita mulai merasakan adanya pergeseran bahkan perluasan dari makna tradisi mudik itu sendiri. Dewasa ini, masyarakat yang ingin mudik tidak harus selalu dilakukan oleh umat masyarakat muslim kembali ke kampung halaman, bersilaturahmi bersama keluarga lebaran bersama.

Bukan hanya itu, mudik juga sah-sah saja dilakukan oleh kalangan non-muslim yang melakukan perjalanan bersama untuk kembali ke kampung halaman untuk sekedar berjalan-jalan, bersilaturahmi, wisata kuliner serta melepas rindu dengan segenap sanak famili dan handai taulan. Seperti momen libur natal dan tahun baru, liburan anak sekolah atau cuti bersama pegawai bisa diisi dengan "mudik" ke kampung halaman.

Asyiknya Situ Cangkuang Menarik Perhatian Wisatawan di Garut, Ada Apa di Sana?

Nah, Kawan GNFI, ada sekelumit perluasan makna dari frasa mudik tersebut. Dan palinglah enak dan orisinal jika kita menceritakan pengalaman nyata kita sendiri. Bukan hanya dari menonton televisi, YouTube, Google, atau sekedar membaca literatur di perpustakaan atau toko buku. Justru pengalaman paling kaya dan sempurna adalah pengalaman nyata kita masing-masing, bukan?

Ya, penulis yang berprofesi sebagai ASN di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan adalah seseorang yang dilahirkan dengan nuansa budaya batak yang cukup kental dari orangtua. Namun Kawan GNFI, penulis lahir dan besar hingga mengenyam pendidikan dasar di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lalu mengenyam pendidikan SMP dan SMA di Kota Tangerang Selatan, kemudian menempuh dan menyelesaikan pendidikan strata-1 di Kota Depok, Jawa Barat.

Jadi ritual mudik yang penulis lakukan bukanlah untuk berlebaran di Surabaya, namun lebih kepada mengunjungi kota kelahiran sambil mengunjungi famili di Surabaya. Tidak salah juga jika mudik ini penulis isi dengan sekedar wisata kuliner, melihat bangunan rumah tempat penulis dibesarkan, bangunan SD, dan lain sebagainya yang tentu mampu membangkitkan romansa masa lalu.

Dengan slogan "tour de java" yang belakangan sudah dipermudah dan dipersingkat medan perjalanannya karena hadirnya Tol Merak hingga Tol Banyuwangi, tentu menjadi magnet pendorong tersendiri.

Banyak cerita saat transit di rest area, berhenti di Kota Cirebon, Semarang, Solo, Jogjakarta hingga tiba di Kota Surabaya. Masing-masing dengan keunikan ceritanya. Mudik atau pulang ke kampung halaman antara Kota Jakarta dengan Kota Surabaya tentu berbeda antara era tahun 1990-an dengan era sekarang.

Dahulu, belum ada tol transjawa yang menjadi tol yang penghubung lintas provinsi dan kabupaten/kota di seantero pulau jawa. Kita harus melintasi jalur pantai utara, sebut saja Cikampek, Indramayu, Jatibarang, Rembang, Lasem, dan lain sebagainya.

Mampir di toko kelontong dan toko kerajinan tangan, makan pecel ayam kaki lima, singgah di warung asinan pinggir laut di pinggir kota atau kabupaten kecil, membeli kelapa muda atau buah rambutan adalah sejumlah ritual yang lazim dilakukan di era dahulu. Sembari melihat-lihat miniatur truk dan bus malam dalam bentuk replika kayu yang cukup memesona sungguh suatu kenikmatan tersendiri, para Kawan GNFI.

Karena belum ada akses tol langsung, sehingga di era dahulu, kita "harus" mampir dan melintasi sejumlah kota atau kabupaten transit di pinggir garis pantai untuk mencapai kota tujuan.

Pesona Tebing Breksi, Spot Foto Unik Ala Grand Canyon!

Jika, kita pasti pernah mampir, entah untuk membeli kopi atau kerupuk dan makanan ringan saja di perjalanan sebut saja di Tuban, Jawa Timur, maka kenangan itu akan membekas dan mengisi memori ingatan kita. Tak tahu berapa tahun setelahnya, kita bersama keluarga mungkin akan mengatakan "Wah, dulu tahun 1993 kita pernah makan di warung ini." Kesan itu akan membekas di ingatan kita selama belasan hingga puluhan tahun ke depan.

Berbeda dengan era sekarang tentunya. Mudik dari Kota Jakarta menuju Surabaya bisa ditempuh hanya dalam waktu 15 atau 16 jam dengan akses Tol Transjawa langsung. Menempuh jarak sejauh 900 kilometer dengan panorama tol transjawa dan diiringi perhentian rest area di sejumlah kota atau kabupaten tentu menjadi cita rasa tersendiri.

Seperti contoh, jika kita berhenti di rest area sekitar KM 180 hingga KM 200 di sekitar Kota Cirebon, kita bisa sekalian menikmati secangkir kopi atau teh hangat di kedai. Belum lagi berbelanja di mini market sembari mengisi bensin. Sekalian mengistirahatkan mesin mobil diiringi lalu lalang mobil yang juga dapat menimbulkan obrolan baru sesama pengguna jalan.

Berfoto bersama keluarga dan orang terkasih di bilangan rest area bersama mobil kesayangan juga lumrah dilakukan keluarga yang berbahagia. Ada juga yang berkonvoi bersama keluarga dan sanak famili lain, bahkan bersama komunitas.

Bagi anda yang tidak sudi menempuh perjalanan langsung menuju Kota Surabaya, nah anda bisa memilih menginap di Kota setempat. Misal anda exit atau keluar di Tol Semarang. Menginap satu malam lalu melanjutkan perjalanan kembali menuju Surabaya di esok harinya.

Boleh juga kamu memilih Kota Cirebon untuk sekedar beristirahat atau bermalam, lantas melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Surabaya di esok harinya.

Semua terserah selera dan gaya mengemudimu, para Kawan GNFI. Yang pasti, pastikan kondisi tubuhmu sehat, bensin dan oli mobil dalam kondisi aman, beserta perlengkapannya. Patuhi petunjuk dan peraturan lalu lintas serta satu lagi yang tidak kalah penting, yaitu senantiasa mengecek saldo kartu tol elektronikmu.

Seperti dilansir situs media berita cnbcindonesia.com pada 31 Maret 2023, dibutuhkan saldo kurang lebih 800.000-an rupiah mulai tol dalam Kota Jakarta hingga menuju gerbang keluar Tol Surabaya. Jadi, kawan GNFI, pastikan saldo kartu tol elektronikmu selalu mencukupi, ya.

Nah, di era digital sekarang ini, kita juga sudah lazim menggunakan whatsapp group bukan? Jadi, mumpung sekalian pulang kampung ke Kota Kelahiran, kamu bisa sekalian membagikan foto dan video kepada para sanak famili, alumni sekolah dasar, SMP atau SMA yang masih kamu ingat (atau mengingat kamu). Dan dilanjutkan ajang kopi darat atau sekedar makan minum bersama bercerita.

Ajang pulang kampung ini sekalian bisa dijadikan sarana mempererat silaturahmi dengan sanak famili dan teman lama yang sudah tidak jumpa selama belasan hingga puluhan tahun. Tentu kesempatan berlibur ini bisa dijadikan ajang mempererat kohesivitas sosial yang sudah lama renggang atau bahkan jauh.

Mengingat rutinitas pekerjaan, rutinitas karier dan rutinitas studi yang harus diemban masing-masing individu. Karena sudah barang tentu ada adagium lama yang masih berlaku "tidak bekerja ya dapur tidak akan ngebul" bukan, para Kawan GNFI?

Berwisata Religi Sembari Menguak Misteri Gunung Lawu

Jadi, manfaatkanlah momen kebersamaanmu dengan maksimal. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, lalu hari demi hari. Karena waktu dan momen indah tersebut akan sangat sukar untuk diulang dan akan mengendapkan nostalgia di sanubari kita masing-masing.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DT
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini